Sahabat UNISIA, radio dakwah UII yang budiman! Semoga kita semua selalu dalam keadaan sehat wal afiyat yaa. Amin ya Rabbal’alamin!
Tau gak, salah satu pendiri Universitas Islam Indonesia adalah Abdul Kahar Muzakkir. Beliau juga merupakan salah satu dari anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau yang sering disingkat dengan BPUPKI, yang merumuskan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum kemerdekaan. Melihat peran, kontribusi dan ketokohannya, maka tidak berlebihan jika beliau dijuluki Bapak Bangsa. Ya, beliau memang salah satu The Founding Fathers negara Indonesia.
Nah Sahabat UNISIA, rubrik Mausu’ah kali ini akan membahas sekilas tentang biografi Sang Bapak Bangsa tersebut. bagaimana sebenarnya sosok Abdul Kahar Muzakkir? Kalau belum tau, yuk simak terus Mausu’ah kali ini!
Abdul Kahar Mudzakkir lahir di Gading, Yogyakarta pada tanggal 16 April 1907. Ayahnya Haji Mudzakkir adalah seorang pedagang terhormat di Kotagede dan Ibunya adalah puteri satu-satunya dari lima bersaudara keluarga Haji Mukmin. Salah seorang saudara ibunya yaitu Haji Masyhudi ikut membentuk lahirnya organisasi Muhammadiyah di Kotagede. Selain itu, Kahar juga merupakan cicit dari Kyai Hasan Bashari, seorang guru agama dan pemimpin tarikat Satariyah, yang dikenal juga sebagai salah satu seorang komandan laskar Pangeran Diponegoro ketika berperang melawan Belanda 1825—1830. Dengan demikian, segala hal yang baik dari keluarganya telah membentuk pribadi Abdul Kahar Mudzakkir muda menjadi seorang yang tekun dan taat pada agama.
Setelah menyelesaikan pendidikan di SD Muhammadiyah Selokraman Kotagede, Kahar melanjutkan ke Ponpes Gading dan Krapyak untuk memperdalam ilmu agama; dan dilanjutkan ke Pondok Pesantren Jamsaren Solo sambil belajar di madrasah Mambaul Ulum. Pada 1924, Kahar yang saat itu berusia 21 tahun, berangkat menunaikan ibadah haji, dengan maksud terus bermukim dan belajar di sana. Namun perang yang berkecamuk di sana ketika itu memaksanya pergi ke Mesir.
Pada tahun 1925 ia berkirim surat kepada keluarganya bahwa ia sudah diterima menjadi mahasiswa Universitas Al-Azhar di Kairo. Kemudian untuk efektifas gerakan pelajar Indonesia di Kairo dalam menyongsong Indonesia merdeka, pada 1927, Abdul Kahar Mudzakkir pindah ke Universitas Darul Ulum di Kairo.
Kahar tinggal di Kairo selama dua belas tahun dan menjadi aktivis berbagai organisasi. Ia bersahabat dengan Sayid Qutub, pengarang Tafsir Fi Dzilâl Al-Quran. Ia juga aktif menjalin hubungan dengan Partai Wafd. Selain itu, ia rajin menulis artikel di koran-koran Mesir seperti Al-Ahram, Al-Balagh dan Al-Hayat.
Pada 1931, Kahar diminta Mufti Besar Palestina, Sayid Amin Huseini untuk menghadiri Muktamar Islam Internasional di Palestina mewakili utusan dari Asia Tenggara. Kahar terlebih dulu menyurati Partai Syarikat Islam Indonesia untuk mendapatkan persetujuan. Setelah disetujui, Kahar berangkat ke Palestina dan tercatat sebagai peserta termuda. Bahkan ia terpilih sebagai Sekretaris Muktamar mendampingi Mufti Besar Palestina. Kesempatan baik itu dimanfaatkan Kahar untuk memperkenalkan Indonesia kepada para utusan dari negara-negara lain. Ia mendapat simpati dan sambutan dari para peserta Muktamar.
Pada 1933, Kahar ikut andil dalam pembentukan organisasi politik bernama Perhimpunan Indonesia Raya yang merupakan satu jaringan dengan Perhimpunan Indonesia di Belanda. Ia terpilih sebagai ketua Perhimpunan Indonesia Raya yang pertama. Ia kemudian mendirikan kantor berita “Indonesia Raya” guna membantu pergerakan Indonesia. Tuntutan Indonesia tersebut disiarkan oleh media masa di Timur Tengah dan semenjak itu gerakan mahasiswa Indonesia di Mesir semakin bersinar.
Pada 1938, Kahar pulang ke Indonesia langsung menceburkan diri ke berbagai organisasi dakwah dan politik. Pertama-tama yang dimasukinya Muhammadiyah dan diangkat menjadi Direktur Mu’allimin, kemudian menjadi pengurus Majelis Pemuda dan Majelis PKU Muhammadiyah; tahun 1953 menjadi Pengurus Pusat Muhammadiyah sampai akhir hayatnya. Pergerakan politik dilakukan melalui Partai Islam Indonesia bersama-sama dengan Prof. Dr. H.M Rasyidi, KH. Mansoer, Prof. KH. Faried Ma’aroef, Mr. Kasmat Bahuwinangun, dan Dr. Soekiman Wirjosandjojo.
Lewat aktivitas organisasi dan politiknya, nama Abdul Kahar Mudzakkir semakin berkibar, hingga pada 1945 ia menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau disingkat BPUPKI. serta ikut memancangkan tonggak sejarah dalam proses perumusan dasar negara dalam Piagam Jakarta.
Dalam sidang BPUPKI, Abdul Kahar Mudzakkir dan Abdul Wahid Hasyim gencar mengusulkan agar Islam dijadikan dasar negara Indonesia merdeka. Meskipun wakil golongan nasionalis Islam hanya 15 orang, mereka berhadapan dengan kelompok nasionalis sekuler seperti Soekarno dan Hatta, yang menginginkan Pancasila sebagai dasar negara.
Kontroversi seputar Piagam Jakarta membuka perdebatan sengit sehingga akhirnya tokoh-tokoh Islam yang diwakili oleh Abdul Kahar Mudzakkir dan Abdul Wahid Hasyim menunjukkan kebesaran hati untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara demi mempertahankan keutuhan Indonesia. Maka dari itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Pancasila adalah hadiah terbesar dari umat Islam kepada bangsa dan negara Indonesia.
Sejak tahun 1945, Kahar mencurahkan seluruh tenaganya pada Sekolah Tinggi Islam yang didirikan pada tanggal 8 Juli 1945 di Jakarta dan terpilih menjadi Rektor Magnificus yang pertama. Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir bersama tokoh-tokoh nasional seperti Dr. Moh. Hatta, Moh. Natsir, Moh. Roem, KH. Wachid Hasyim, berniat menjadikan Sekolah Tinggi Islam sebagai basis pengembangan pendidikan masyarakat pribumi yang bercorak nasional dan Islamis serta menjadi tumpuan harapan seluruh anak bangsa.
Seiring hijrahnya ibu kota Republik Indonesia ke Yogyakarta, maka Sekolah Tinggi Islam pun hijrah dan diresmikan kembali oleh Presiden Soekarno pada 10 April 1946 di Yogyakarta. Untuk peningkatan peran dalam perjuangan, maka STI yang kala itu menjadi satu-satunya perguruan tinggi Islam, diubah menjadi Universitas Islam Indonesia pada 1947. Kesetiaan Kahar Mudzakkir pada cita-cita perjuangan UII telah dibuktikan sejarah. Ia pernah menyelenggarakan Dies Natalis UII ke-4 sambil bergerilya melawan Belanda di desa Tegalayung, Bantul.
Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir menjadi Rektor Magnificus/Presiden UII terhitung pada dua periode, yaitu tahun 1945—1948 dan tahun 1948—1960, atau selama 15 tahun. Pada 1960 digantikan oleh Mr. Kasmat Bahuwinangun dan ia sendiri terjun ke Fakultas Hukum UII untuk menjadi dekan. Selama kurang lebih 1960—1973 ia menjadi Dekan Fakultas Hukum sampai hari wafatnya.
Hingga akhir hayatnya, Abdul Kahar Mudzakkir dikenal sebagai pribadi yang sederhana, bersahaja, dan menghormati orang lain. Ia meninggal pada tanggal 2 Desember 1973 dengan memberikan banyak warna kenangan bagi masyarakat Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia, Muhammadiyah, dan bangsa Indonesia.
Nah Sahabat UNISIA, begitulah sekilas tentang profil Abdul Kahar Mudzakkir. Semoga orang sepertinya dapat terlahir kembali dan selalu ada untuk Indonesia ya. Amin.