Di Al-Quran hanya terdapat dua ayat yang menyebutkan istilah kaya sebagai predikat bagi manusia, yaitu ayat ke-135 surah An-Nisa’ dan ayat ke-7 surah Al-Hasyr. Kedua ayat tersebut memberi penerangan kepada manusia Muslim untuk mewaspadai keberadaannya. Bunyi ayat tersebut yaitu:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian manusia yang benar-benar menegakkan keadilan (hakim), menjadi saksi karena Allah, biar pun terhadap diri kalian sendiri, atau ibu bapak, dan kaum kerabat kalian. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Oleh itu, janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutarbalikkan (kata-kat ), atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Mengetahui segala apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nisa’: 135).
Dilihat dari bentuknya, penjelasan ayat tersebut pada mulanya berupa ayat perintah, yaitu supaya manusia Muslim berlaku adil kepada siapa pun, walau terhadap dirinya sendiri. Jika memang bernilai keliru atau bertindak salah, tetapkanlah untuk menilainya sebagai hal yang keliru atau suatu kesalahan. Begitu pula dengan sebaliknya, jika memang bernilai kebenaran (dimaksud berada di pihak lawan sebagai saingannya).
Namun, setelah adanya kata ‘kaya‘, ayat tersebut berubah menjadi bentuk peringatan (ultimatum), yaitu, ‘janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran’. Hal ini dapat dipelajari bahwa fenomena orang kaya itu merupakan kelompok orang yang berkesempatan melakukan jalan kelicikan ketika hendak memperoleh nilai kemenangan dalam sistem peradilan. Yakni, bisa memainkan kekuatan hartanya dengan melakukan penyuapan atau kolusi terhadap badan penilai atau hakim, untuk menutupi atau menghilangkan kejelekannya yang ada pada dirinya. Maka dari ayat ini manusia Muslim diperintahkan supaya berhati-hati apabila berurusan dengan orang kaya; jika ia adalah penentu kebijakan dalam kehidupan bersama (bermasyarakat).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman:
“Apa saja (dari) harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya, yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah (itu) untuk Allah, untuk Rasulullah, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Supaya harta itu jangan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7).
Dalam ayat ini ditegaskan bahwa apabila manusia Muslim memperoleh harta rampasan perang, yang makna luasnya adalah “segala harta halal yang telah diberikan oleh Allah kepada umat Islam di bumi Allah ini”, maka hendaklah ada pembagian untuk Allah, yaitu untuk membiayai kegiatan ibadah haji misalnya. Dan untuk Rasulullah, yaitu membiayai pelaksanaan dakwah Islamiyah, serta untuk menghidupi orang-orang yang lemah seperti kaum fakir, miskin, musafir (di jalan Allah) yang kehabisan bekal, supaya hidupnya lebih bisa sejahtera.
Itu artinya, supaya harta tersebut jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. Sebab, sifat manusia itu cenderung suka terhadap kuda tunggangan (kendaraan mewah), wanita cantik, memanjakan anak atau memenuhi segala keperluannya. Yang intinya, ingin mempunyai harta yang lebih. Dan yang pertama kali berkesempatan untuk jatuh pada sifat berlebihan (tamak) semacam ini adalah orang kaya. Yaitu, dengan tindakan memonopoli perekonomian masyarakat untuk mendapatkan keuntungan materi sebanyak-banyaknya, seperti menguasai mulai dari bahan baku produksi sampai pada purna jual produksinya, guna mendapatkan keuntungan besar bagi pemenuhan gaya hidupnya.
Jadi, dari kedua keterangan ayat Al-Qur’an tersebut dapat diambil suatu pendefinisian tentang persoalan orang kaya; yaitu orang yang dalam menyelesaikan persoalan hidup lebih tampak bertumpu pada kekuatan nilai harta atau uang yang dimilikinya.*/Sudirman STAIL
Rujukan: Mendidik Akal untuk Berpikir Islami. Penulis: ‘Abdul Muis.
Sumber: hidayatullah.com