Peranan keluarga Abu Bakar al-Shiddiq sangat besar sekali dalam peristiwa hijrah Rasulullah. Nabi memberi tahu Abu Bakar bahwa harus pergi hijrah malam itu dan beliaulah yang ditetapkan sebagai sahabat untuk menyertainya. Dengan ketetapan itu, Abu Bakar merasakan kebahagiaan yang luar biasa, bahagia bercampu haru, sehingga air matanya menetes, deras sekali. Tidak ada yang mengetahui persembunyian Nabi di Gua Tsur, kecuali keluarga Abu Bakar yaitu Abdullah putra beliau, kedua putrinya Asma’ dan ‘Aisyah serta pembantu setianya Amir bin Fuhaira.
Tugas Abdullah sehari-hari berada di tengah-tengah orang Quraisy, untuk menyadap informasi mengenai sikap mereka terhadap Muhammad. Amir bertugas menggembalakan ternak milik Abu Bakar, untuk menghapus jejak apabila Abdullah mengirimkan makanan di Gua Tsur, menyiapkan susu dan daging. Asma’ dan ‘Aisyah memasak menyediakan makanan di rumah kemudian diantarkan oleh Abdullah untuk Nabi dan ayahnya. Setiap Abdullah berangkat ke Gua Tsur atau kembali, di belakangnya selalu diikuti oleh Amir dengan ternak kambingnya yang banyak, menghapus jejak Abdullah, agar tidak diketahui oleh orang-orang Quraisy.
Sebelum Nabi memasuki Gua Tsur, Abu Bakar masuk terlebih dahulu untuk memeriksa keadaan gua itu, apakah aman untuk bersembunyi atau tidak. Dalam gua itu biasanya ditempati oleh binatang-binatang buas dan serangga berbisa. Setelah Abu Bakar memeriksanya dan dianggap aman, baru memberitahu Nabi agar beliau masuk ke dalamnya.
Dalam gua itu, karena sangat lelah, suatu saat Nabi tertidur, meletakkan kepalanya di pangkuan Abu Bakar. Kaki Nabi terlihat melepuh bengkak, karena beliau berjalan tanpa alas kaki. Waktu memangku Nabi yang sedang tidur itu, tiba-tiba Abu Bakar melihat di dekat jempol kakinya ada lubang yang luput dari pengamatannya. Dari lubang itu akan keluar kalajengking besar yang siap menyengat. Abu Bakar segera menutup lubang itu dengan ibu jari kakinya. Segera setelah itu dirasakan olehnya sengatan kalajengking yang sangat menyakitkan, sehingga sengatan itu seolah-olah dirasakan sampai keulu hati. Menahan sakit yang luar biasa itu mengakibatkan badan Abu Bakar menggigil dan seluruh tubuhnya gemetar, sehingga Nabi terjaga dari tidurnya. Baru Nabi mengetahui apa yang terjadi. Dengan cepat beliau berusaha mengeluarkan bisa dari ibu jari kaki Abu Bakar serta kemudian mengobatinya dan berdo’a, sehingga Abu Bakar sembuh. (M. Muhyiddin, Sayyiduna Muhammad Nabi al-Rahmah, hal. 60).
Lolos dari Kejaran
Orang-orang musyrik Quraisy merasa kecewa dan menyesal luar biasa, setelah Nabi lolos dari kepungan mereka. Mereka tidak lagi berpikir terhadap Ali yang sedang tidur menggantikan Nabi. Pikiran mereka hanya tertumpu pada “Muhammad telah lolos dan harus dikejar sampai ketemu”. Dengan demikian Ali pun selamat dan besok harinya beliau melaksanakan apa yang dipesankan oleh Nabi.
Orang-orang musyrik Quraisy terus mencari Nabi, dengan menggunakan ahli-ahli jejak padang pasir, sampai kemudian mendekati Gua Tsur, tempat persembunyian Nabi dan Abu Bakar. Mulanya mereka sudah mengira Nabi bersembunyi di gua itu, tetapi setelah mereka melihat di mulut gua itu terdapat sarang laba-laba, di sampingnya ada dua ekor burung dara sedang mengerami telurnya dan ada dahan-dahan pohon yang menutup lubang gua itu, mereka yakin gua itu tidak mungkin ada penghuninya. Mereka terlampau percaya terhadap perhitungan rasionya, sehingga berkeyakinan demikian.
Sebenarnya pada saat orang-orang Quraisy itu naik ke Bukit Tsur dan mengamati gua itu, saat itu merupakan detik-detik yang menegangkan. Abu Bakar melihat kaki-kaki mereka, sehingga beliau berbisik kepada Nabi: “Wahai Rasulullah, sekiranya mereka melihat ke bawah telapak kakinya, pasti akan melihat kami”. Nabi Menjawab: “Wahai Abu Bakar apa yang kamu kira bahwa kita ini hanya berdua; ketahuilah, yang ketiganya adalah Allah yang melindungi kita”. Itulah kenangan di Gua Tsur, yang mencekam dan menegangkan. Hari-hari berikutnya, dirasakan agak lega, tidak begitu mengkhawatirkan. Peristiwa itu diabadikan dalam al-Qur’an, sebagai berikut:
إِلَّا تَنصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ الله إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا فَأَنزَلَالله سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَّمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَىٰ وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekkah) mengeluarkannya (dari Mekkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kami”. Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan menjadikan kalimat orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. al-Taubah, 9:40).
Setelah tiga hari berada di Gua Tsur, Nabi dan Abu Bakar pergi berhijrah ke Madinah dengan mengendarai dua ekor unta yang telah disiapkan Abu Bakar. Segala persiapan dan bekal untuk perjalanan telah disiapkan oleh Asma’ dan Aisyah, kakak beradik putri Abu Bakar yang sangat setia membela Nabi.
Selain menyediakan dua ekor unta, Abu Bakar menyiapkan uang sebanyak lima sampai enam ribu dirham. Itulah sisa kekayaan yang dimilikinya. (Said Ramadhan, Fiqh al-Sirah, hal. 83). Perjalanan Nabi dan Abu Bakar melewati jalan yang sulit yang tidak bisa dilalui orang, untuk menghindari pengawasan kaum musyrikin Quraisy. Para sahabat Nabi yang lain berhijrah secara sembunyi-sembunyi, kecuali Umar bin Khattab, seorang pahlawan yang dijuluki Singa Padang Pasir.
Umar bin Khattab, setelah mengetahui para sahabat Nabi berhijrah langsung menghunuskan pedangnya mengumumkan kepada orang-orang Quraisy bahwa beliau akan berhijrah. Setelah melakukan shalat dua rakaat di Masjid al-Haram beliau berangkat dan tidak ada seorang pun yang berani mengganggu. Ali bin Abi Thalib, setelah menyelesaikan amanatnya, berhijrah dengan berjalan kaki. Di siang hari yang panas menyengat beliau bersembunyi di balik gunung-gunung batu. Malam harinya melakukan perjalanan, sampai berjumpa dengan Nabi di Quba, kota kecil dekat Madinah. Di sanalah Nabi dan para sahabatnya membangun masjid yang pertama kali, dinamai masjid Quba.
Di kota Yatsrib yang kemudian menjadi Madinah al-Rasul atau kota Nabi, umat Islam dan seluruh penduduk kota telah bersiap-siap menerima kedatangan seorang Muhajir besar, Nabi akhir zaman dan Rasul yang menjadi rahmat bagi alam semesta. Kota ini bagaikan lautan yang bergolak, menumpahkan gelombangnya menerpa pantai. Semua orang, besar dan kecil, pria dan wanita, kaya dan miskin menyatu dalam suasana bahagia, gembira bercampur haru, menyambut kedatangan seorang pemimpin yang mereka dambakan. Dengan alunan musik padang pasir yang khas, pemuda-pemudi Madinah yang gagah dan cantik, orang-orang tua dan anak-anak menyambut kedatangan Nabi dengan alunan syair:
طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا مِنْ ثَنِيَّاتِ الْوَدَاعِ
وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا مَا دَعىَ للهُ دَاعِ
أَيُّهَا الْمَبْعُوْثُ فِيْنَا جِئْتَ بِالْأَمْرِ الْمُطَاعِ
Telah terbit bulan purnama
Menerangi kami dari celah bukit Wada’i
Patutlah kami bersyukur
Karena dai penyeru ke jalan Allah itu telah berseru
Wahai yang dibangkitkan kepada kami
Engkau datang dengan perintah yang dipatuhi
Makna Hijrah
Hijrah yang berarti pindah dari satu tempat ke tempat yang lain atau meninggalkan suatu perbuatan, atau memisahkan diri dari pergaulan tertentu, dalam sejarah Islam dapat di bagi menjadi empat bagian, yaitu: (1) hijrah Nabi dari Makkah ke Thaif, selama beberapa hari saja, kemudian kembali ke Makkah; (2) hijrah sahabat Nabi yang pertama dari Makkah ke Habasyah (Ethiopia); (3) hijrah Nabi dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah; (4) berhijrah dari perbuatan yang tidak baik kepada yang baik. Hijrah dari perbuatan tercela kepada perbuatan terpuji.
Berhijrah dalam arti yang pertama sampai ketiga tidak mungin kita lakukan dan tidak perlu lagi. Yang harus kita lakukan adalah berhijrah dalam arti yang keempat, yaitu meninggalkan perbuatan yang tercela menuju perbuatan terpuji. Meninggalkan yang tersesat dan menuju petunjuk Ilahi. Mengenai hal ini Nabi bersabda:
يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ لَا هِجْرَةَ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا – رواه البخاري
“Tidak ada hijrah setelah terbukanya kota Makkah, tetapi yang ada adalah hijrah untuk berjuang dan beniat yang baik. Apabila kalian diajak berjihad, maka bersegeralah”. (HR. Bukhari, No: 2848).
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ – رواه البخاري و أبو داود والنسائي
“Muslim yang sempurna adalah orang yang tidak mengganggu Muslim lain dengan lisan dan tangannya dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan larangan Allah.” (HR. Bukhari, No: 9, Abu Dawud, No: 2122, Nasa’i, No: 4910).
Setelah sampai di Madinah dan unta Nabi berhenti di lapangan luas tempat menjemur kurma. Lapangan itu milik dua bersaudara Sahal dan Suhail bin Amr, maka Nabi dan para sahabatnya sepakat untuk membangun masjid raya di tempat itu. Lapangan itu kemudian dibeli dari pemiliknya untuk segera digarap pembangunan masjid yang dicita-citakan itu.
Sementara membangun masjid, Nabi tinggal di rumah Abu Ayub, Khalid bin Zaid al-Anshari. Pembangunan masjid itu dikerjakan secara bergotong royong oleh sahabat-sahabat Nabi dengan penuh keikhlasan. Nabi ikut bekerja langsung dengan para sahabatnya dengan bersungguh-sungguh, sehingga menambah semangat bagi para sahabatnya yang terdiri dari kaum Muhajir dan kaum Anshar.
Masjid raya itu dibangun dengan bangunan yang sangat sederhana, disesuaikan dengan kemampuan dan keadaan di waktu itu. Masjid itu merupakan bangunan terbuka yang luas, tembok-temboknya terbuat dari batu bata kasar, sebagai atapnya terdiri dari daun-daun kurma dan sebagian yang lainnya dibiarkan terbuka. Setelah selesai membangun masjid, Nabi melanjutkan dengan pembangunan rumah beliau di samping masjid. Rumah itu pun sangat sederhana. Di samping masjid juga dibangun tempat-tempat sederhana untuk tinggal orang-orang miskin yang tidak mempunyai kemampuan untuk membagun rumah. Sebagian dari mereka adalah para Muhajir dari Makkah. Walaahu A’lam.
KH Zakky Mubarak, Rais Syuriyah PBNU
Sumber: nu.or.id