Adalah Khalifah Harun al-Rasyid seorang raja yang kekuasaannya sangat luas, meliputi berbagai negara. Ia dijuluki sebagai Amirul Mu’minin atau pemimpin bagi orang-orang mukmin. Sebagai seorang khalifah yang dihormati oleh seluruh dunia Islam pada masa itu, ia berusaha menjadi pemimpin yang baik, berwibawa dan mengayomi rakyatnya.
Kemajuan demi kemajuan terus diraih oleh negara yang dipimpinnya, sehingga masa keemasan dari daulat Abbasiyah yang dipimpinnya segera terwujud. Kemajuan dari berbagai bidang ilmu, pembangunan fisik dan mental, sarana jalan dan gedung-gedung bertingkat tumbuh dengan subur di tepi jalan-jalan protokol. Kemajuan kota Baghdad yang menjadi ibukota dari Daulat Abasiyah itu termasyhur ke berbagai negara, sehingga menimbulkan kekaguman yang luar biasa.
Meskipun demikian, sebagai seorang manusia biasa apalagi seorang muslim, Harun al-Rasyid sering melakukan perenungan tentang hakikat kehidupan. Ia sering merasakan kejenuhan dengan kekuasaan dan penghormatan terhadap dirinya. Pada suatu malam Khalifah memanggil pejabat kesayangannya bernama Fadhil al-Barmasid. Ia berkata padanya: “Bawalah aku pada seorang yang bisa menjelaskan siapa diriku yang sebenarnya. Hatiku mulai jenuh dan lelah karena kemewahan, tahta, penghormatan dan sanjungan orang lain.”
Al-Barmasid membawa khalifah ke rumah seorang ulama sufi bernama Sufyan al-Uyainah. Waktu rombongan tamu penting itu sampai ke rumah yang dituju, Sufyan merasa terkejut. Ia berkata: “Mengapa Amirul Mu’minin bersusah-susah datang kemari, padahal bila perlu tinggal memanggil saya datang ke istana, saya akan datang ke sana?”
”Bukan tipe ulama seperti itu yang kami cari,” jawab Amirul Mu’minin. “Ulama tipe penjilat seperti itu datang silih berganti ke istanaku setiap saat.” Selanjutnya Sofyan al-Uyainah mengatakan, “Kalau begitu maksudmu pergilah ke tempat Fudhail bin Iyadh.”
Al-Uyainah membacakan salah satu ayat Al-Qur’an yang dialamatkan kepada khalifahnya: “Apakah mereka yang berbuat keburukan itu mengira bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu” (Q.S. al-Jatsiyah: 20). Khalifah menanggapi ayat yang dibacakan Sufyan: “Sekiranya aku memerlukan nasihat yang baik, ayat itu cukup bagiku.” Rombongan khalifah kemudian pergi menuju rumah Fudhail bin Iyadh (W. 187 H).
Fudhail bin Iyadh adalah seorang sufi ‘allamah, perjalanan hidupnya amat tragis dan mengharukan. Ia pada mulanya seorang pemimpin perampok yang terus mengganggu ketentraman hidup di padang pasir dan mengusik para kafilah yang berlalu di daerah operasinya. Meskipun menjadi pemimpin para perampok, Fudhail sebenarnya adalah seorang pria yang berhati lembut, cerdas, kasih pada sesama. Ia tidak mau merampas harta milik kaum wanita atau anak-anak, juga tidak merampas harta milik seseorang sampai ludes, tetapi selalu disisakan untuk orang yang dirampasnya. Ia sewaktu-waktu berkhalwat, menyendiri untuk merenungi arti kehidupan yang dijalaninya.
Karena perjalan hidupnya yang tragis itu tidaklah mengherankan apabila perbuatan-perbuatan yang sangat berlawanan dilakukan olehnya. Perbuatan buruk dan perbuatan baik, tercela dan terpuji bercampur aduk dalam diri Fudhail, pemimpin perampok yang disegani itu. Ia berpakaian seperti layaknya seorang sufi, melakukan shalat dan puasa, dari yang wajib sampai yang sunnah.
Suatu saat kawanan perampok anak buah Fudhail menjegat dan merampas harta salah satu kafilah yang berlalu di daerahnya. Ketika kawanan perampok itu sedang makan-makan, berpesta menikmati hasil rampokannya, datang pada mereka seorang anggota kafilah yang dirampok itu dengan bertanya: “Siapa pemimpin kalian?”
Mereka menjawab: “Dia tidak ada di sini, ia berada di balik pohon di tepi sungai, sedang melaksanakan shalat.” “Tetapi sekarang bukan waktunya shalat,” tanya kafilah itu. “Ia melaksanakan shalat sunnah.”
Anggota kafilah itu bertanya lagi: “Mengapa ia tidak ikut makan bersamamu?” Dijawab oleh salah seorang di antara mereka: “Ia sedang berpuasa.” “Tetapi sekarang bukan bulan Ramadhan.” Dijawab lagi: “Ia sedang berpuasa sunnah.”
Dalam perjalanan hidupnya yang panjang terjadilah konversi yang dahsyat pada jiwa Fudhail putra Iyadh itu. Peristiwa konversi itu dimulai ketika ia sedang mencegat serombongan kafilah yang akan dirampoknya. Di antara anggota kafilah itu ada yang sedang berjalan sambil melantunkan ayat al-Qur’an dengan suara yang sangat merdu. Salah satu ayat yang dibacanya begitu mengena, menembus kalbu Fudhail, bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya: “Belum jugakah datang saatnya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (untuk mereka)…” (Q.S. al-Hadid, 57: 16).
Fudhail kemudian bertaubat dari segala dosa dan kesalahannya serta meninggalkan kehidupannya yang sangat kelabu dan kusam itu. Ia berkelana selama bertahun-tahun, berpindah dari satu daerah ke daerah lain, mencari orang-orang yang pernah dirampoknya untuk meminta maaf atas segala kesalahannya dan memohon keridhaannya. Ia menjalani kehidupan seperti ini dengan pengorbanan yang berat dan kesengsaraan yang tak terperikan, dalam rangka membersihkan dirinya dari noda dan dosa. Pimpinan perampok yang bertaubat itu juga meningkatkan segala amal dan ibadahnya, mempertajam kalbunya sehingga menjadi seorang sufi ‘allamah yang sangat terkenal pada masanya.
Katika Harun al-Rasyid dan rombongannya sampai ke rumah Fudhail ia meminta nasihat kepadanya tentang hakikat kehidupan. Fudhail memberikan nasihat yang sangat mendalam dan mengharukan, membuat mereka yang hadir berlinang air mata. Di antara nasihatnya, mengutip nasihat dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Fudhail berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, negara yang anda pimpin ini, ibarat satu keluarga besar. Para orang tua di antara rakyatmu adalah ayahmu. Kaum wanita adalah ibumu dan para remaja adalah anak-anakmu. Perlakukanlah mereka seperti ayahmu, ibumu, saudaramu dan anak-anakmu sendiri.”
Setelah selesai, Khalifah menghadiahkan kepadanya beberapa pundi uang dinar yang terbuat dari emas murni. “Ini adalah uang yang halal, warisan dari ibuku,” ujar Khalifah. Dengan tatapan mata yang tajam dan kharisma yang amat berwibawa, Fudhail menolak pemberian itu sambil berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, nasihat yang telah aku berikan tidak ada gunanya sama sekali, karena engkau memulai lagi dengan perbuatan dosa, melanjutkan ketidakadilan. Aku mengajakmu menuju keselamatan, tapi engkau menyeretku pada godaan duniawi.” Selanjutnya Fudhail menandaskan: “Kembalikan milikmu ini kepada mereka yang berhak, mengapa anda memberikan kepada orang yang tidak membutuhkannya.”
“Luar biasa orang ini,” kata Khalifah sambil beranjak meninggalkan rumah Fudhail. Dalam perjalanan kembali ke istana di Baghdad, Khalifah berkata: “Sebenarnya bukan aku yang menjadi raja, tetapi Fudhail itulah raja yang sesungguhnya. Keangkuhannya begitu besar, kemewahan dunia amat rendah dalam pandangannya.” Tepat apa yang dikatakan Khalifah, “Raja yang sesungguhnya adalah mereka yang tidak terpukau oleh kemewahan duniawi. Mereka yang selalu tergiur oleh kemewahan dunia dan kelezatan sesaat yang menipu, bukanlah para raja. Mereka adalah budak-budak dunia.”
Oleh: KH Zakky Mubarak, Rais Syuriyah PBNU
Sumber: nu.or.id