Peristiwa kurban ini adalah sebuah bentuk pengagungan kepada asma Allah, dan bukanlah sebuah pengagungan kita sebagai hamba dalam melakukan kurban itu sendiri.
وَلِكُلِّ اُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِّيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلٰى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْۢ بَهِيْمَةِ الْاَنْعَامِۗفَاِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ فَلَهٗٓ اَسْلِمُوْاۗ وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِيْنَۙ
Dalam surat Al Hajj ayat 34 , “Bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban) agar mereka menyebut nama Allah atas binatang ternak yang dianugerahkan-Nya kepada mereka. Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa. Maka, berserahdirilah kepada-Nya. Sampaikanlah (Nabi Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang yang rendah hati lagi taat (kepada Allah).”
Bahimatul an’am yang telah disetujui oleh banyak ulama-ulama fiqih merupakan hewan ternak seperti antara lain nya unta, kemudian baqarrah yang dapat dianalogikan sebagai hewan seperti sapi, kuda , kerbau. Dan kemudian selanjutnya yang lebih ringan seperti kambing, domba. Nilai spiritual dari berkurban itu adalah dalam rangka untuk memperoleh ketakwaan di sisi Allah, maka jika ada orang yang tidak mampu berkurban senilai hewan seperti unta atau baqarrah sapi maka tidak berarti dia lepas dari kesempatan untuk memperoleh nilai-nilai pahala dari kebahagian Idul Adha nanti.
Rasulullah dikisahkan pernah berkurban dengan tiga jenis hewan ternak tersebut, unta, baqarrah sapi dan domba. Sehingga peristiwa inilah yang dijadikan pegangan oleh banyak ulama-ulama fiqih dalam mensyaratkan jenis hewan-hewan ternak apa saja yang dapat dikurbankan. Kemudian dalam hadist dari nabi juga disebutkan jika hewan ternak yang besar dapat digabungkan sebagai hewan kurban untuk 7 orang, karena memiliki kualitas yang besar. Di Indonesia pada umum nya, bagi mereka yang ingin untuk bergabung dalam berkurban maka dapat memilih hewan ternak seperti sapi dan sejenis nya, karena tidak mungkin bagi kita untuk dapat menyembelih hewan unta disini, karena unta termasuk hewan yang tidak diternakkan di Indonesia dan satwa yang terbatas atau dilindungi.
Dikisahkan juga ketika Rasulullah bersama para sahabat sedang dalam perjalanan musafir dan tibalah pada saat nya hari Idul Adha, kemudian Rasul bersama sahabat mengumpulkan uang untuk membeli hewan kurban sapi untuk 7 orang, dan juga kemudian unta yang besar untuk 10 orang. Dari kisah ini dapat diartikan bahwa jumlah dari orang yang berkurban itu tidak dibatasi siapa orang penyandang dana dan siapa yang tidak, tetapi untuk hewan yang besar maksimal bisa untuk 10 orang dan kemudian yang umum adalah untuk 7 orang.
Dari kisah ini tampak bahwa sebenarnya Rasulullah mengajarkan kepada kita akan pentingnya keutamaan. Jika kita mampu untuk mendapatkan hewan kurban yang lebih besar maka lebih baik dan lebih utama untuk dilakukan, sedangkan jika tidak mampu maka bisa memilih hewan yang kategori dibawah nya.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah pernah udhiyah , Rasul bersama para sahabat pernah berkurban hewan kuda. Dari kisah ini maka hal ini boleh untuk dilakukan dan sah. Mungkin di Indonesia sendiri hal ini tidak umum dilakukan terutama di pulau jawa dan sebagian besar di kalangan masyarakat kita yang jarang memiliki kuda sebagai hewan ternak, namun hal ini bisa juga terjadi di daerah Indonesia timur yang hewan ternak nya sebagian besar adalah kuda, maka hal ini tentu bisa dilakukan, hewan tersebut bisa dijadikan sebagai hewan kurban. Bahkan dari sebuah riwayat Hasan bin shalih dikatakan boleh saja berkurban dengan banteng, kerbau atau rusa. Ini sebenarnya lebih ke pernyataan kuantitas, yang dapat diterjemahkan seperti hal nya hewan kijang yang kemungkinan daging nya dapat setara dengan kambing domba, hewan banteng dengan kerbau, dan juga kuda dengan sapi. Sedangkan hewan unta juga memiliki berbagai macam jenis nya, dan ini akan berpengaruh juga pada besar dan tidak nya ukuran daging nya.
Ketika kita menyembelih hewan kurban atau melakukan tindakan amal syariah apapun, sebenarnya bukan persoalan sembelihan nya, atau daging nya, dan bukan juga darah nya. Namun lebih kepada implementasi dari ketakwaan itu. Maka ketika kita menyembelih hewan kurban haruslah kita ingat bahwa kita sedang menyembelih sifat kebuasan kita, sifat kebinatangan kita. Karena kita tahu bahwa menurut Imam Al-Ghazali ada empat sifat yang selalu melekat pada diri manusia. Pertama adalah sifat malaikiyah , sifat kemalaikatan, ini hal yg positif, salah satu contoh nya seperti saling tolong menolong dan berbagi. Yang kedua adalah sifat basyariyah , sifat yang pasti melekat pada diri manusia. Manusia memiliki nafsu dalam hidup nya. Dalam hal berkurban, kita sebagai shohibul qurban diperbolehkan untuk memakan sebagian daging hewan yang telah kita kurban kan, dan hal ini tidak dilarang. Namun tentu akan lebih utama untuk membagikan semua daging kurban tersebut kepada orang lain untuk menguji tingkat keikhlasan kita tadi.
Dua hari raya Idul FItri dan Idul Adha merupakan dua hari raya yang sangat dimuliakan oleh Allah.
Dan karena kemuliaan nya itulah bahkan kita dilarang untuk berpuasa pada saat tanggal 10 Dzulhijah dan pada hari-hari tasyrik setelah hari Idul Adha. Melalui peristiwa kurban ini dapat menunjukkan bahwa menikmati nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada kita dengan makan bersama keluarga , teman dan masyarakat pada umum nya dan saling berbagi adalah sebuah hal yang sangat baik.
Sumber : Ustadz Maulidi Al-Hasani.