Salah satu fenomena yang muncul di tengah pandemi Covid-19 ini, khususnya bagi umat Islam, adalah soal pertentangan antara akal dan nafsu dalam beragama. Hal ini begitu gamblang terlihat dari sikap-sikap yang beragam dari umat Islam sebagai respon atas pandemi Covid-19.
Ulama dunia, baik dari Al-Azhar Mesir hingga di Indonesia, merespon pandemi ini dengan mengeluarkan sejumlah fatwa. Terutama sekali yang kaitannya dengan ibadah-ibadah komunal (jamaah). Bahkan mereka menganjurkan agar untuk sementara waktu masjid ditutup, demi mencegah penyebaran virus Covid-19 ini lebih luas lagi. Dalil-dalil keagamaan tentu saja sudah banyak sekali yang disertakan di setiap fatwa-fatwa tersebut.
Respon umat Islam atas fatwa-fatwa seperti itu tentu saja beragam. Ada yang mendukung dan melaksanakannya. Ada juga yang tidak setuju, dengan dalih yang juga beragam. Bahkan mungkin ada juga yang mendukung, tapi dalam praktiknya masih menyelenggarakan ibadah komunal. Faktornya juga beragam. Ada yang disebabkan adanya tekanan tradisi, hingga tekanan dari keluarga sendiri untuk tetap menyelenggarakan ritual ibadah komunal seperti biasanya.
Berdasarkan fenomena ini, maka salah satu hikmah yang dapat kita peting dari kondisi sulit di tengah wabah Covid-19 ini adalah terjadinya pertarungan antara akal dan nafsu dalam beragama atau berislam. Kita bisa memetakan antara orang yang dalam menyikapi Covid-19 ini menggunakan akal dan ilmunya dalam berislam, dengan orang yang larut dalam nafsu tradisinya dalam berislam. Atau bahkan ada juga yang berada di tengah-tengah antara akal/ilmu dengan nafsu tradisi tersebut.
Betapapun tradisi berislam itu penting untuk melestarikan ajaran Islam, namun tentu saja tidak dapat dilupakan bahwa agama ini juga merupakan agama yang rasional dan menjunjung tinggi ilmu. Keseimbangan antara tradisi dan ilmu ini penting untuk menjaga kelestarian ajaran agama Islam. Di dalam ajaran Islam terkandung prinsip-prinsip dalam berislam yang perlu dipelajari oleh akal, namun juga perlu ditradisikan dalam kebiasaan.
Pertanyaannya kemudian, jika suatu saat tradisi ini berbenturan dengan ilmu, lalu apa yang harus dimenangkan?
Jika benar-benar hal itu terjadi, atau dalam kondisi pandemik Covid-19 ini kita alami, maka yang harus dikedepankan adalah ilmu daripada tradisi. Sebab agama ini dapat menjadi rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin), dapat bertahan dalam segala perubahan kondisi umat manusia, tak lain karena ilmu. Sementara tradisi pada saatnya pasti akan mengalami benturan dengan perubahan.
Wallahu’alam.[]
Oleh: Ahmad Sadzali