Rumah sakit Islam pertama dibangun di Damaskus. Pendirinya adalah Walid bin Abdul Malik (705-715 M). Proses pembangunannya memakan waktu kurang lebih satu tahun, tepatnya pada 86 H (706-707 M). Tujuan pembangunan rumah sakit ini untuk menyembuhkan orang sakit, memberikan perawatan kepada penderita penyakit kronis, menjaga penderita kusta, dan menampung orang miskin. Perawatan dan penjagaan tidak dipungut biaya sepeserpun. Banyak dokter yang bekerja di rumah sakit ini.
Sebelumnya, pada zaman pra Islam di Damaskus, ada beberapa jenis lembaga amal di Bizantium, salah satunya bernama nosocomium, yang fungsinya mirip rumah sakit. Di dalamnya perawatan diberikan kepada orang yang sakit, penderita kusta, difabel, dan orang miskin. Oleh karena itu, banyak opini muncul dan menyatakan bahwa rumah sakit yang dibangun oleh Walid bin Abdul Malik menyerupai nosocomium-nya Bizantium (Romawi Timur). Namun demikian, sebenarnya Rumah Sakit Walid ini memiliki perbedaan dengan nosocomium. Rumah Sakit ini mempunyai tabib spesialis penyakit-penyakit tertentu yang tidak dimiliki nosocomium.
Rumah sakit Islam kedua hampir sama dengan yang ada di Damascus, namun letaknya berada di Kairo, juga pada akhir zaman pemerintahan Dinasti Umayyah. Sedangkan rumah sakit Islam ketiga letaknya tidak diketahui secara persis. Hanya sedikit referensi yang membahasnya. Itupun didapat dari sumber India. Sumber itu menunjukkan bahwa pengaruh India sangat besar dalam keberadaan rumah sakit yang ketiga ini (Aydin Sayili, 2006:3).
Kekhalifahan Abbasiyah memberikan angin segar terhadap pengembangan budaya dan kemajuan kegiatan kesejahteraan masyarakat. Sebab, semasa pemerintahan dinasti ini sangat sedikit terjadi peperangan, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan semakin meningkat.
Rumah sakit ini menempati akademi lama Jundeshapur dan diberi nama Bimaristan. Tepatnya pada awal abad ke-9 di Baghdad pada masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid. Sejak saat itu, nama Bimaristan menjadi sebutan bagi tempat untuk merawat dan menyembuhkan orang sakit. Sebab, Bimaristan sendiri berasal dari bahasa Persia, yaitu Bimar yang berarti penyakit (desease) dan stan berarti lokasi atau tempat (Aydin Sayili, 2007:1).
Bimaristan menjadi bangunan terpenting pada masa itu. Bangunannya selesai pada tahun 978-979 M menghabiskan biaya sebesar 100.000 dinar. Rumah sakit itu memiliki 24 orang dokter yang juga bertugas mengajar ilmu kedokteran. Penyair seperti al-Mutanabbi menyanyikan keagungan Adud dan para penulis termasuk ahli tata bahasa, Abu Ali al-Farisi menulis kitab al-Idhah untuk Adud (Phillip K. Hitti, 2006:600).
Bimaristan menyediakan berbagai layanan, kadang-kadang tanpa biaya. Tempat itu juga berfungsi sebagai tempat untuk melakukan penelitian medis dan mengajar kedokteran. Pada masa Harun al-Rasyid, Bimaristan telah memiliki ruang administrasi yang besar, ruang kuliah, masjid, kapel, perpustakaan yang kaya, baik petugas pria dan wanita, dan jaringan terpisah jika bangsal untuk demam, ophthalmia, operasi, dan disentri, juga memiliki apotek, dan pada divisi yang berkeliling desa (John L. Esposito, 2003:43).
Pengaruh India sangat besar dalam perkembangan Bimaristan, terutama pada masa-masa awal. Kebanyakan menggunakan metode pengobatan Yunani dan Persia. Lalu, datanglah Barmak yang memperkenalkan metode India. Orang ini mengundang sejumlah ahli dari India yang memiliki karya-karya medis dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Ia juga mendirikan sebuah apotik besar di Baghdad di mana pasien dirawat dengan metode India.
Harun al-Rasyid juga menciptakan sebuah departemen yang terpisah dari departemen lain, yaitu Departemen Kesehatan. Departemen ini menjalankan beberapa apotik pemerintah yang dikelola oleh dokter berbakat. Departemen diawasi oleh Inspektur Jenderal Kesehatan dan Bukht Yishu menjadi orang pertama yang ditunjuk untuk mengisi jabatan itu.
Praktisi medis dibayar tinggi oleh Khalifah. Sebagai contoh, Jabriel putranya Bukht Yishu yang bekerja menggantikan ayahnya, menerima gaji bulanan sebesar sepuluh ribu dirham dan lima ribu sebagai tunjangan dari bendahara kekaisaran. Selain itu, ia memperoleh penghasilan tambahan melalui praktek pribadinya, pelanggan yang datang sebagian besar berasal dari pejabat tinggi negara.
Perkembangan Bimaristan pada masa Harun ar-Rasyid berlanjut pada awal pemerintahan Makmun. Khalifah ini memberlakukan standar yang tinggi bagi setiap orang yang ingin bergelut dalam profesi medis. Untuk menjadi apoteker, seseorang harus melalui tes kemampuan. Hal ini berlanjut pada masa pemerintahan Mu’tashim.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abbasiyah lain, al-Muqtadir Billah, sebuah wabah epidemi berskala besar menyerang rakyat yang berada dalam kekuasaan pemerintah Abbasiyah. Situasi tersebut memaksa Khalifah membuka beberapa rumah sakit baru. Ia juga membuat rumah sakit di dalam penjara untuk mengobati pasien yang berasal dari kalangan narapidana.
Demi mengatasi epidemi itu, Khalifah menunjuk ratusan dokter untuk berkeliling ke desa-desa dengan apotik berjalan, yang nantinya akan melayani dan mengobati orang-orang desa yang sakit.
Tanpa adanya sertifikat, seorang yang tidak mempunyai keahlian dalam bidang medis memanfaatkan kesempatan itu untuk mencari keuntungan pribadi. Muncullah kasus-kasus malpraktek yang merugikan masyarakat. Peristiwa itu membuat Sinan, kepala Departemen Kesehatan, diperintahkan oleh khalifah pada 931 M untuk menguji semua dokter lalu memberikan sertifikat kepada mereka yang bisa lulus.
Oleh karena itu, sistem test kemahiran medis diperkenalkan dan lebih dari 860 orang lulus test di Baghdad saja dan mulai praktek mereka. Fasilitas medis juga dikirim dan disebar ke daerah yang jauh dari ibukota Abbasiyah. Setidaknya, 34 rumah sakit sudah tersebar di seluruh dunia Islam selama kekhalifahan Abbasiyah pada abad ke-11 ( Hospitals in Medieval Islam, tt: 4).
Sumber: suaramuhammadiyah.id