Fenomena Fatwa AI

Sekarang sudah muncul teknologi berupa kecerdasan buatan atau artificial intelligence ( AI )  yang para pengguna nya justru dituntut untuk lebih cerdas dalam menggunakan dan mengkonsumsi teknologi ini. Apalagi pada saat ini teknologi media AI dinilai sebagai perkembangan yang sangat tinggi peminat nya di seluruh dunia.
AI berkembang sangat pesat saat ini, awal nya mulai berbentuk website dan kemudian saat ini berlanjut menjadi sebuah bentuk chat box yang dapat berinteraksi dengan pengguna secara langsung real time. Awal nya chat box ini didesain hanya terbatas dalam memberikan informasi kepada konsumen seputar produk marketing pada sebuah produk bisnis, namun pada saat ini data yang bisa diakses menjadi semakin luas dan terkoneksi dengan jaringan internet yang memungkinkan bagi setiap pengguna nya dapat berinteraksi dalam memberikan pertanyaan apapun pada chat box ini. Fenomena AI ini tentu menimbulkan antusiasme yang sangat besar di kalangan masyarakat dan sekaligus memiliki kekhawatiran yang juga besar.

AI menggunakan referensi data dalam proses nya.

Dengan adanya kelimpahan informasi big data yang terdapat di dalam nya, hasil pencarian output dari AI ini juga dapat berpotensi mengakibatkan kebingungkan dari para pengguna nya , sebagai contoh nya jika kita merujuk pada pencarian informasi seputar ilmu keislaman yang dikumpulkan dari sebuah big data pada sistem AI ini. Kita tidak mampu mengetahui apakah informasi ini benar dari sumber yang tepat atau hanyalah kumpulan postingan yang terdapat dari sebuah diskusi forum internet yang dapat diragukan ke-sahihan nya. Sumber referensi data ini juga dapat membuat bingung bagi kalangan umat muslim dalam memilih informasi keislaman yang tepat. Bahkan seringkali AI ini menggunakan data-data yang tidak jelas sumber nya, sering terjadi AI tidak menunjukkan dari mana saja mereka mengambil sumber data ilmiah nya. Padahal bagi umat muslim kita wajib untuk mengetahui dari mana asal dalil tersebut , dari siapa dalil tersebut terucap, dan siapa mufti nya. Keresahan bagi umat berikut nya adalah algoritma data yang diproses oleh AI ini, tentunya semua nya sudah di-setup oleh perusahaan pengembang teknologi AI tersebut. Dengan demikian tentu bisa saja akan ada konflik kepentingan bagi mereka dalam mengolah data-data tersebut.

Pada penelitian yang ditulis oleh Hakim dan Azizi, pada tahun 2019 di UEA Uni Emirate Arab melalui lembaga Islamic Affairs & Charitable Activities Department, sudah meluncurkan sebuah teknologi ‘Mufti Virtual’, teknologi berbasis AI ini diklaim oleh pengembang nya sebagai model pelayanan fatwa pertama di dunia yang berbasis artificial intelegence. Sehingga memberikan anggapan bahwa dengan ada nya mufti virtual ini maka kita tidak perlu lagi menunggu jawaban selama berhari-hari yang biasa nya akan memakan waktu yang cukup lama dalam menentukan sebuah hukum untuk berhasil diputuskan menjadi sebuah fatwa, apalagi jika masalah itu beririsan dengan aktivitas kontemporer, hukum muamalah dan lain sebagai nya.

Ancaman kelemahan dari AI

Produk model AI ini sering gagal ketika diterapkan di luar konteks pelatihan nya, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa AI ini adalah sebuah Learning Machine. Para pengembang memberikan feed berbagai pengetahuan umum dasar kepada AI ini untuk mengembangkan kecerdasan nya. Jadi ketika sebuah learning model ini belum diberikan ‘makan’ pengetahuan dasar yang di luar konteks pelatihan nya, maka sering sekali sebuah model AI ini akan gagal atau meleset dalam merespon pertanyaan yang diberikan oleh pengguna nya.

Yang kedua adalah AI memiliki kelemahan pada Penalaran Kausal, atau causal reasoning. Pada umum nya model AI ini hanya mempelajari tentang kolerasi, dan bukan hukum Sebab-Akibat. Sehingga disini sangat dimungkinkan jika AI ini memiliki kefatalan dalam logika atau logical fallacy. Salah satu contoh nya misal nya jika kita bertanya mengenai fatwa tentang harga barang konsumsi yang berubah terhadap dampak kebijakan pemerintah dalam pengendalian harga. AI ini hanya memandang nash-nash sumber tertentu, dan tidak bisa melihat konteks hukum itu secara menyeluruh.

Ketiga adalah ketidakmampuan AI untuk mewakili kaidah secara diskrit. AI modern berbasis pada representasi numeral kontinyu. Tidak cocok dalam menggunakan kaidah hukum yang diskrit dan kategorikal. Contoh misal nya pada penentuan sesuatu masalah sebagai hal Fardhu atau Mubah, yang tidak bisa didasarkan pada numeral atau algoritma tertentu. Jika Hukum Islam ada 5, yaitu Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh dan Haram maka penentuan hukum ini tidak bisa serta merta dapat diputuskan secara hukum oleh kecerdasan buatan AI.

Keempat adalah sensitifitas konteks sosial dan bahasa. Meskipun AI ini sekarang tidak dibatasi pada bahasa tertentu namun konteks bahasa ini bisa sangat rumit terutama dalam budaya bahasa arab, karena konteks bahasa arab ini sangat sarat dengan masalah budaya. Jadi pada budaya arab tertentu itu akan berpengaruh dalam makna yang dilahirkan dari ekspresi bahasa tertentu, dan ini menjadi salah satu kelemahan terbesar dari sebuah kecerdasan buatan AI ini.

Dari berbagai ancaman kelemahan AI ini, kita sadar bahwa sebuah fatwa di dalam agama Islam bukan hanya sekedar produk informasi, tetapi dari hasil progres yang sangat mendalam , proses interpretatif dari mufti ulama tertentu yang ahli di bidang nya, juga sekaligus dari pengalaman spiritual. Ada kebijakan dari para mufti tersebut untuk mendalami permasalahan yang akan diputuskan menjadi sebuah fatwa.

Kelebihan AI

Setelah kita membahas beberapa kelemahan dari kecerdasan buatan ini, kita bisa melihat juga beberapa kelebihan nya. Oleh peneliti Faisol pada tahun 2023, dikatakan bahwa AI dapat memepercepat dalam mengakselerasi teks syar’i dan mendukung proses Istinbat hukum. Namun juga ditegaskan bahwa AI tetap difungsikan hanya sebagai alat bantu saja, bukan Mujtahid. Mujtaid adalah seorang ulama yang memiliki kemampuan melakukan ijtihad, proses penggalian hukum Islam dari sumber nya Al-Quran dan Al Hadits. Dalam Muktamar Nahdlatul Ulama tahun 2021, menyatakan bahwa fatwa dari hasil proses kecerdasan buatan ini terlarang atau haram untuk diambil sebagai rujukan Islam.

Menurut peneliti Hakim dan Azizi mengatakan bahwa AI ini bersifat Majhul Hal, tidak punya nama atau anonimitas, tidak diketahui identitas nya, sanad nya, ataupun kredibilitas nya. Maka meskipun AI ini dapat menyeruakkan hukum berdasarkan proses analisa dari berbagai sumber yang didapatkan dari kumpulan data-data nya mereka, tetapi AI ini tidak dapat untuk diikuti sebagai pendapat hukum. Karena ketika sebuah hukum itu telah diputuskan, maka siapa orang pihak yang melegitimasi , dan hal ini harus ada. Di dalam budaya syariat Islam harus wajib diketahui siapa yang mengeluarkan keputusan hukum fatwa tersebut.

Sementara menurut peneliti Muji dan Khoirunnisa pada tahun 2024 menyatakan bahwa kecerdasan buatan atau AI ini memiliki potensi dibolehkan untuk digunakan selama tidak menyalahi maqashid syariah. Selama tidak menimbulkan mudharat dan tidak menghapus fungsi ulama sebagai penjaga hukum. Peran ulama sebagai validator tidak bisa tergantikan. Karena hukum Islam ini sangat terkait dengan niat, konteks, pertimbangan maqashid, kebijaksanaan, konteks budaya dan juga kondisi dari si penanya masalah tersebut. Variabel yang sangat banyak ini belum bisa menjadi umpan balik yang bisa diproses oleh kecerdasan buatan AI ini.

Edukasi digital diperlukan dan sangat penting untuk semua kalangan umat muslim saat ini, karena kita juga perlu untuk berpikir kritis dengan segala hal informasi yang di-generate oleh kecerdasan buatan ini.

Bisa kita tarik kesimpulan bahwa walaupun AI dapat meniru berbagai hal tertentu dan mengumpulkan berbagai informasi yang banyak sekali namun teknologi ini terbatas pada penalaran klausal, konteks dan representasi pada aturan hukum juga terbatas pada makna sipiritual. Bahkan tidak mungkin dan tidak seharus nya digunakan untuk menggantikan para ulama dalam pengambilan keputusan fatwa ini. Masyarakat perlu juga untuk membekali diri dengan literasi digital agar dapat membedakan antara bantuan algoritma dan otoritas keilmuan. Pada otoritas keilmuan ini pun dibatasi kepada ulil amri, dengan sebagai contoh di negara kita Indonesia yang memiliki sebuah lembaga Dewan Syariah Nasional MUI yang legitimate untuk mengeluarkan fatwa.

sumber : Muhammad Kholif Lir Widyo Putro, S.T, M.sc – Dosen Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *