Sahabat Radio UNISIA sekalian yang dirahmati Allah. Semoga selalu sehat wal afiyat ya, dan juga selalu berada di dalam lindungan serta keridhoan Allah SWT.
Sahabat Radio UNISIA, Kalimantan Selatan, khususnya Banjarmasin dan khususnya lagi bagi kota Martapura, memiliki keistimewaan yang luar biasa melebihi keistimewaan dunia. Karena di tempat inilah lahir dan hidupnya sosok ulama besar nusantara nan begitu kharismatik, yaitu Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjary.
Sesuai dengan nama yang disematkan di belakang nama beliau, al-Banjary, beliau adalah ulama yang lahir di tanah Banjar. Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjary lahir di Desa Lok Gabang, pada 19 Maret 1710 M.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Ia sempat menuntut ilmu-ilmu agama Islam di Mekkah. Sekembalinya ke kampung halaman, hal pertama yang dikerjakannya adalah membuka tempat pengajian atau semacam pesantren bernama Dalam Pagar. Mulanya lokasi ini berupa sebidang tanah kosong yang masih berupa hutan belukar pemberian Sultan Tahmidullah, penguasa Kesultanan Banjar saat itu. Syekh Arsyad al-Banjari menyulap tanah tersebut menjadi sebuah perkampungan yang di dalamnya terdapat rumah, tempat pengajian, perpustakaan dan asrama para santri.
Sejak itu, kampung yang baru dibuka tersebut didatangi oleh para santri dari berbagai pelosok daerah. Kampung baru ini kemudian dikenal dengan nama kampung Dalam Pagar. Di situlah diselenggarakan sebuah model pendidikan yang mengintegrasikan sarana dan prasarana belajar dalam satu tempat yang mirip dengan model pesantren. Gagasan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari ini merupakan model baru yang belum ada sebelumnya dalam sejarah Islam di Kalimatan masa itu.
Selain berfungsi sebagai pusat keagamaan, di tempat ini juga dijadikan pusat pertanian. Syekh Muhammad Arsyad bersama beberapa guru dan muridnya mengolah tanah di lingkungan itu menjadi sawah yang produktif dan kebun sayur, serta membangun sistem irigasi untuk mengairi lahan pertanian.
Tidak sebatas membangun sistem pendidikan model pesantren, Syekh Muhammad Arsyad juga aktif berdakwah kepada masyarakat umum, dari perkotaan hingga daerah terpencil. Kegiatan itu pada akhirnya membentuk perilaku religi masyarakat.
Dalam menyampaikan ilmunya, Syekh Muhammad Arsyad sedikitnya punya tiga metode. Ketiga metode itu satu sama lain saling menunjang. Selain dengan cara bil hal, yakni keteladanan yang direfleksikan dalam tingkah laku, Syekh Muhammad Arsyad juga memberikan pengajaran dengan cara bil lisan (dengan perkataan) dan bil kitabah (dengan tulisan).
Pada suatu waktu, Sultan Kerajaan Banjar, Sultan Tahmidullah, berkunjung ke kampung-kampung yang ada di wilayahnya. Tiba di Kampung Lok Gabang, ia terkesima melihat lukisan yang indah. Setelah bertanya, dia mengetahui pelukisnya bernama Muhammad Arsyad, seorang anak berusia tujuh tahun. Tertarik dengan kecerdasan dan bakat anak kecil itu, Sultan berniat mengasuhnya di istana.
Mulanya, Abdullah dan Siti Aminah, kedua orangtua Arsyad, enggan melepas anak sulungnya itu. Tapi atas pertimbangan masa depan si buah hati, keduanya pun menganggukkan kepala. Di istana, Arsyad kecil bisa membawa diri, selalu menunjukkan keluhuran budi pekertinya. Sifat-sifat terpuji itu membuat ia disayangi warga istana. Bahkan, Sultan memperlakukannya seperti anak kandung.
Beranjak dewasa, Arsyad dikawinkan dengan Bajut, seorang perempuan yang salehah. Ketika Bajut tengah mengandung anak pertama, terlintas di benak Arsyad untuk menuntut ilmu di Tanah Suci Mekkah. Sang istri tidak keberatan demi niat suci suami, meski dengan perasaan berat. Setelah mendapat restu Sultan, Arsyad berangkat untuk mewujudkan cita-citanya.
Di Tanah Suci, Arsyad memperdalam ilmu agama. Guru-gurunya, antara lain Syekh Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, dan al-‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman al-Hasani al-Madani.
Namanya terkenal di Mekkah karena keluasan ilmu yang dimiliki, terutama ilmu qiraat. Ia bahkan mengarang kitab qiraat 14 yang bersumber dari Imam asy-Syatibi. Uniknya, setiap juz kitab tersebut dilengkapi dengan kaligarafi khas Banjar.
Menurut riwayat, selama belajar di Mekkah dan Madinah, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari belajar bersama tiga ulama Indonesia lainnya: Syekh Abdus Shomad al-Palembani (Palembang), Syekh Abdul Wahab Bugis, dan Syekh Abdurrahman Mesri (Betawi). Mereka berempat dikenal dengan Empat Serangkai dari Tanah Jawi yang sama-sama menuntut ilmu di al-Haramain asy-Syarifain.
Setelah lebih dari 30 tahun menuntut ilmu, Syaikh Muhammad Arsyad al Banjary kembali ke kampung halamannya di Martapura. Raja Banjar, Sultan Tahmidullah, menyambut kedatangannya dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyat mengelu-elukannya sebagai seorang ulama Matahari Agama yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar.
Syekh Arsyad aktif melakukan penyebaran agama Islam di Kalimantan. Tak hanya dalam bidang pendidikan dengan mendirikan pesantren lengkap sarana dan prasarananya, termasuk sistem pertanian untuk menopang kehidupan para santrinya, tapi juga berdakwah dengan mengadakan pengajian, baik di kalangan istana maupun masyarakat kelas bawah.
Lebih dari 40 tahun Syekh Arsyad melakukan penyebaran Islam di daerah kelahirannya, sebelum maut menjemputnya. Beliau meninggal pada tahun 1812 M dalam usia 105 tahun. Beliau dikebumikan di Kalampayan, Astambul, Banjar, sekitar 56 km dari kota Banjarmasin.
Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjary meninggalkan banyak jejak dalam bentuk karya tulis di bidang keagamaan. Karya-karyanya bak sumur yang tak pernah kering untuk digali hingga generasi kini. Tak mengherankan bila seorang pengkaji naskah ulama Melayu berkebangsaan Malaysia menjulukinya sebagai Matahari Islam Nusantara. Matahari itu terus memberikan pencahayaan bagi kehidupan umat Islam.
Di antara karya-karya Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjary antara lain: Sabilal Muhtadin, Tuhfat ar-Raghibiin, al-Qaul al-Mukhtashar, di samping kitab ushuluddin, tasawuf, nikah, faraidh dan kitab Hasyiyah Fath al-Jawad. Karyanya paling monumental adalah kitab Sabilal Muhtadin yang kemasyhurannya tidak sebatas di daerah Kalimantan dan Nusantara, tapi juga sampai ke Malaysia, Brunei dan Pattani (Thailand Selatan).
Sahabat UNISIA, begitulah sosok Syaikh Muhammad Arsyda al-Banjary. Semoga ulama sekelas beliau terus dikaruniai oleh Allah untuk bangsa Indonesia khususnya, dan umat Islam pada umumnya. Amiin.