Sebuah riwayat mengenaskan tentang anak manusia yang sangat tamak terhadap dunia disampaikan oleh Jarir bin Laits dalam buku Al-Ilajul Qur’ani karya Dr. Muslih Muhammad.
Suatu waktu seorang pria menemani Nabi Isa Alayhissalam. Mereka pun berdua pergi dan berhenti di tepi sungai. Keduanya duduk dan makan. Kala itu ada tiga roti. Mereka pun makan dua roti, sehingga tersisa satu roti.
Karena suatu keperluan, Nabi Isa menuju sungai lalu minum. Dan, ketika kembali beliau melihat roti yang tersisa tidak ada. Beliau pun bertanya, “Siapa yang mengambil roti itu?” Lelaki itu dengan wajah tanpa dosa menjawab, “Tidak tahu.”
Keduanya pun pergi. Kala melihat seekor betina rusa dengan dua ekor anaknya. Nabi Isa memanggil salah satunya lalu disembelih dan memanggangnya. Kemudian makanlah mereka berdua. Selanjutnya Nabi Isa berkata kepada rusa yang telah dipanggannya tadi. “Bangkitlah dengan izin Allah.”
Kemudian rusa itu bangkit dan berkata kkepada lelaki itu. “Aku bertanya kepadamu demi Dzat yang memperlihatkan ayat ini kepadamu, siapa yang mengambil roti itu?” Lelaki itu kembali menjawab, “Tidak tahu.”
Keduanya pun beranjak pergi dan berhenti di sebuah danau. Nabi Isa menggandeng tangan lelaki itu dan mereka berdua berjalan di atas air. Setiba di seberang danau, Nabi Isa bertanya, “Aku bertanya kepadamu demi Dzat yang memperlihatkan ayat ini kepadamu, siapa yang mengambil roti itu?” Ia tetap menjawab, “Tidak tahu.”
Keduanya kembali pergi dan berhenti di suatu dataran. Nabi Isa lalu mengumpulkan tanah debu kemudian berata, “Jadilah emas dengan izin Allah.”
Maka tanah dan debu itu berubah menjadi emas. Nabi Isa pun membaginya tiga bagian. “Sepertiga untukku, sepertiga untukmu, dan sepertiga lagi untuk yang mengambil roti.” Lelalki itu sontak berkata, “Akulah orang yang mengambil roti itu.” Mengetahui itu, Nabi Isa berkata, “Semuanya untukmu.”
Nabi Isa dan lelaki itu pun berpisah. Lelaki itu pergi sendirian dan berhenti pada dua orang pria di sebuah padang passir. Melihat emas yang cukup banyak dua lelaki itu bermaksud merampasnya. Namun cerdik lelaki yang membawa emas. “Kita bagi tiga saja. Sekarang satu orang ke pasar membeli makanan.”
Satu orang pun bergegas ke pasar. Tidak lama lelaki yang membawa emas itu berkata kepada lelaki yang menungguinya, untuk apa membagi emasnya dengan dia, lebih baik untuk kita berdua saja, nanti datang kita bunuh saja orang yang beli makanan ke pasar itu. Sementara yang ke pasar berpikir, buat apa dibagi. Lebih baik kuracuni saja makanan ini lalu kubunuh mereka berdua.
Setelah bertemu, kedua lelaki itu langsung membunuh lelaki yang membawa makanan dari pasar. Kemudian keduanya memakan makanan yang telah diracun, sehingga semua mati. Tinggallah emas itu tergeletak di padang pasir.
Kemudian Nabi Isa melintas di tempat itu dan berkata kepada para sahabatnya, “Inilah dunia, maka waspadalah kalian terhadapnya.”
Tamak adalah lawan dari qanaah (menerima, puas diri). Orang yang tamak memang tidak pernah kenal puas dengan yang namanya harta. Bak seekor kera yang mendapati pisang berhamburan, kala kedua tangannya telah penuh, maka digunakannya pula kedua kaki dan mulutnya untuk menggenggam kuat makanan favoritnya itu.
Dalam logika manusia secara umum, semakin banyak yang didapat tentu semakin baik. Tetapi tidak dalam Islam. Sifat tamak justru menjatuhkan seorang manusia pada kehinaan hakiki.
Umar bin Khathab berkata, “Tamak adalah kemiskinan dan putus asa darinya adalah kekayaan. Karena siapa yang berputus asa terhadap apa yang dimiliki oleh manusia, niscaya dia tidak akan membutuhkannya.”
Dengan kata lain, orang yang tamak akan melemah, membeo dan menghujamkan dirinya pada kehinaan jika bertemu dengan apa yang diharap-harapkannya selama hidupnya, entah itu berupa harta kekayaan, jabatan dan lain sebagainya.
Disaat yang sama, dirinya merasa tidak keberatan mesti harus diinjak-injak harga dirinya, meski harus menjilat ludah sendiri, asalkan harta, tahta dan fasilitas yang diharapkannya dapat dimiliki.
Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika seseorang tamak pada sesuatu, niscaya dia akan memintanya (pada orang lain), maka lenyaplah agamanya. Sedangkan rakus akan membuat jiwa buas, sehingga kamu tidak suka kehilangan sesuatu. Ia akan memenuhi berbagai kebutuhan untukmu. Jika ia telah memuhi berbagai kebutuhan untukmu, maka dia akan menggiringmu kemanapun yang dia inginkan. Dia akan menguasaimu, maka kamu akan tunduk padanya.”
Masih menurut Fudhail bin Iyadh, “Di antara cintamu kepada dunia adalah kamu memberi salam kepadanya (kepada orang yang memberi) jika kamu lewat padanya, dan kamu akan menjenguknya jika dia sakit. Tapi kamu tidak pernah memberi salam kepadanya ikhlas karena Allah dan tidak pernah menjenguknya ikhlas karena Allah. Seandainya kamu tidak punya kebutuhan, maka itu lebih baik bagimu.”
Hal ini terjadi karena memang dalam tamak tidak ada ruang bagi hati untuk qanaah, ridha. Sebaliknya tumbuh subur angan-angan, hawa nafsu dan beragam hasrat yang tak terkendali terhadap dunia.
Lantas apa yang mesti dilakukan agar terhindar dari sifat tamak?
Pertama, fokus dan komitmen meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Ta’ala. Orang yang akan selamat dari sifat tamak adalah yang fokus mengejar keridhoan Allah Ta’ala. Dirinya sadar dunia hanyalah tempat ujian dan setiap manusia akan bertemu ajal. Dalam situasi seperti itu jiwa tidak akan memedulikan apa yang ada dalam genggaman, selain menggunakan waktu dan tenaga yang ada untuk terus taqarrub kepada-Nya.
Kedua, memahami hakikat dunia dengan sebaik-baiknya.
“Hamba Allah selalu mengatakan, ‘Hartaku, hartaku’, padahal hanya dalam tiga soal saja yang menjadi miliknya yaitu apa yang dimakan sampai habis, apa yang dipakai hingga rusak, dan apa yang diberikan kepada orang sebagai kebajikan. Selain itu harus dianggap kekayaan hilang yang ditinggalkan untuk kepentingan orang lain.” (HR. Muslim).
Ketiga, tundukkanlah dunia dengan mencari akhirat.
Dari Zaid bin Tsabit, Rasulullah bersabda, “Siapa yang niatnya akhirat, maka Allah akan menggabungkan keduanya, dan menjadikan kekayaan di dalam hatinya. Dunia akan datang kepadanya dengan merendah. Namun siapa yang niatnya dunia, maka Allah akan memecah urusannya dan menjadikan kemiskinan di depan matanya. Dunia tidak akan datang kepadanya selain apa yang telah ditentutkan oleh Allah untuknya.” (HR. Ahmad).
Keempat, yakin dengan kekuatan Allah.
Dari Ibn Abbas, Nabi bersabda, “Siapa yang suka menjadi manusia yang paling kuat, maka bertawakkallah kepada Allah. Siapa yang suka menjadi manusia paling mulia, maka bertaqwalah kepada Allah. Siapa yang suka menjadi manusia paling kaya, maka jadikanlah apa yang ada pada Allah lebih ia percayai dari yang ada di tangannya.” (HR. Ahmad).
Kelima, yakin dengan pengaturan Allah tentang rezeki.
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya…” (QS. Hud [11]: 6).
Dengan demikian untuk apa tamak harus ada di dalam hidup kita? Bukankah semua telah Allah atur dengan sebaik-baik pengaturan. Dan, kehidupan dunia ini tiadalah melainkan senda gurau yang sementara, maka mengapa tidak kita bersusah payah menuju akhirat daripada menggenggam dunia yang akan sirna. Wallahu a’lam.*/Imam Nawawi
Sumber: hidayatullah.com