“Berkata benar akhlak yang mulia, sifat terpuji, semua orang suka. Berbohong menipu, sifat yang tercela, di dunia lagi terima balasannya,” demikian bait nasyid yang dinyanyikan oleh Umam yang berjudul “Berkata Benar.”
Seperti jamak dipahami, tak satu pun orang mau apalagi rela dibohongi. Oleh karena itu, pantas dan tepat jika Islam memasukkan urusan bicara ini sebagai bagian dari ajaran yang setiap Muslim mesti memperhatikan dan mengamalkanya.
Namun demikian, sekalipun perintah ini terlihat sederhana dan semua orang memahaminya, tidak menutup kemungkinan ada saja orang yang dalam kehidupannya menjadikan kebohongan sebagai jalannya mengais rezeki.
Bahkan, karena potensi ini bisa menghantam siapa saja, awam sampai alim, rakyat hingga pejabat, dan pekerja takat pengusaha, Umar bin Khaththab pun mewanti-wanti umat Islam.
“Sesuatu yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah munafiq alim (yang berpengetahuan).”
Baca: Jaga Lisan, Dengan Hati-hati Berbicara!
Kemudian ditanyakan, “Bagaimana mungkin munafik memiliki sifat alim?”
Umar menjawab, “Ia berbicara dengan penuh hikmah namun melakukan kezaliman atau kemungkaran.”
Dengan demikian, penting bagi setiap Muslim berhati-hati dalam berbicara. Jangan asal alias tanpa ilmu dan data, apalagi secara sengaja ingin memutarbalikkan fakta, mempropagandakan kebohongan agar diterima sebagai kebenaran, dan lain sebagainya.
Jika itu sampai dilakukan, maka akan berdampak serius bagi kesempurnaan iman di dalam hati.
Sebab Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam” (HR. Bukhari).
Dr. Aid Abdullah Al-Qarny dalam bukunya “Beginilah Zaman Mengajari Kita” menuliskan, “Sebenarnya kita membutuhkan latihan yang panjang untuk berbicara dengan orang lain, serta butuh pengalaman yang luas dalam menyampaikan dan memberi pengaruh.”
Hal tersebut bisa dipahami, mengingat berbicara tanpa ilmu apalagi di depan publik akan semakin memelorotkan wibawa diri.
Tidak masalah jika itu dilakukan oleh orang kafir (orang yang menutup diri dari beriman kepada Allah dan Rasul-Nya). Tetapi, bagaimana jika itu adalah seorang Muslim.
Mohammad Fauzil Adhim melalui aku twitternya @kupinang mencuit, “Cara terbaik mempertontonkan kebodohan adalah membantah tanpa ilmu. Tetapi yang lebih fatal lagi apabila melecehkan tanpa data, unjuk kebolehan pada sisi yang ia paling lemah. Padahal kekuatan terbesar orang yang dibantah justru di bagian itu.”
Dengan demikian, mulailah berlatih dengan penuh komitmen untu bertanggungjawab dengan kata-kata atau pembicaraan yang kita lakukan, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Sebab Islam merupakan sistem nilai, yang sudah semestinya difungsionalisasikan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Andai kata, setiap Muslim mampu menjaga lisannya, tidak berkata kecuali yang baik, tentu negeri ini akan berada dalam kesejukan. Dan, setiap upaya profokasi yang hendak memecah belah umat dan mendiskreditkan ajaran Islam, secara langsung bisa digagalkan.
Suharsono dalam bukunya “Mencerdaskan Anak” menegaskan bahwa setiap orang tua sangat perlu mencermati, apa-apa saja yang sering dikatakan oleh buah hati.
“Apakah kata-katanya cukup sopan, tidak jorok atau sekadar trendy. Anak-anak yang berpotensi sebagai anak cerdas, tidak mudah dipengaruhi hal-hal semacam itu.”
Pertanyaannya bagaimana generasi Muslim bisa seperti itu bisa hadir, tentu saja ketika para orang tua konsen memperhatikan pembicaraan yang setiap orang melakukannya dari waktu ke waktu sepanjang hayat.
Semoga Allah menjaga lisan kita dari berkata tidak baik, banyak bicara yang sia-sia, berujar yang provokatif dan gemar sekali memancing terjadinya pertikaian dan pertengkaran, apalagi sampai mengais rezeki dengan menjadi pembuat dan penyebar kebohongan. Na’udzubillah min dzalik. Wallahu a’lam.*/Imam Nawawi
Sumber: hidayatullah.com