Hati merupakan titik pusat manusia untuk bergerak dan merasakan fenomena di sekitarnya (sosial) serta untuk berkomunikasi penuh cinta dengan Sang Khalik, Allah SWT (transendental). Namun, apa jadinya jika fungsi hati seorang Muslim mati dan mengeras bagaikan karang di tengah gempuran ombak kencang?
Jika kondisi hati seorang Muslim seperti itu, tak salah jika ada yang menjulukinya sebagai mayat yang berjalan. Dalam Inna Ma’al Usri Yusran karya Muhammad Abdul Athi Buhairi, pernah ada yang menanyakan mengenai hal ini kepada Khudzaifah ibn al-Yaman RA. Ia menjawab, “Mayat yang hidup adalah orang yang tidak mengingkari kemungkaran dengan tangannya, lisannya, dan hatinya.”
Seorang Muslim, jika tak ingin disebut mayat yang berjalan, mesti senantiasa menyadari kondisi dirinya; apakah setiap harinya ia selalu melakukan bermacam dosa atau tidak? Dan, apakah tangan, lisan, serta hatinya dipergunakan dengan baik atau tidak?
Jika membicarakan dosa, cakrawala paradigma kita mestilah luas melebihi dalamnya laut dan luasnya semesta. Selain musyrik terhadap Allah, ada banyak dosa yang berhubungan langsung dengan kehidupan (dosa sosial) yang menjadi tantangan bersama: kemiskinan, penguasa lalim yang korup, pemerkosaan, pembunuhan, hingga eksploitasi lingkungan. Semua dosa sosial itu mesti dijauhi dan diperangi bersama agar peradaban ini senantiasa dilindungi serta selalu ada dalam keberkahan Allah SWT.
Seperti yang telah disinggung di atas, posisi dan kondisi hati amatlah penting. Hati, jika telah mati rasa dan tak mampu menyerap segala sumber cinta serta semesta rasa di sekitarnya, pasti tak mampu melihat segala kemungkaran yang berlangsung di hadapannya. Ia telah menjelma mayat yang berjalan.
Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahanam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah). Mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS al-Araaf [7]: 179).
Celaka dan merugilah bagi mereka yang berani menutup rapat pintu hatinya dan menjadikannya keras membatu. Mereka diamdiam lupa bahwa hati merupakan karunia Allah SWT untuk mereka jadikan sebagai perangkat saling mengasihi dan mencintai. Apa jadinya dunia ini jika hidup tak saling mengasihi dan mencintai. Maka tak mengherankan jika fenomena manusia saling menumpahkan darah semakin menyeruak, itu tak lain sebab hatinya telah buta dan mengeras sedemikian rupa.
Berjuanglah di muka bumi dengan langkah kaki yang tulus serta ayunan tangan yang ikhlas. Berupayalah terus mencintai Allah dan sesama dengan menggunakan perangkat dari-Nya: hati bersih. Jangan biarkan kemungkaran menyeruak menyerang urat nadi nurani kemanusiaan kita yang amat luhur. Alangkah hina dan menjijikkan jika seorang Muslim membiarkan sesamanya ditindas oleh bermacam kemungkaran di muka bumi.
Akhirul kalam, agar tak menjadi mayat yang berjalan, seorang Muslim mesti senantiasa memaksimalkan fungsi hatinya kepada Allah sebagai pemilik semesta hingga kepada manusia sebagai sesamanya. Bagaikan aliran cahaya lampu yang berasal dari tegangan listrik yang kuat, seorang Muslim mesti pandai menjaga dan menguatkan tegangan arus ketakwaan kepada Allah agar cahaya dalam hatinya terus bersinar-mencerahkan. Maka dari itu, berjuang dalam menjaga cahaya hati amatlah penting. Perhatikanlah apa yang dikatakan Jalalludin Rumi, “Malaikat selamat karena pengetahuannya, binatang selamat karena ketidaktahuannya, di antara keduanya manusia terus berjuang.” Wallahu a’lam.
Sumber: republika.co.id