Dalam kitab Shifat al-Shafwah, Imam Abu al-Farj Ibnu Jauzi (510-597 H) mengisahkan penolakan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahu Allah untuk menjawab pertanyaan seputar wara’. Diceritakan:
عن أحمد بن عبد الله بن خالد قال: سئل أحمد بن حنبل عن مسألة في الورع؟ فقال: أنا أستغفر الله, لا يحل لي أن أتكلم في مسألة في الورع, أنا آكل من غلة بغداد! لو كان بشر بن الحارث صلح أن يجيبك عنه, فإنه كان لا يأكل من غلة بغداد, ولا من طعام السواد, يصلح أن يتكلم في الورع.
Diriwayatkan dari Ahmad bin Abdullah bin Khalid, dia berkata: “Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang masalah wara’.”
Ia menjawab: “Aku memohon ampun kepada Allah. Tidak halal bagiku untuk berbicara tentang masalah wara’, karena aku memakan hasil bumi Baghdad. Tapi, jika kau hendak mengetahuinya, Bisyr bin Harits adalah orang yang pantas menjawab pertanyaanmu. Dia tidak memakan hasil bumi Baghdad dan tidak memakan makanan yang tidak jelas. Dia pantas untuk berbicara tentang masalah wara’.” (Jamaluddin Abu al-Farj bin Jauzi, Shifat al-Shafwah, Beirut: Darul Kutub al-‘Arabi, 2012,hlm 429).
****
Ulama-ulama kita di zaman dulu sangat berhati-hati dalam menjawab pertanyaan. Mereka tidak akan menjawab pertanyaan dengan sembarangan. Apalagi jika pertanyaannya seputar praktik ibadah seperti zuhud, wara, tawakkal dan lain sebagainya. Imam Ahman bin Hanbal, dalam kisah di atas, merasa tidak memiliki kualifikasi untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dengan alasan, ia masih memakan hasil panen Baghdad, yang cara pengolahan, pendistribusian dan penjualannya tidak diketahui secara jelas: apakah dalam salah satu prosesnya terdapat perbuatan yang dilarang atau tidak.
Satu-satunya orang yang ia yakini kewaraannya adalah Bisyri bin Harits al-Hafi (767-850 M). Disebut al-Hafi karena Imam Bisyri tidak pernah mengenakan sandal, selalu bertelanjang kaki kemana pun ia pergi.Imam Ahmad bin Hanbal tidak pernah melihat Imam Bisyri memakan makanan yang tidak jelas asal-usulnya. Hidupnya dipasrahkan semuanya kepada Allah dan melayani orang-orang di sekitarnya.Ia hanya makan untuk memenuhi hak tubuh atas dirinya. Sekali waktu Imam Bisyri pernah mengatakan:
إن الجوع يصفّي الفؤاد ويورث العلم الدقيق
“Sesungguhnya lapar itu dapat menjernihkan hati dan mendatangkan pengetahuan yang halus.” (Jamaluddin Abu al-Farj ibnu Jauzi, 2012, hlm 429).
Untuk memahami perkataan Imam Bisyri di atas, kita harus menggunakan sudut pandang pengetahuan. Lapar akan dimaknai secara berbeda oleh orang yang berbeda. Tapi, yang paling berpengaruh dalam pemaknaannya adalah latar belakang pengetahuannya. Orang yang berilmu dapat menjadikan lapar sebagai motivasi untuk sukses. Orang yang tidak berilmukurang mampu mendapatkan manfaat dari kelaparannya, bahkan tidak sedikit yang memilih mencuri untuk mengatasi kelaparannya.
Lain lagi dengan orang berilmu yang terus-menerus melatih hatinya agar bersih dari cela, seperti Imam Bisyri al-Hafi. Setiap kali lapar, ia mendapatkan pengetahuan baru. Bagi Imam Bisyri, kelaparan adalah guru. Darinya, ia belajar bersabar, bertawakkal, bersyukur dan lain sebagainya. Gambarannya seperti ini,tanpa lapar, mampukah kita merasakan kenikmatan kenyang; tanpa lapar, akankah kesabaran kita terlatih secara alami, dan seterusnya. Orang yang mampu bertafakkur di saat lapar, dan mengambil hikmah darinya, tentulah bukan orang sembarangan.
Imam Ahmad bin Hanbal tahu betul akan kewaraan Imam Bisyri. Karena itu,Ia berpendapatorang yang pantas berbicara tentang wara’ adalah Bisyri al-Hafi, bukan dirinya. Hal ini yang telah hilang dalam kultur beragama kita. Sekarang ini, semua orang berusaha menjawab pertanyaan, tanpa memandang kelayakan diri. Akibatnya, banyak fatwa keagamaan yang tidak sesuai dengan hukum aslinya.Hal ini diperparah oleh penggunaan fatwa-fatwa itu untuk mengadili pendapat lainnya, yang bisa jadi pendapat lain itu lebih benar. Melihat fenomena ini, kita harus kembali pada jalan yang dilalui ulama-ulama kita di masa lalu, “falyaqul khairan aw li yasmut—ucapankanlah kebaikan, jika tidak lebih baik diam.”
Tindakan menarik juga pernah dilakukan Imam Hasan al-Bashri (642-728 M). Suatu ketika sekelompok budak di Kufah menghampirinya dan meminta Imam Hasan al-Bashri untuk memberi khutbah tentang keutamaan membebaskan budak.Imam Hasan al-Bashri mengiyakan dan berjanji akan menyampaikannya di depan jamaah. Di Jum’at pertama, para budak menunggu di masjid untuk mendengarkan khutbah Imam Hasan al-Bashri, tapi dia tidak mengucapkan sedikit pun tentang keutamaan membebaskan budak.
“Mungkin Imam Hasan lupa,” kata budak itu satu sama lainnya.
Di Jum’at kedua, Imam Hasan al-Bashri tetap tidak mengungkit tentang keutamaan membebaskan budak. Begitu seterusnya hingga Jum’at keempat. Para budak sangat kecewa dengan Hasan al-Bashri. Mereka memandang Imam Hasan sebagai pembohong dan orang yang tidak menepati janji. Di Jum’at kelima, Imam Hasan al-Bashri mengatakan bahwa salah satu misi Islam adalah membebaskan perbudakan, baik yang berasal dari tawanan perang maupun dari hasil jual beli. Orang-orang yang mendengar khutbahnya, ketika selesai shalat Jum’at, mereka berlomba-lomba membebaskan budaknya. Hari itu bisa dikatakan sebagai pembebasan budak masal di Kufah.
Para budak yang telah kecewa, terkejut dengan khutbah Imam Hasan al-Bashri. Mereka berduyun-duyun mendatangi Imam Hasan al-Bashri dan bertanya,“kenapa baru sekarang, tidak dari awal saja?” Imam Hasan al-Bashri menjawab:
حينما حدثتموني لم أكن أملك عبداً، ولم أرد أن آمر الناس بمعروف لم أفعله، ولم يكن لدىّ مال لشراء عبد، فانتظرت حتى أتاني مال، واشتريت عبد، وتركته في خدمتي بضعة أيام، حتى أشعر بمدى حاجتي له، وحينما تأكد في قلبي مدى احتياجي له، قمت بعتقه، ثم قلت هذه الخطبة
“Ketika kalian mengatakannya padaku (aku telah setuju), tapi aku tidak memiliki budak. Aku tidak ingin memerintahkan kebaikan pada masyarakatatas sesuatu yang belum aku lakukan. Karena aku miskin, aku harus mengumpulkan harta untuk membeli budak. Lalu kubiarkan dia melayaniku beberapa hari untuk merasakan sejauh mana kebutuhanku padanya (memiliki budak). Ketika aku yakin dalam hatiku betapa besar aku membutuhkannya, aku membebaskannya dan menyampaikan khutbah ini.” (Ahmad Muhammad ‘Athiyat, al-Iqna’, ‘Amman: Amwaj, 2012, hlm 22).
Fatwa atau nasihat agama tentu akan diterima dengan berbeda oleh pendengarnya jika yang memberi fatwa dan nasihat benar-benar telah melakukannya, seperti kasus Imam Hasan al-Bashri di atas. Setelah mendengar ceramahnya, orang-orang berlomba-lomba untuk membebaskan budak.Itulah cara ulama kita di masa lalu. Mereka sangat berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa keagamaan, meskipun pengetahuan agama mereka sangat tinggi dan diakui oleh banyak ulama yang semasa atau setelahnya.
Semoga kita bisa melestarikan tradisi mereka dan terlepas dari berbagai fitnah zaman. Allahumma sallimna min fitnah hadzihiz zaman. Amin.
Muhammad Afiq Zahara, pernah nyantri di Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Sumber: nu.or.id