Your browser does not support the audio element.
Radio Unisia
  • Home
  • Audio
    • FIQIH
    • HADIS
    • KAJIAN
    • MUTIARA IMAN
    • PENCERAHAN
    • SIRAH
    • TAFSIR
    • TASAWUF
  • Artikel
    • Mausu’ah
    • Hikmah
  • Tafsir UII
    • Artikel Tafsir UII
    • Audio Tafsir UII
  • Jadwal
    • Harian
    • Mingguan
  • Profil
    • Struktur Manajemen
    • Ihwal
    • Kontak
    • Visi Misi Radio Unisia

Belajar Mencinta

Posted on December 11, 2017 by admin

Oleh: Muhammad Arifin Ilham

Al-Imam Shofyan ibn Uyainah (107-198 H), seorang imam Suni dan ahli hadis, pernah memberi jabaran tentang cinta. Terutama ketika dikaitkan dengan cinta kepada Allah.

Sebutnya, “Siapa yang mencintai Allah, maka ia pun cinta pada sesiapa yang dicintai oleh Allah. Dan siapa yang cinta kepada sesiapa yang dicintai Allah, maka ia pun akan cinta kepada sesuatu yang dicintai-Nya. Dan siapa saja yang cinta pada sesuatu yang dicintai oleh Allah, ia pun akan cinta meski tidak dikenali oleh banyak orang.”

Sesiapa yang dicintai oleh Allah adalah kutipan Alquran surah an-Nisa [4]: 69, yaitu mereka para Nabi, orangorang yang jujur, para syuhada, dan orang-orang yang saleh.

Belajar mencinta berarti belajar untuk memupuk benih-benihnya dari mereka yang telah berhasil memaknai cinta, yaitu terutama dari Nabi Muhammad SAW. “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku. Niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’…” (QS Ali Imran [3]: 31).

Inilah cinta. Ya, cinta bukan hanya kepada siapa tapi juga kepada apa. Bahkan, lebih dari sekadar apa, cinta tidak akan pernah peduli meski nama dan dirinya hilang, tidak dikenali.

Jika cinta sudah pada apa, meski sosok yang dicinta itu sudah tiada, cin ta akan tetap ada. Bagi Allah sesuatu yang dicintai itu adalah ibadah dan amal saleh. Karena itu, sungguh bela jar mencinta akan ibadah dan amal saleh, ia belajar membawa cinta untuk lestari. Bahkan, akhirnya meski dirinya sudah banyak sekali berkorban mera wat cinta, dirinya benar-benar tidak peduli meski dirinya tidak dikenali. Akankah kita dalam cinta ketika suapan nasi kita dibalas dengan umpatan dan cacian? Akankah cinta terawat dan terus terpelihara manakala kebaikan kita sepi dari apresiasi dan balasan?

Lihatlah bagaimana Rasulullah belajar mencinta kepada wanita tua Yahudi yang buta yang tinggal di sudut pasar di Madinah. Wanita Yahudi ini dikenal bermulut kotor dan selalu mengumpat dan mem-bully Rasulullah SAW. Padahal, ia bisa makan dan minum dari suapan Rasul tercinta. Sampai Beliau SAW wafat, sungguh si wanita tua Yahudi ini tidak tahu siapa yang setiap hari menyuapi makan dan minumnya. Setiap cacian dibalasnya dengan suapan penuh cinta dari Rasul.

Ketika Abu Bakar as-Shiddiq men coba merawat cintanya Rasul dengan menggantikan amal ‘dahsyatnya’ ini, yaitu menyuapi makan dan minum, wanita Yahudi ini baru tahu. Orang yang menyuapinya kini bukan orang yang biasa. Dan betul, karena orang yang biasa itu telah berpulang bersama jernihnya makna cinta.

Rasulullah Muhammad SAW. Wanita Yahudi ini pun tersadar dan menyesal. Kemudian hadirlah titik hidayah. Mari belajar mencinta di bulan mulia, Maulidur Rasul ini. Demi hadirnya titik-titik kebaikan. Bukan hanya kepada siapa yang berhak dicinta, melainkan juga pada apa yang dicintai-Nya. Wallahu a’lam.

Sumber: republika.co.id

Posted in Hikmah

Post navigation

Ibnu Majah: Ahli Hadits yang Berwawasan Luas
Debat Imam Abu Hanifah dengan Pembenci Khalifah Utsman

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

pondok pondok pondok pondok pondok pondok pondok pondok
PT. UNISIA MEDIA UMAT
FREKUENSI: AM STEREO 1179 KHZ
OFFICE / STUDIO: KAMPUS UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA, LT. II SAYAP TIMUR
JL. DEMANGAN BARU NO. 24 YOGYAKARTA 55281
PHONE: 0274-545196 SMS: 0822 2192 9779