Bila kita pandai menjaga kualitas ibadah, niscaya Allah akan mengaruniakan kesanggupan kepada kita untuk beramal dengan tingkat pengharapan tertinggi, yaitu bisa bertemu dan menatap wajah Allah yang Maha Mulia.
Ibnu Atho’illah dalam kitabnya yang terkenal Al-Hikam menulis, “Jangan menuntut upah terhadap amal perbuatan yang engkau sendiri idak ikut berbuat. Cukup besar balasan Allah bagimu, jika Allah menerima amalmu itu”.
Sahabat, nasihat Ibnu Atho’illah di atas tampaknya penting sekali untuk direnungkan oleh siapa saja yang diberi kesanggupan oleh Allah SWT untuk gemar berbuat kebaikan.
Kalau belum bisa berbuat baik, maka kita harus mempunyai keinginan untuk melakukannya. Tetapi kalau kebaikan itu sudah kita lakukan, maka jangan sekali-kali kita menganggap semua itu perbuatan kita.
Suatu ketika kita merencanakan untuk menghadiri sebuah pengajian. Kita mengumpulkan uang untuk ongkos ke pengajian tersebut. Setelah uang itu terkumpul, kita pun berangkat walau hujan sedang turun. Di perjalanan ternyata kita mendapatkan banyak sekali kesulitan.
Pendek kata, begitu berat tantangan untuk sampai ke tempat pengajian yang kita tuju. Namun, ketika kita sudah sampai ke sana hendaklah kita menghadirkan dalam hati kata-kata, “Alhamdulillah, ya Allah. Semua ini terjadi karena izin dan karuniaMu.
Saya hadir di sini karena ongkos dari-Mu, kesehatan dari-Mu, dan terlindung dari setan yang membisikkan rasa malas kepadaku”.Artinya, tatkala kita sampai di tempat yang dituju. Lupakanlah segenap pengorbanan yang telah kita lakukan. Perkara pahala, Allah pasti akan memberikannya kepada kita dalam kadar yang paling adil. Tidak usah dituntut atau kita memintanya.
Bagi kita yang awam, seringkali beramal karena menginginkan balasan. Pada tingkat pertama, orang beramal karena mengharap balasan duniawi. Misalnya, kita bersedekah karena ingin kaya dan tidak mendapat musibah. Kita melakukan tahajud, karena ingin jodoh atau lulus ujian.
Ini adalah kategori orang-orang yang hanya berharap balasan duniawi. Tidak apa-apa kita melakukan amal semacam ini, sepanjang amalannya benar dan dicontohkan oleh Rasululah SAW. Insya Allah tidak sulit bagi Allah SWT untuk menerima dan mengabulkan keinginan hamba-hamba-Nya.
Pada tingkat berikutnya, seseorang rajin beramal bukan karena mengharap balasan duniawi, melainkan mengharapkan pahala dari Allah SWT. Karena, perkara duniawi itu niscaya akan datang dan telah diurus oleh Allah. Sudah menjadi jaminan bila kita sungguh-sungguh beribadah dan mendekat kepada-Nya. “Yang penting amalan saya jadi pahala. Apa artinya keuntungan duniawi kalau tidak dapat pahala,” demikian orang-orang pada tingkat ini akan berkata.
Walhasil, dia akan berusaha mencari berbagai keutamaan (fadhilah) dalam beribadah. Datang ke masjid selalu di awal waktu, pengajian di manapun akan dikejar, ada yang membutuhkan pertolongan pasti akan ditolong, dan seterusnya. Pokoknya, segala sesuatunya diukur dari pahala.
Lama-kelaman orang seperti itu akan sampai pada tingkat yang lebih tinggi lagi. “Ah pahala kan sudah dijamin oleh Allah. Tidak berharap juga pasti akan datang. Bagi saya, yang paling penting bisa masuk surga dan terhindar dari neraka. Mau sedikit atau banyak pahala atas amal yang telah saya lakukan, terserah pada Allah saja,” begitu kira-kira ucapan orang yang telah sampai pada tingkatan ini. Karenanya, ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk beramal agar selamat di akhirat kelak.
Di atas ini ada lagi yang lebih tinggi tingkatannya. Seseorang beramal karena mengharap ridha Allah semata. Ia akan berkata, “Apa yang bisa saya nikmati di surga kalau ternyata kenikmatan terbesar dan yang paling hakiki adalah menatap wajah Allah SWT?” Lahirlah ungkapan terkenal dari seorang sufi bernama Rabi’ah Al-Adawiyah, “Ya Allah, biarlah Engkau masukkan aku ke neraka, asalkan aku bisa bersama-Mu”. Nah, setinggi-tinggi amalan adalah kalau kita tidak memperhitungkan lagi balasan dari Allah, selain bisa menjadi orang yang dekat dengan-Nya.
Kalau kita telah sampai ke tingkat ini, maka duniawi dan semua pahala sudah menjadi jaminan Allah SWT. Tidak perlu diragukan dan dikhawatirkan lagi. Karenanya, kalau ada yang harus senantiasa terus kita jaga dan pelihara adalah mutu ibadah kita. Sekecil apapun amal yang kita buat, jagalah selalu kualitasnya; baik kualitas kesempurnaan pengetahuan tentang hukum fikihnya, maupun kualitas hakikat berupa keikhlasan dan kekhusukannya.
Bila kita pandai menjaga kualitas ibadah, niscaya Allah akan mengaruniakan kesanggupan kepada kita untuk beramal dengan tingkat pengharapan tertinggi, yaitu bisa bertemu dan menatap wajah Allah yang Mahamulia. Dalam Alquran disebutkan, Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu (QS. Al-Baqarah: 284). Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber: republika.co.id