Di Masjid Madinah hari itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada para Sahabat yang berada di hadapannya.
“Bagaimana pendapat kalian, jika kalian dapat berganti-ganti pakaian di pagi dan sore hari. Makanan yang dihidangkan kepada kalian juga berganti-ganti. Kalian juga bisa menghias rumah kalian seperti kalian menghias Ka’bah?”
Para Sahabat menjawab, “Kami ingin hal itu dapat terjadi, Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kami ingin hidup makmur.”
“Sesungguhnya, hal itu pasti terjadi. Tetapi, keimanan kalian di hari ini lebih baik daripada keimanan kalian di hari itu,” kata Rasulullah.
Apa yang sebenarnya dilihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga kemudian kata-kata indah itu terucap dari lisannya?
Pakaian, makanan, keimanan, apakah hubungan diantaranya? Mari kita cermati suatu kejadian ini. Kejadian yang diperankan oleh seorang Sahabat yang mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan baginda-pun mencintainya.
***
Cahaya Islam ketika pertama kali turun secara sembunyi-sembunyi, disambut tanpa keraguan sedikitpun oleh Sahabat Utsman bin Mazh’un radhiyallahu ‘anhu.
Beliau adalah salah satu Sahabat yang pernah hijrah ke Habasyah (sekarang Afrika, red) karena didera berbagai siksaan oleh pemuka kafir Quraisy yang menyebabkan ia dan Sahabat-Sahabat seperjuangannya tidak bisa bergerak bebas di siang hari dan tidak bisa tidur nyenyak di malam hari.
Melihat penderitaan yang bertubi, berangsur-ansur Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Sahabat hijrah ke Madinah Al-Munawarrah. Di sana mereka dapat beribadah dengan tenang.
Hingga pada suatu hari, Ustman bin Mazh’un memasuki sebuah masjid. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Sahabat ketika itu sedang duduk di dalamnya.
Melihat betapa kondisi Utsman bin Mazh’un radhiyallahu ‘anhu, hati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tersentuh.
Beberapa Sahabat bahkan meneteskan air matanya. Apa sebenarnya yang mereka lihat dari Ustman bin Mazh’un sehingga sampai meneteskan air mata?
Lihatlah, Ibnu Mazh’un itu ia mengenakan pakaian lusuh dan penuh sobekan yang ditambal dengan jahitan dari kulit unta.
Ia berjalan dengan wajah kezuhudan dan langkah tenang memasuki masjid. Pakaian yang penuh sobekan itu sama sekali tidak membuatnya malu terhadap Sahabat lain.
Ia juga tidak mengharap pujian dan perhatian dari manusia seorangpun. Sahabat Utsman mengenakan pakaian ketaqwaan yang tidak kasat mata oleh manusia, namun mendapat perhatian sepenuhnya dari Allah Subhaanahu wata’alaa. Ia hanya mengharap wajah Allah Subhaanahu wata’alaa dan ridha-Nya.
Kesederhanaan dapat menumbuhkan perasaan iman pada pelakunya. Harta benda yang tidak ditampakkan itu ampuh untuk meniadakan kesombongan.
Kesombongan hanya membuat hidup pelakunya menjadi tidak tenang. Inilah suatu hal yang menciptakan kedamaian di kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Sahabatnya.
Mereka tidak memandang dunia sebagai kehidupan dan bahkan cenderung meninggalkan kenikmatan agar Allah Subhaanahu wata’alaa memberikan semua kenikmatan-Nya di dunia, juga di Surga kelak.
“Semoga Allah memberimu rahmat, Wahai Abu Saib. Kamu tinggalkan dunia sebelum kamu menikmatinya dan sebelum dunia memperdayamu,” ujar Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melepas kepergiannya menuju kehidupan kekal nan abadi.
Ia mencium kening Ibnu Mazh’un hingga keningnya basah oleh air mata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang suci dan harum.
Ustman bin Mazh’un, engkau adalah sosok teladan kesederhanaan. Engkau membuat kami malu karena kami selalu menyingkirkan kesederhanaan demi kehormatan di mata sahabat kami. Jika saja Rasul Mulia itu melihat kami, apakah kesan yang kira-kira akan beliau katakan?*/Zulaikha Fadliyah, Musyrifah Pondok Quran Bukittinggi, pebisnis Eco Racing.
Sumber: hidayatullah.com