Sayyid Abdullah bin Shiddiq Al Ghumari adalah sosok ulama yang karismatik. Kapasitas keilmuan beliau tidak ada yang meragukannya. Meskipun beliau lebih dikenal sebagai pakar hadits dan fikih, namun sejatinya beliau menguasai banyak ilmu. Oleh karenanya beliau sering disebut sebagai “al Muhadits al Faqih al Mutafannin”. Beliau lahir dan tumbuh berkembang di Maroko. Darah nubuwwah mengalir dalam tubuh beliau, karena nasab beliau bersambung ke Rasulullah saw. dari jalur Imam Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma. Beliau lahir pada akhir bulan Jumadil Akhir tahun 1328 H di Thanjah Maroko.
Di zaman beliau, para ulama Maroko tidak terlalu perhatian dengan ilmu tajwid. Oleh karena itu, ayah beliau Imam Muhammad ash Shiddiq, menyuruh beliau merantau ke Mesir untuk belajar ilmu tajwid kepada para ulamanya. Karena Mesir merupakan negeri yang berhasil melahirkan banyak qurra’ yang kapabel. Akhirnya pada tahun 1349 H, beliau pergi merantau ke Mesir dengan naik kapal Jepang yang bertolak dari Inggris menuju Alexandria Mesir. Beliau pergi ke Mesir bersama saudara beliau yang tertua, Zamzami, dan Haji Ahmad Abdus Salam asy Syarqi. Sebelum berangkat ke pelabuhan, beliau berpamitan dulu kepada ayah beliau. Ayah beliau membacakan wirid tarekat Syadziliyah terlebih dahulu kepada beliau dan berpesan agar senantiasa istiqamah selama perjalanan dan kelak hidup di Mesir.
Di dalam kapal yang beliau tumpangi, tidak ada orang muslim melainkan beliau dan rombongan. Kondisi ombak laut sangat tenang dan cuaca cerah, padahal saat itu musim dingin. Zamzami yang pergi bersama beliau tersebut tidak pernah belajar ilmu agama sedikit pun. Akhirnya beliau pun mengajarinya ilmu nahwu dengan memakai panduan kitab “al Ajurumiyah”. Proses belajar-mengajar tersebut dilakukan setiap ba’da shalat Ashar di tempat terbuka bagian atas kapal. Hal ini berlangsung selama delapan hari, tanpa ada hal-hal yang membuat khawatir. Pada hari ke delapan itu, nahkoda kapal memberitahu para penumpang bahwa kapal akan sampai di pelabuhan Alexandria besok subuh. Di hari itu, sebagaimana biasa, beliau dan Zamzami melakukan aktivitas belajar-mengajar ilmu nahwu setelah shalat Ashar. Di hari tersebut mereka sudah sampai bab “Dzaraf Zaman” (keterangan waktu). Dalam penjelasannya, beliau memberikan sebuah contoh dzaraf zaman dengan kalimat: “Nashilu ila Iskandariyyah Ghadan” (Kita akan sampai Alexandria besok). Mendengar kalimat tersebut, saudara tertua beliau berkata: “Katakanlah Insya Allah!”. Beliau menjawab: “Mengapa harus aku ucapkan itu, padahal waktu sampainya kapal telah ditentukan?. Juga bangunan-bangunan kota Alexandria sudah tampak di depan mata kita?”.
Setelah shalat Maghrib dan Isya, Sayyid Abdullah dan rombongan tidur sebagaimana biasanya. Pada jam 12 malam, atau lebih sedikit, gelombang ombak laut datang dengan sangat besar sekali. Nahkoda kapal mengatakan bahwa dia tidak pernah melihat ombak sebesar itu sejak 35 tahun yang lalu. Karena ombak begitu sangat besar, seluruh bagian kapal pun terguyur oleh air laut. Seluruh wadah yang ada di dalam kapal terbolak-balik dan sebagian pecah. Bahkan seluruh penumpang tidak bisa mengendalikan diri mereka masing-masing akibat goncangan ombak yang menerpa kapal. Beliau dan rombongan semakin ketakutan, lantaran nahkoda memberitahukan bahwa kapal yang berada di depan kapal yang beliau tumpangi telah mengirim sinyal permintaan bantuan ke Alexandria, namun sebelum bantuan datang kapal tersebut telah tenggelam.
Mendengar penjelasan dari nahkoda tersebut, Sayyid Abdullah dan rombongan semakin yakin bahwa kapal yang mereka tumpangi tinggal menunggu giliran untuk tenggelam. Mereka pun sudah sangat pesimis selamat dari maut saat itu. Setiap kali ombak mengguyur mereka, mereka mengira bahwa ombak tersebut akan menenggelamkan mereka saat itu juga. Kondisi mencekam tersebut berlangsung selama tujuh jam. Akhirnya Allah pun melimpahkan belas kasihan-Nya kepada mereka. Sedikit demi sedikit ombak meredah. Mereka sampai ke pelabuhan Alexandria di waktu Dzuhur. Lantas beliau dan rombongan mengucapkan tahmid (alhamdulillah) karena terbebas dari maut. Dan akhirnya beliau sadar bahwa siksa tersebut lantaran beliau meninggalkan ucapan “Insya Allah” dalam perkataan beliau sebelumnya.
Kita sering meremehkan untuk sekedar mengucapkan “Insya Allah” dalam berbagai hal, padahal itu sangat penting. Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu sekali-kali mengatakan atas sesuatu: “Sungguh aku akan melakukan hal itu besok”, kecuali jika Allah mengendaki”. (al Kahfi: 23-24). Ayat ini turun, sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Ishak dalam sirahnya, dari Ibnu Abbas: “Bahwa orang-orang Yahudi menyuruh kaum Quraisy untuk bertanya kepada Nabi saw. mengenai Ashabul Kahfi, ruh, dan Dzul Qarnain. Lantas kaum Quraisy menanyakan hal itu kepada beliau, dan beliau bersabda: “Aku akan menjawabnya besok”. Beliau bersabda demikian tanpa mengucapkan “Insya Allah”. Akhirnya wahyu pun tidak turun selama lima belas hari. Kemudian Jibril datang dengan membawa ayat dalam surat al Kahfi di atas. (Disarikan dari kitab Sabilu at Taufiq fi Tarjamah Abdullah bin Shiddiq al Ghumari, karya Sayyid Abdullah ibn Ash Shiddiq al Ghumari).
Sumber: ruwaqazhar.com