Tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu adalah ilmu yang mempelajari berbagai kaidah untuk merbersihkan hati dan seluruh anggota tubuh manusia. Sedangkan pengertiannya dari sisi pengamalan adalah mengerjakan semua yang diperintahkan Allah SWT dengan sempurna, menjauhi larangan-larangan-Nya, serta mengerjakan yang dibolehkan ketika darurat saja.
Sedangkan tarekat secara etimologi diambil dari bahasa Arab yaitu tharîqah, yang berarti jalan, metode, atau tata cara.
Secara terminologi, Syekh Amin al-Kurdi mendefinisikannya: “Beramal dengan syariat dengan memilih azîmah (hukum asal) daripada rukhshah (keringanan bagi mukallaf pada hal-hal tertentu). Menjauhkan diri dari mengambil pendapat yang mudah dalam amal ibadah yang tidak sebaiknya dipermudah. Bisa juga dikatakan, menjauhkan diri dari semua larangan lahir dan batin, melaksanakan semua perintah Allah SWT semampunya, meninggalkan semua larangan-Nya baik yang haram, makruh maupun mubah, melakukan semua ibadah fardu dan sunah, di bawah bimbingan seorang mursyid (guru spiritual yang ‘arif billah) yang telah mencapai derajat yang tinggi.
Menurut definisi di atas, jelaslah bahwa tarekat tasawuf yang benar mesti sejalan dengan syariat. Tidak menyalahi Al-Qur’an dan Sunnah. Jika ada tarekat tasawuf yang melenceng dan menyalahi Al-Qur’an dan Sunnah, maka itu termasuk tarekat yang tidak mu’tabarah. Bahkan di dalam tarekat sendiri sangat menolak hal-hal yang bertentangan dengan keduanya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah pendekatan diri kepada Allah, sedangkan tarekat itu adalah cara dan jalan yang ditempuh seseorang dalam usahanya mendekatkan diri kepada Allah SWT..
Jalan yang ditempuh tersebut mestilah di bawah bimbingan dan arahan seorang mursyid yang menunjukkan jalan yang aman dan selamat untuk sampai kepada Allah (ma’rifatullah).
Posisi mursyid di dalam sebuah tarekat ibarat seorang guide yang hafal jalan dan pernah melalui jalan tersebut sehingga di bawah bimbingan dan arahannya dapat dipastikan tidak akan tersesat dan sampai ke tempat yang dituju. Mursyid dalam tarekat bukan hanya membimbing secara lahiriah saja, tapi juga secara batiniah. Mereka adalah perantara atau mediasi antara seorang murid/salik dengan Rasulullah SAW dan Allah SWT.
Jika tarekat tasawuf yang merupakan salah satu wujud nyata dari tasawuf diibaratkan sebuah madrasah, maka syekh atau mursyid adalah pembimbing murid-muridnya di madrasah tersebut. Syekh adalah pengasuh, ustad yang memberi penawar yang sesuai dengan keadaan si murid. Seorang Syekh haruslah sempurna dalam ilmu syariat dan hakikat, bukan salah satunya saja.
Apakah wajib bagi muslim untuk bertasawuf? Apabila yang dimaksudkan dengan tasawuf adalah selalu mengerjakan keta’atan dan meninggalkan kemunkaran, maka hukum bertasawuf adalah fardu ain. Karena, menurut Imam Al-Ghazali manusia tidak ada yang luput dari aib dan penyakit hati kecuali para nabi yang maksum.
Sedangkan hukum bertasawuf dengan makna mengambil tarekat tasawuf yang sampai sanadnya kepada Rasulullah, maka hukumnya sunnah. Sebagian ulama, seperti Syaikh Abdullah bin Shiddiq Al Ghumari, bahkan berpendapat mengambil tarikat tasawuf hukumnya wajib. Hal ini disebabkan karena bertarikat tasawuf adalah maqam ihsan yang merupakan cerminan dari hadis Jibril As. Adapun maqam ihsan itu sendiri merupakan bagian dari tiga pilar agama. Oleh karena itu wajib hukumnya menyempurnakan rukun agama.
Terdapat banyak sarana untuk mencapai makrifah Allah. Oleh karena itulah terdapat banyak tarekat tasawuf, karena tarekat sendiri berarti “jalan”. Perbedaan jalan itu tergantung kepada syaikh dan murid itu sendiri. Sedangkan tujuannya tetap satu, yaitu Allah SWT.
Sebagaimana Rasulullah SAW menasihati sahabatnya untuk mengerjakan apa yang mendekatkan diri kepada Allah sesuai dengan kondisi mereka yang berbeda-beda.
Sebagai contoh, Rasulullah SAW pernah ditanyakan oleh sahabatnya, “Ya Rasulullah, katakan kepadaku tentang amalan yang dapat menjauhiku dari amarah Allah. Rasulullah SAW. menjawab, “Jangan marah”. Namun, di lain waktu, ketika sahabat yang lain datang bertanya, Rasul menasehatinya untuk senantiasa membasahi lidahnya zikrullah. Begitu juga para sahabat Rasul sendiri ada yang memperbanyak shalat malam, banyak berjihad, zikir, sedekah, dll.
Nah, Ketika memperbanyak dan terus menekuni satu ibadah, bukan berarti meninggalkan ibadah yang lain. Tapi terdapat ibadah atau amalan tertentu yang diberikan porsi lebih banyak oleh seorang sâlik untuk membuatnya sampai kepada tingkatan makrifah kepada Allah SWT..
Tabiat jiwa manusia tertumpuk didalamnya berbagai penyakit hati seperti takabur, ujub, egois, pelit, marah, riya, suka kepada maksiat dan kemunkaran. Oleh karena itu para ulama-ulama dulu sangat fokus akan pentingnya mentarbiyah hawa nafsu dan menghilangkannya dari penyakit-penyakit. Hal ini dilakukan semata-mata untuk mewujudkan keharmonisan dalam menjalani kehidupan di masyarakat. Begitu juga untuk memperoleh kemenangan dalam menempuh perjalanan menuju makrifatullah yang hakiki. Wallahu A’lam.
Asysyairazi Abdul Wahid, Lc
Peserta kader mufti di Lembaga Fatwa Republik Arab Mesir.
Rujukan:
– al Bayan al Qawim li tashih ba’dhi al mafahim, Prof. Dr. Ali Jumah.
– Tanwirul Qulub, Syaikh Muhammad Amin Al Kurdi.
Sumber: ruwaqazhar.com