Membicarakan sejarah munculnya masjid dalam lintasan sejarah umat Islam tidak dapat dilepaskan dari awal munculnya masjid sebagai pusat dinamika ummat Islam, baik di bidang ritual peribadatan maupun kehidupan sosial. Masjid yang mula-mula dibangun oleh Nabi saw adalah Masjid Quba. Quba, sesungguhnya adalah nama satu pemukiman yang terletak sekitar tiga mil di utara kota Madinah. Di daerah yang sebenarnya belum masuk dalam wilayah Madinah itu, Nabi saw mengawali pembangunan masjid sebagai pusat peribadatan dan sekaligus pusat kehidupan sosial ummat Islam.
Jejak pembangunan Masjid Quba tidak dapat dilepaskan dari persitiwa hijrah yang dilakukan Nabi saw dari kota Makkah menuju Yatsrib (Madinah). Begitu menerima wahyu yang mengizinkannya untuk berhijrah, dengan didampingi Abu Bakar, Nabi saw segera melakukan perjalanan hijrahnya. Setelah melakukan perjalanan yang cukup menegangkan, akhirnya Nabi saw dan Abu Bakar dapat keluar dari kota Makkah. Selanjutnya, pada hari Senin tanggal 22 September tahun 622 M yang, menurut Ibnu Hisyam (Sirah Ibnu Hisyam, 2000, I: 446) bertepatan pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal dan menurut Syibli Nu’mani (Siratun Nabi,1970, I: 311) bertepatan pada tanggal 8 Rabi’ul Awwal, Nabi saw telah sampai di pinggiran kota Madinah, tepatnya di pemukiman Bani Amr bin ‘Auf yang terkenal dengan nama Quba. Di Quba, Nabi saw berhenti dan singgah beberapa hari di rumah salah satu tokohnya, yaitu Kultsum bin Hidam. Sementara Abu Bakar tinggal di rumah Khabib bin Isaf dari Bani Al-Harts Khazraj (Sirah Ibnu Hisyam, 2000, I: 446-7). Tidak lama setelah Nabi sampai di Quba, Ali yang sebelumnya ditinggalkan di Makkah datang menyusul dan bergabung.
Di dalam Sirah Ibnu Hisyam (2000, I: 447) dijelaskan bahwa Nabi saw tinggal di Quba selama empat hari, yaitu sejak Senin sampai Kamis, kemudian hari Jum’at melanjutkan perjalanannya ke Madinah. Hanya saja, orang-orang Bani Amr bin ‘Auf menyatakan bahwa Nabi saw tinggal di Quba sekitar dua pekan. Selama tinggal di Quba, Nabi saw dibantu para sahabat dari Bani Amr bin ‘Auf membangun masjid yang pertama. Masjid itu dibangun di tanah milik dari keluarga Kultsum bin Hidam.
Masjid yang kemudian diberi nama Masjid Quba itu dibangun dalam keadaan yang relatif sederhana. Pada awalnya, Masjid Quba hanya merupakan pelataran atau tanah lapang berbentuk persegi panjang, yang di pojok-pojoknya dipancangkan tiang-tiang. Masing-masing tiang dikaitkan sehingga membentuk bangunan ruangan yang masih belum berdinding. Atapnya dibuat dari pelepah daun kurma yang dicampur tanah liat. Begitu juga dengan lantainya dibuat dari pelepah daun kurma. Selanjutnya, di sisi ruangan mulai dibangun dinding yang terbuat dari batu bata tanah liat (Omar Amin Hoesin, 1981: 197).
Pembangunan Masjid Quba membutuhkan waktu selama empat hari. Setelah pembangunannya selesai, Nabi saw melaksanakan shalat di masjid tersebut bersama-sama para sahabatnya. Sebagian sejarawan menyebutkan bahwa shalat berjama’ah yang dilakukan itu adalah shalat jum’ah. Oleh karena itu, shalat Jum’at di masjid Quba itu kemudian dipandang sebagai shalat jum’at pertama yang dilakukan Nabi saw (Syauqi Abu Khalil, Atlas Al-Qur’an, 2005, 222-3). Hanya saja, Ibnu Hisyam menyebutkan bahwa shalat Jum’at yang pertama bukan dilakukan di Masjid Quba, tapi di masjid Bani Salim bin ‘Auf, tepatnya di lembah Ranuna’ (Sirah Ibnu Hisyam, 2000, I: 447).
Setelah dirasa cukup tinggal di Quba dan pembangunan masjid telah usai, pada hari Jum’at tanggal 12 Rabi’ul Awwal atau 24 September tahun 622, setelah shalat Jum’at (ada yang menyebut pada pagi hari, sehingga ketika masuk waktu shalat Jum’at Nabi saw baru sampai di Lembah Ranuna’ dan shalat Jum’at di masjid yang ada di Lembah itu/Bani Salim), Nabi saw melanjutkan perjalanannya menuju Madinah. Tidak terlalu lama menempuh perjalanan dari Lembah Ranuna’ akhirnya Nabi saw, Abu Bakar, dan Ali dengan disertai sahabat-sahabat yang lain sampai di kota Madinah. Di gerbang kota Madinah, Nabi disambut dengan suka cita oleh penduduk setempat. Seperti halnya ketika memasuki pemukiman Quba, pada saat memasuki kota Madinah, Nabi saw segera memikirkan perlunya dibangun masjid sebagai basis kehidupan ummat Islam. Untuk itu, segera dicari tempat yang representatif sebagai tempat dibangun masjid. Atas petunjuk onta yang dinaiki Nabi saw, akhirnya terpilihlah tanah milik dua anak yatim bersaudara, Sahal dan Suhail, sebagai lahan untuk pembangunan masjid pertama di kota Madinah. Di tanah itulah kemudan dibangun rumah Nabi saw dan sekaligus Masjid Nabi yang kemudian dikenal dengan nama Masjid Nabawi (Sirah Ibnu Hisyam, 2000, I: 448-9).
Masjid Quba sebagai Masjid Qiblatain
Perlu diketahui bahwa pada awalnya, qiblat untuk menghadapkan wajah umat Islam tatkala shalat adalah ke arah Baitul Maqdis di Jerussalem. Hanya saja, Nabi saw merasa kurang mantap jika shalat harus menghadap ke arah Baitul Maqdis, khususnya setelah berada di Madinah. Pada bulan Rajab (sumber lain menyebut bulan Sya’ban), turunlah wahyu (Qs. Al-Baqarah [2]: 144) yang memerintahkan Nabi saw mengubah arah qiblat shalatnya dari Baitul Maqdis menuju ke Baitullah Ka’bah.
Ada dua versi terkait dengan tempat peristiwa turunnya wahyu perubahan arah qiblat shalat. Pertama, versi ini menyebutkan bahwa perintah perubahan arah qiblat shalat itu turun tatkala Nabi saw sedang melaksanakan shalat Dzuhur di Masjid Bani Salimah. Nabi saw menerima wahyu itu tatkala telah masuk pada rakaat ketiga. Untuk itu, disebutkan bahwa pada dua rakaat pertama, Nabi saw shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis, sedangkan pada dua rakaat yang terakhir menghadap ke arah Baitullah Ka’bah di Masjidil Haram. Dengan begitu, masjid Bani Salimah ini dalam sejarahnya kemudian memiliki dua mihrab sehingga di sebut dengan nama Masjid Qiblatain (Harun Nasution dkk, 1992, 648-9).
Keduia, versi ini menyebutkan bahwa wahyu tentang perintah perpindahan arah qiblat shalat itu memang turun ketika Nabi saw sedang mengerjakan shalat Dzuhur di Masjid bani Salimah. Hanya saja, ketika waktu shubuh berikutnya tiba, ternyata masyarakat Quba belum tahu jika ada perpindahan arah qiblat. Untuk itu, mereka tetap shalat menghadap ke Baitul Maqdis. Ketika memasuki rakaat yang kedua, datang salah seorang sahabat yang ikut shalat dzuhur bersama Nabi saw ketika perintah perpindahan arah qiblat itu turun. Begitu tahu bahwa masyarakat Quba masih shalat menghadap kearah Baitul Maqdis, sahabat itu berseru bahwa arah qiblat shalat telah dirubah menghadap ke Baitullah Ka’bah. Untuk itu, jama’ah pun mengganti arah qiblat menuju ke arah Baitullah Ka’bah (Imam Muhammad Asy-Syaukani, terj. 1970, II: 323-4).
Dikarenakan adanya peristiwa itu, maka seperti Masjid Bani Salimah, Masjid Quba pun memiliki dua mihrab, sehingga terkadang juga disebut sebagai “Masjid Qiblatain.” Hanya saja, dalam perkembangannya, nama Masjid Quba lebih femilier dan populer di kalangan ummat Islam sehingga ia jarang disebut sebagai Masjid Qiblatain. Hingga sekarang, nama masjid yang dikenal sebagai Masjid Qiblatain adalah Masjid bani Salimah. Meski demikian, hal itu menandakan betapa urgennya masjid Quba sebagai pilar awal penentuan arah qiblat shalat bagi umat Islam.
Masjid Quba vs Masjid Dirar
Masjid Quba adalah pilar peribadatan dan peradaban yang dipancangkan Nabi saw sebelum membangun peradaban Islam di Madinah. Berbeda dengan peradaban-peradaban manusia sebelumnya yang seringkali dibangun hanya berlandaskan ideologi materialistik, peradaban Islam yang diawali dari Masjid Quba dibangun dengan dilandasi spiritualitas ketakwaan. Oleh karean itu, Masjid Quba sebagai pilar peradaban Islam disebut sebagai “Masjid Taqwa” (Qs. At-Taubah [9]: 107-8).
Kekokohan dan ketangguhan kekuatan umat Islam sangat menakutkan musuh-musuh Islam. Dengan soliditas dan ukhuwah Islamiyah yang sangat kuat menjadikan umat Islam hampir tidak terkalahkan dalam berbagai medan peperangan. Satu faktor penting sebagai pembangun soliditas umat Islam tersebut adalah masjid yang dilandasi pilar ketakwaan. Kondisi seperti itu sudah diketahui oleh para musuh Islam. Oleh karenanya, mereka sadar bahwa jika ingin melemahkan dan menghancurkan umat Islam, maka pilar dan sendi utamanya harus dirontokkan. Merontokkan dan menggempur pilar tersebut secara fisik dirasa kurang memungkinkan. Untuk itu, para musuh Islam mencoba cara yang cukup halus. Mereka mendirikan masjid tandingan untuk menyelingkuhkan umat Islam dari sendi dan pilar kehidupannya, yang pada saat itu adalah masjid Quba. Bahkan, mereka mencoba memecah soliditas umat Islam. Masjid yang mereka dirikan itu kemudian oleh Allah dinamai ”Masjid Dirar” yang artinya masjid tandingan atau oposisi.
Masjid Dirar dibangun pada tahun 9 H, sebelum terjadinya perang Tabuk. Masjid Dirar dibangun oleh 12 orang Munafik di bawah pimpinan Abu Amir Ar-Rahib di daerah pemukiman Bani Salim utara kota Madinah, sedaerah dengan Masjid Quba. Jadi, pembangunan Masjid Dirar memang sangat terlihat dimaksudkan untuk merontokkan keanggunan Masjid Quba. Pada saat usai membangun, orang-orang Munafik mengundang Nabi saw untuk berkenan shalat di masjid tersebut. Harapan mereka, masjid tersebut mendapat legitimasi dari Nabi saw. Akan tetapi, atas bimbingan wahyu dari Allah swt, Nabi saw menolak dengan tegas permintaan orang-orang kafir Nunafik itu. Bahkan, karena diberi informasi Allah jika masjid itu dibangun sebagai upaya untuk merontokkan soliditas umat Islam, maka Nabi saw memerintahkan kepada para sahabatnya untuk merobohkannya. Hancurlah upaya orang-orang kafir Munafik untuk memporak-porandakan sendi-sendi soliditas umat Islam.
Penutup
Pembangunan Masjid Quba, secara fisik, pada awalnya sangatlah sederhana bentuknya. Akan tetapi, di balik kesederhanaannya, karena pembangunannya dilandasi oleh pilar-pilar ketakwaan, maka keangunannya sangat mempesona. Dari Masjid Quba itulah sendi-sendi peribadatan Islam, soliditas, dan komunitas sosial umat Islam serta ukhuwah Islamiyah dibangun. Jadi, Masjid Quba yang sederhana itulah yang menjadi pilar utama peradaban Islam.
Kini, berjuta-berjuta masjid berdiri di seantero penujuru dunia. Berapa banyak dari masjid-masjid itu yang mampu menjadi pilar kehidupan ummat Islam? Berapa banyak yang mampu menjadi basis pembinaan dan kehidupan umat Islam dan berapa banyak yang dibangun atas landasan ketakwaan? Jangan-jangan, dari berjuta-juta masjid yang telah ada itu justru banyak yang menjadi Masjid Dirar! Wallahu a’lam bi shawab.
*) Ketua Lembaga Pustaka dan Informasi PCM Depok, Sleman.
Sumber: suaramuhammadiyah.id