Pada saat pemuda Mekah pada umumnya tenggelam dalam gaya hidup foya-foya, bersenda gurau, bermalas-malasan, menghabiskan waktu mudanya dengan sia-sia, taklid buta kepada nenek moyang menyembah berhala, lantas apa yang dilakukan oleh Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam di usia yang sangat potensial tersebut?
Sebelum menjelaskan lebih jauh, standar usia muda yang digunakan di sini adalah standar syabâb dalam Bahasa Arab. Dari usia baligh hingga empat puluh tahun, masih dalam kategori pemuda (Ats-Tsaalibi, Fiqh al-Lughah, 77). Dengan standar ini, akan dieksplorasi lebih dalam masa muda nabi agar bisa diteladani oleh pemuda muslim di era digital ini.
Paling tidak, ada beberapa hal yang dilakukan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam pada usia mudanya.
Pertama, etos kerja yang tinggi. Berbeda dengan pemuda pada umumnya yang kebanyakan bergantung dengan kemapanan orangtuanya, Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam memilih untuk memanfaatkan masa mudanya untuk bekerja.
Setidaknya, ada dua pekerjaan yang dijalaninya sampai beliau menikah dengan Khadijah, yaitu: menggembala kambing dan berniaga. Mengenai penggembalaan kambing ini, Abu Hurairah RA meriwayatkan sabda nabi:
«مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا رَعَى الغَنَمَ» ، فَقَالَ أَصْحَابُهُ: وَأَنْتَ؟ فَقَالَ: «نَعَمْ، كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ»
“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi, melainkan (sebelumnya berprofesi) sebagai penggembala kambing.” Mendengar jawaban nabi, sahabat merespon, “Apa Anda juga?” “Ya. Dulu aku menggembala kambing penduduk mekah dengan upah sejumlah uang.” (HR. Bukhari)
Dari profesi ini, di samping memiliki mata pencaharian pribadi dan belajar mandiri sejak dini, beliau juga mendapat pengalam luar biasa dalam bidang leadership (kepemimpinan).
Tidak mengherankan jika Al-Hafidz Ibnu Hajar al-`Asqalani dalam Fath al-Bari menyebutkan: Hikmah diilhaminya para nabi menggembala kambing sebelum diutus menjadi nabi karena (supaya mereka pengalaman sebelum mengurus umat), (Fath al-Bâri, 7/99).
Adapun profesi bisnis, sudah dijalani beliau sejak usia 12 tahun. Dalam catatan sejarah, beliau pernah diajak pamannya safari dagang internasional ke Negeri Syam (Khudhari, Ain al-Yaqîn, 12). Di samping itu, pada usia 25 tahun, beliau menjalankan bisnis internasional milik Khadijah ke Negeri Syam yang kemudian membuat majikannya ini jatuh hati kepada beliau.
Pengalaman berdagang di luar negeri ini, bukan saja menghasilkan materi, tapi juga pengalaman lain yang sangat berarti. Safari niaga ini memberi pengalaman geografis bagi beliau. Di samping itu, mengetahui karakter, adat istiadat masyarakat internasional. Ketika menjadi nabi, pengalaman ini dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan dakwah Islam.
Kedua, tidak terbawa arus tren negatif pemuda . Sebagai pemuda, sebenarnya Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam pun juga menginginkan seperti pemuda-pemuda pada umumnya. Hanya saja, setiap kali ingin mengikuti tren, oleh Allah Subhanahu Wata’ala dijaga sehingga urung melakukannya.
Suatu hari, pasca menggembala kambing, beliau sudah berjanji dengan teman sesama penggembala untuk menyaksikan hiburan. Namun, rupanya Allah Subhanahu Wata’ala menidurkannya sehingga baru bangun pada keesokan hari. Setiap kali hendak melakukannya, kejadian itu terulang, sehingga beliau tidak mengulanginya lagi.
Ketiga dan keempat, pengalaman militer dan diplomatik. Pada usia dua puluh tahun, kalau sekarang masa-masa anak kuliahan, beliau sudah mendapatkan pengalaman militer dan diplomatik.
Ahmad As-Suhaili dalam Raudhah al-Anfi (1421: II/149) menyebutkan bahwa ketika meletus Perang Fijar antara Suku Kinanah bersama Qurays melawan Qais, beliau membantu paman-pamannya menyiapkan anak panah untuk melawan Suku Qais.
Perang ini kemudian berakhir dengan kesepakatan damai yang kemudian dalam sejarah diabadikan dengan istilah Hilf al-Fudhul (Perjanjian Fudhul). Rumah Abdullah bin Jadan menjadi saksi bisu perdamaian luhur ini.
Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam mengalami pengalam diplomatik yang luar biasa ketika menghadiri perjanjian ini, sampai-sampai beliau berkomentar saat mengenang kembali peristiwa ini:
لَقَدْ شَهِدْتُ فِي دَارِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جُدْعَانَ حِلْفًا لَوْ دُعِيتُ بِهِ فِي الْإِسْلَامِ لَأَجَبْتُ
“Sesungguhnya aku telah menyaksikan di rumah Abdullah bin Jad’an satu perjanjian; seandainya aku diajak melakukannya dalam Islam, tentu aku kabulkan. (Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, II/355)
Kelima, memiliki kepedulian sosial yang tinggi sekaligus rajin bertafakkur instospeksi diri. Beliau yang terlahir sebagai anak yatim, dan terbiasa hidup mandiri sejak mudanya, membuat kepekaan sosialnya tertanam dengan baik. Sebagai bukti riil, saat terjadi polemik mengenai peletakan Hajar Aswad pasca renovasi Ka’bah, diusianya yang baru 35 tahun, beliau mampu menjadi problem solver (pemecah solusi) bagi permasalahan yang hampir menimbulkan konflik berdarah ini. Tak mengherankan jika kesuksesannya ini membuat beliau dijuluki al-amin (yang tepercaya).
Pada usia 38-40, saat Ramadhan beliau terbiasa menyendiri bertafakkur di Gua Hira. Menariknya, saat beliau diangkat jadi nabi (di usia 40), dan pulang dalam kondisi ketakutan, Khadijah menenangkannya, Sesungguhnya, kamu telah menyambung tali persaudaraan, berbicara jujur, memikul beban orang lain, suka mengusahakan sesuatu yang tak ada, menjamu tamu dan sentiasa membela faktor-faktor kebenaran. (HR. Bukhari dan Muslim).
Sesungguhnya orang yang sejak mudanya memiliki etos kerja tinggi, banyak pengalaman, dan peduli sosial, tidak akan dicampakkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala.
Dari pembahasan ini, ada beberapa hal yang dilakukan nabi dalam memanfaatkan masa mudanya: memiliki etos kerja tinggi (misalnya: dengan menggembala kambing dan berbisnis); tidak terbawa arus pemuda pada umumnya; memperbanyak pengalaman berharga (seperti: militer dan diplomatik); serta peduli sosial, rajin instrospeksi diri dan selalu mendekat pada Sang Khaliq. Wallahu a’lam. */Mahmud Budi Setiawan
Sumber: hidayatullah.com