Aisyah sering disebut-sebut sebagai pengsusung panji ilmu. Dia sangat cerdas dalam memahami situasi kejadian saat itu. Dialah perempuan andalan kaumnya dalam persoalan-persoalan rumah tangga. Hal itu sangat memungkinkan, sebab ayahnnya keturunan Arab dan salah seorang pembesar mereka.
Pada masa kecilnya, Aisyah tumbuh dan terdidik oleh tangan seorang ahli agama, murid langsung Rasulullah. Bukankah beliau adalah hamba-Nya yang memiliki keteladanan sempurna diciptakan-Nya dengan akhlak terindah? Seperti difirmankan oleh Allah SWT. dalam Surat Al-Qalam ayat 4: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
Dikutip dari buku “Perempuan-Perempuan Alquran” karya Abdurrahman Ummairah, saat berkeluarga, Aisyah hidup di rumah kenabian, tempat wahyu Allah diturunkan. Kitab penuntun hidup manusia turun di tempatnya; itulah Alquran yang dibaca siang dan malam. Maka tak heran bila Aisyah mengerti makna sejati ajaran-ajarannya dan berbagai rinciannya. Gambaran tentang kecerdasan Aisyah dapat kita tangkap lewat ke kaguman Urwah terhadapnya.
Suatu hari Urwah berkata, “Wahai Ummul Mukminin, saya tak heran atas kepandaianmu dalam soal agama. Sebab, Anda adalah istri Rasulullah dan putri Abu Bakar. Saya pun tidak terkejut atas kemahiranmu tentang syair dan hari-hari orang besar. Sebab Anda adalah putri Abu Bakar yang terkenal cerdas. Tetapi yang saya takjub terhadap diri Anda adalah kepandaian dalam pengobatan, dari mana Anda memperolehnya?”
Atas pujian itu Aisyah lalu menjelaskan : “Ya Aba Uraiyah, ketika Rasulullah sakit pada akhir hayatnya, utusan-utusan dari berbagai wilayah negeri Arab datang. Mereka membawa resep yang baik untuk pengobatan beliau sehingga saya mempraktikkannya dalam pengobatan.”
Komentar lain tentang kecerdasan Aisyah dinyatakan oleh Az-Zuhri: “Andaikata semua ilmu yang dimiliki istri-istri Rasulullah dikumpulkan, belum dapat menandingi ilmu yang dimiliki Aisyah.”
Aisyah sendiri memiliki potensi untuk menyerap berbagai ilmu. Kesukaannya mendengarkan dengan seksama dan selalu bertanya kepada para ahli pengobatan yang datang saat Rasulullah sakit menjelang wafatnya, membuat dia memperoleh ilmu pengobatan. Dalam Shahihain, ada 297 hadis yang diriwayatkan dari Aisyah. Dalam Muttafaq’Alaih sebanyak 174 hadis. Karena itu, ulama hadis mengatakan bahwa Aisyah termasuk perawi hadis yang banyak periwayatnya.
Tidak terbatas pada ilmu hadis, kecerdasan Aisyah juga menonjol dalam ilmu tafsir. Ketika Urwah menafsirkan Surah Al-Baqarah ayat 158 yang artinya “Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian syiar Allah. Maka barang siapa beribadah haji ke Baitullah atau besyiar Allah. Maka barang siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan kebajikan dengan kerelaan hati, sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Mengetahui.”
Urwah berkata, “Demi Allah, sesungguhnya tiada dosa bagi seseorang untuk tidak bersai antara bukit Shafar dan Marwa.”
Namun dengan tangkas Aisyah menyangkal, “Wahai saudaraku, andikata pendapatmu benar bahwa tidak melakukan sai antara bukit Shafa dan Marwa tidaklah dosa dalam melaksanakan haji, maka ketahuilah bahwa ayat tersebut berkenaan dengan orang Anshar.
Sebelum memeluk Islam, mereka telah bersai untuk menyembah patung Mana di ngarai gunung; orang-orang yang berada di sana mendapat rintangan untuk melaksanakan tawaf antara Safa dan Marwa. Setelah masuk Islam, orang-orang Anshar tersebut berkata, “Ya Rasulullah, kami mendapatkan rintangan dalam melaksankan tawaf anatara Safa dan Marwa. Saat itulah turun ayat Allah: “Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah” (Al-Baqarah: 158).
Aisyah menambah penjelasannya: “Nabi telah berjalan mengelilingi dua bukit tersebut dan tiada seorang pun yang meninggalkan tawaaf antara keduanya.”
Tiada puas dengan pendapatnya sendiri, lalu Aisyah datang kepada ayahnya mengenai persoalan ini. Tetapi bahkan Abu Bakar berkomentar: “Sungguh ini ilmu yang belum kudengar sebelumnya. Aku telah banyak mendengar orang-orang pandai menerangkannya, tetapi tidak seperti yang diterangkan Aisyah.”
Aisyah dengan pengetahuannya yang dalam menjelaskan mengenai tawaf antara Safa dan Marwa; dan menyebut-nyebut bahwa sebelum turun firman Allah surah Al-Baqarah ayat 158, orang-orang yang melaksanakan sai antara Shafa dan Marwa secara keseluruhan. Tetapi, setelah Allah Ta’ala menyebut Thawaf di Baitul Haram, tidak lagi menyebut tawaf di Safa dan di Marwa,” turunlah ayat lagi sebagai kelanjutan surat yang turun sebelumnya.
Firman Allah: “Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 158).
Atas penjelasan tersebut, Abu Bakar kemudian berpendapat bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan adanya dua kelompok manusia: mereka yang mendapat rintangan untuk bertawaf antara Safa dan Marwa pada zaman Jahiliah; dan mereka yang mendapat halangan untuk bertawaf antara keduanya (Safa dan Marwa).
Begitulah Aisyah, pandai dalam ilmu tafsir, lihat dalam hal syair dan berbagai ilmu lainnya. Begitu lancar dan fasih lidah Aisyah. Kalau ia berbicara, kalimatnya mempesona pendengarnya, dan bila menyusun kata-kata dapat menyentuh kalbu mereka. Aisyah memang pandai berkata-kata, pandai mengungkapkan rasa dan menyampaikan hikmah.
Al-Ahnaf bin Qais membuat penilian tentang pribadi Aisyah: “Saya pernah mendengar khotbah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan khalifah-khalifah yang lain hingga saat ini; tetapi saya tak pernah mendengar dari lidah makhluk Allah yang lebih fasih dan lancar daripada Aisyah. Juga Musa bin Thalhah berkata tentang Aisyah: “Saya tidak pernah mendengar suatu hujah yang lebih fasih dari kefasihan Aisyah.”
Tak ketinggalan Muawiyah menyanjung istri Nabi tersebut dengan kata-katanya: “Demi Allah, tidak pernah mendengar khutbah seorang khatib yang melebihi kefasihan Aisyah.”
Sumber: republika.co.id