Bukanlah hal yang mudah bagi seseorang untuk dapat menghargai sejarah; jangankan menghargai sejarah orang lain, memahami sejarah dirinya pun luput dari ingatan.
Sungguh Rabbul ‘Aalamien adalah Dzat yang Maha pandai dalam memutarkan roda zaman, menuturkan kalam dalam firmanNya yang mulia: “Tilkal ayyaam nudaawiluhaa bainan naasi; Hari-hari tersebut, Kami gulirkan di antara manusia …” [Qs. Alu ‘Imraan/3:140].
Rasuulullaah shalallaahu ‘alaihi wasallam menyebutnya dengan “Annaz zamaan qadistadaaro; Sesungguhnya waktu terus bergulir.” [HR. Bukhari Muslim dari Abi Bakrah radhiyallaahu ‘anh]. Itulah yang disebut “sunnah mudaawalah”, ketentuan yang Maha Kuasa dalam membuat siklus kehidupan bagi manusia untuk dijadikan pelajaran berikutnya.
Terkadang kita begitu bangga dengan masa lalu, namun tanpa sadar kita tengah kehilangan masa depan. Terkadang ada pula yang meremehkan masa lalu, tanpa bisa berbuat banyak untuk masa depan. Bahkan ada pula yang kurang bisa menghargai masa lalu, namun sangat menikmati buah hasil perjuangan masa lalu. Tentu, yang seharusnya adalah berbuat adil dalam menyikapi masa lalu dan mensyukurinya dengan mengambil banyak hikmah di balik perjalanannya yang panjang. Ibarat pepatah Arab mengatakan: “Gharasas saabiquuna fa akalnaa, afalaa naghrisu liya’kulal laahiquuna; Orang-orang terdahulu sudah menanam, lalu kita memetik hasilnya. Apakah kita sudah mampu menanam, untuk bisa dipetik hasilnya oleh generasi mendatang?”. Lahaa maa kasabat wa ‘alaiha maktasabat …
Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk, benar-benar wajib menjadi rujukan, di mana sejarah dalam berbagai perspektifnya mengandung makna yang beragam; kisah-kisah [qashash], perjalanan [sunanun, sieratun], diharapkan menjadi pelajaran dan bahan analisa [nazhar] bagi orang-orang yang memiliki akal fikiran [Qs. Yuusuf/12:111, Qs. Alu ‘Imraan/3:137].
Adapun di balik pengkajian sejarah, terdapat tiga hikmah yang dapat kita petik; menjadi penjelas [bayaan], menjadi petunjuk [hudan] dan menjadi nasihat [mauizhah] bagi orang-orang yang bertakwa [Qs. Alu ‘Imran/3: 138].
Babak berikutnya, kini sejarah sudah menjadi satu disiplin ilmu dengan nama yang berbeda-beda; Apabila dikaitkan dengan penanggalan disebut tarikh, sedangkan apabila dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi [hawaadits] disebut sierah.
Pandangan ini dikuatkan oleh Louis Gottschalk dengan sebutan geschicte [berasal dari kata geschehen, artinya sesuatu yang terjadi].
Effat as-Syarqawi sebagaimana dikutip Prof. Badri Yatim menambahkan, semangat mendalam suatu masyarakat terkait dengan seni, sastra, religi dan moral disebut tsaqaafah [culture, kebudayaan] dan hal-hal terkait dengan kemajuan mekanis dan teknologis seperti politik, ekonomi dan teknologi disebut hadhaarah [civilization, peradaban].
Sayyid Quthb dalam “Fiet Tariekh Fikratun wa Minhaajun“, memiliki pandangan unik. Menurutnya, sejarah bukanlah sekedar peristiwa, melainkan tafsiran-tafsiran atas peristiwa dan segala yang berhubungan dengan dinamisme masyarakat. Lebih lengkap lagi Muhammad Kheir Abdul Qadier memaparkan dalam “Taarikhunaa Fied Dhauil Islaam“, bahwa sejarah bukanlah catatan kelahiran dan kematian belaka atau sebuah biografi dan gambar tokoh kepahlawanan, melainkan sebuah proses perjuangan masyarakat dalam mencapai tujuan. Meminjam ungkapan sejarawan Melayu Prof SM. Naguib al-Attas, sejarah itu “bukanlah masa lalu yang mati, melainkan kekinian yang hidup”.
Karenanya, seorang kritikus sejarah ‘Imaaduddin Khaliel dalam “Pengantar Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Sejarah” menegaskan: “Pemahaman yang terpisah-pisah terhadap sejarah, menyebabkan pandangan yang parsial [tidak utuh], salah satunya terlalu membesar-besarkan segi-segi politik dan militer, namun mengecilkan wilayah akidah, sosial dan peradaban”.
Orang yang tidak jujur dan senang memutus mata rantai sejarah, berarti dia seorang pengkhianat sejarah. Fa’tabiruu Yaa Ulil Abshaar … Laqad kaana fie qashashihim ‘ibratun li ulil albaab …*/ H.T. Romly Qomaruddien, Ketua Bidang Ghazwul Fikri dan Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah.
Sumber: hidayatullah.com