Oleh: Bahrur Surur-Iyunk
Pada 2008, saya diberi kenikmatan rohani oleh Allah untuk menunaikan ibadah haji. Dalam sebuah kesempatan, saya berkeinginan menunaikan shalat rawatib di depan Multazam, pintu Ka’bah. Tepatnya, di belakang imam shalat Masjidil Haram. Meski tidak berada di shaf pertama belakang imam, alhamdulillah bisa duduk di shaf ketiga.
Dalam penantian azan Ashar dan iqamah, saya menyaksikan percakapan tanpa kata-kata dua saudara Muslim dari negeri dan negara yang berbeda. Salah seorang memegang air zamzam dalam botol yang tersisa tidak lebih dari separuh. Sementara, yang lainnya mungkin merasa sangat haus. Maklum, terik panas matahari saat itu cukup menyengat.
Hendak mengambil ke belakang di sekitar masjid, rupanya shaf di belakangnya sudah sangat rapat terisi. Ia sendiri ingin duduk di shaf terdepan dekat imam. Tanpa malu, ia pun meminta dengan menunjuk pada sisa air dalam botol. Awalnya tampak seperti keberatan. Tapi, setelah menunjuk dan mengarahkan setengahnya saja, maka si empunya air pun merelakan berbagi. Air yang tidak lebih dari setengah botol 600 ml itu pun diminum berdua. Cukup nikmat untuk membasahi kerongkongan di tengah terik.
Kesaksian itu seakan mengingatkan sebuah kisah segelas air yang harga dan nilainya seluas kekuasaan Khalifah Harun Ar- Rasyid. Pada suatu hari, Harun Ar-Rasyid, salah seorang khalifah pada masa Bani Abasiyah (766-809 M), tampak gelisah. Ia lalu memerintahkan salah seorang pembantunya untuk memanggilkan Abu As-Sammak, salah seorang ulama terhormat dan terkenal jujur pada masanya. “Nasihatilah aku wahai Abu As-Sammak,” kata khalifah. Tidak lama kemudian, sebagaimana dikisahkan dalam Lentera Hati, karya M Quraish Shihab, salah seorang pembantunya membawa segelas air untuk khalifah. Pada saat hendak meminumnya, tiba-tiba Abu As-Sammak menyela, “Tunggu sebentar wahai khalifah. Mohon dijawab dulu pertanyaanku dengan apa adanya. Seandainya Anda haus, lalu segelas air ini tidak ada, berapa harga yang Anda bayarkan untuk menghilangkan dahagamu?”
“Setengah dari yang kumiliki,” ujar sang Khalifah dan langsung meminum segelas air tersebut. Beberapa saat kemudian, setelah sang Khalifah meminum segelas air tersebut, Abu As Sammak bertanya kembali, “Seandainya apa yang telah Anda minum tadi tak dapat dikeluarkan kembali, sehingga mengganggu kesehatan Anda. Berapakah Anda bersedia membayar untuk kesembuhan?”
“Setengah dari yang kumiliki,” jawab Khalifah tegas. “Ketahuilah bahwa seluruh kekayaan dan kekuasaan di dunia yang nilainya hanya seharga segelas air tidak wajar diperebutkan atau dipertahankan tanpa hak dan kebenaran,” kata Abu As-Sammak menimpali jawaban sang Khalifah.
Kisah ini ingin menggambarkan betapa besar nilai segelas air. Kita menjadi kurang bersyukur dan biasa-biasa saja, karena air yang kita minum itu selalu tersedia dan (seakan) ada begitu saja. Manusia akan sangat berharga dan bernilai saat barang itu tidak ada di saat kita membutuhkannya. Uang yang kita miliki terasa tidak ada gunanya. Lihatlah bagaimana orang kaya raya yang jatuh sakit dan tidak menemukan obat yang mereka butuhkan. Seluruh hartanya ia pertaruhkan untuk mendapatkan kesembuhan itu.
Kita merasakan segelas air dengan lebih nikmat lagi saat berbuka puasa. Terlebih lagi di saat cuaca sedang panas seperti sekarang ini. Kenikmatannya melebihi segalanya. Di sinilah rasa syukur itu kemudian bertambah, karena nikmatnya melebihi kekuasaan dan kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. Allah SWT dalam surah ar-Rahman berkali-kali berfirman, “Nikmat Tuhan mana lagi yang akan engkau dustakan?” Wallahu a’lam.
Sumber: republika.co.id