Islam sebagai jalan hidup tidak pernah memberi ruang seorang pun untuk menepuk dada, membanggakan diri atas Muslim lainnya.
Hal ini tidak lepas dari fakta kehidupan, dimana memang no body perfect (tak ada manusia sempurna). Oleh karena itu, Islam mendorong umatnya untuk terus-menerus memperbaiki diri, sebaliknya sangat melarang mencela, mengupas aib sesama, dan bersikap sombong.
Ibn Hazm sebagaimana dikutip oleh Buya Hamka dalam bukunya Lembaga Budi menekankan bahwa seorang Muslim harus pandai melihat kekurangan diri agar terhindar dari sikap suka membanggakan diri sendiri.
“Orang yang diuji jiwanya dengan rasa bangga hendaklah mengambil kesempatan memikirkan aib dan cela yang ada pada dirinya. Orang yang merasa bangga dengan perangainya yang terpuji, hendaklah menyelidiki bahwa telah bersih dari segala macam celaan, hendaklah dia insaf bahwa dia telah rusak untuk selama-lamanya. Itulah tanda bahwa orang itu telah sangat sempurna kurangnya, dan sangat besar aibnya dan sangat lemah tenaga pikirannya buat mencuri kekurangan dirinya.” (Lembaga Budi, halaman: 32).
Buya Hamka pun melanjutkan dengan menegaskan bahwa sikap membangga-banggakan diri adalah tanda akal yang lemah, jahil dan bodoh. “Tidak ada cacat lebih rendah lagi dari itu,” tulisnya.
Orang yang berakal menurut Hamka adalah orang yang tahu kekurangan dirinya, lalu memperbaikinya. Jika tidak, orang tersebut disebut ahmak, yakni orang yang tidak tahu cacat diri.
“Baik karena kurang ilmu atau lemah berpikir. Atau karena menyangka bahwa yang buruk itu adalah baik, sehingga berlainan dengan pandangan sekalian orang yang sehat pikirannya. Kalau sudah sampai begini, adalah tanda bahwa “sakitnya” sudah parah,” urai Hamka lebih lanjut.
Terkait hal memperbaiki diri ini, Sayyidina Umar berpesan kepada umat Islam agar pandai mengevaluasi diri sebelum nanti dihisab oleh Allah Ta’ala, “Hasibuu qobla ‘an tuhasabuu.”
Uraian di atas hadir tidak lepas dari kebiasaan kebanyakan orang yang seringkali menghabiskan waktu hidupnya sekedar membahas kekurangan, kesalahan dan kelemahan orang lain.
Terlebih jika kekurangan orang yang dibahas dihubungkan dengan kepandaian diri sendiri, kesungguhan diri sendiri dalam melakukan banyak hal, sehingga merasalah diri sendiri lebih baik dari siapapun, sehingga orang akan cenderung membanggakan diri sendiri dan merasa tidak perlu mendengar apapun dari orang lain.
Orang yang terkena ahmaq akan lupa untuk melihat kekurangan diri dan memperbaikinya. Sebaliknya, kemana-mana dan dimana-mana akan terus menyampaikan kebaikan-kebaikan dirinya, sementara orang di sekelilingnya tidak melihat apa yang disampaikan sebagai sebuah kebangaan adalah hal yang benar-benar patut dibanggakan.
Sayyidina Ali berpesan, “Dengarkanlah, niscaya kamu akan mengetahui dan diamlah, niscaya kamu akan selamat.”
Artinya dalam hidup ini harus ada niat dan kesungguhan untuk benar-benar memperbaiki diri dengan tidak banyak bicara – apalagi terus membanggakan diri sendiri padahal tidak ada juga hal-hal besar yang dilakukan secara konkret dan konsisten – dan terus berpikir bagaimana kekurangan diri bisa diketahui dan diperbaiki.
Bahkan, andai pun diri kita dicela, dihina oleh orang lain, tetaplah didengar, ambil yang relevan dengan kekurangan diri lalu perbaiki. Jadi tidak perlu terprovokasi lalu membalas ucapan-ucapan kotor orang lain, sehingga menjadi tidak ada bedanya diri kita dengan mereka yang suka mencela, suka menghina.
Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bagaimana sikap terbaik kita kala dihina orang lain.
“Adapun susahmu dengan sebab perkataannya, bencinya kamu kepadanya, dan cacianmu kepadanya, adalah sangat bodoh.”
Jika saja maksud tujuannya menyusahkanmu, kamu dapat mengambil manfaat dari ucapannya. Karena ia telah menunjukkan kekuranganmu, kalau kamu tiada mengetahuinya. Atau ia telah mengingatkan kekurangamu, yang mungkin kamu lengah dari kekurangan itu.
Atau ia memang sengaja menjelek-jelekkanmu, supaya kesungguhanmu tergerak untuk menghilangkannya, jika saja kamu memandang baik pada kekurangamu itu. Semuanya demi sebab-sebab kebahagiaanmu.
Dan kamu dapat mengambil manfaat daripadanya. Maka bekerjalah untuk mencari kebahagiaan. Sebab sesungguhnya telah dibuka untukmu tali-temali kebahagiaan itu melalui perantaraan mendengarnya kamu atas celaan orang.”
Imam Ghazali pun menghadirkan sikap Ibrahim bin Adham terhadap orang yang melukai kepalanya.
“Ibrahim bin Adham mendoakan orang yang melukai kepalana dengan permintaan ampun keada Allah Ta’ala. Kemudian orang bertanya kepadanya tentang perilakunya yang demikian. Maka Ibrahim menjawab, “Saya mengerti, bahwa saya mendapatkan pahala dari sebabnya. Dan saya tidak memperoleh daripadanya, kecuali kebaikan. Maka saya tidak senang, bahwa ia mendapat sikasaan dengan sebab saya.”
Subhanalloh, demikianlah sikap ulama terdahulu dalam memandang dirinya.
Padahal, sangat bisa seorang Ibrahim bin Adham mengutuk, menuntut balik, dan menyebarluaskan kejahatan orang yang telah melukai kepalanya. Tetapi beliau ingin apapun menjadi kebaikan dalam hidup dunia-akhiratnya, maka orang yang melukai kepalanya pun dinilai sebagai orang yang telah mendatangkan kebaikan bagi dirinya, bahkan lebih jauh, beliau memohonkan ampunan untuk sang pelaku kejahatan itu.
Demikianlah contoh konkret bagaimana seharusnya setiap Muslim terus memperbaiki diri. Tidak mudah untuk terpancing melakukan hal-hal buruk, tetapi sebaliknya senantiasa memikirkan kelemahan diri dan bagaimana mendapatkan keuntungan hakiki dunia-akhirat dari setiap peristiwa yang dialaminya dalam kehidupan ini.
Andai sikap demikian mendarah daging dalam diri kita, tentu saja kebahagiaan sejati itu telah lama bersarang di dalam dada kita. Wallahu a’lam.*
Sumber: hidayatullah.com