Jogja, seperti juga daerah lainnya di tanah Jawa, sebelum masuknya Islam dikenal sebagai wilayah yang penduduknya beragama Hindu dan Budha. Perbedaan status dalam kasta-kasta mewarnai kehidupan masyarakat kala itu, yang terbagi dalam kasta Brahma, Ksatria, Waisya, dan Syudra. Ritual keagamaan, paham, mistisme legenda menyertai interaksi di antara mereka
Masuknya Islam sebagai sebuah ajaran baru perlahan mempengaruhi kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Jawa, khususnya Jogja. Keberadaan Wali Songo, utamanya Sunan Kalijaga (Raden Said), merupakan tokoh sentral dalam pembentukan masyarakat Islam di Jogja. Keberadaan Wali Songo dalam khasanah perkembangan Islam di Indonesia ternyata menjadi catatan penting yang menunjukkan adanya hubungan antara negeri Nusantara dan Kekhilafahan Islamiyah, yang kala itu dipimpin oleh Sultan Muhammad I (808H/1404M), yang juga dikenal sebagai Sultan Muhammad Jalabi atau Celebi dari Kesultanan Utsmani. Wali Songo memberikan pengaruh yang sangat besar kepada kesultanan-kesultanan yang muncul di Indonesia, termasuk kesultanan Mataram di Yogyakarta.
Mengutip catatan Adaby Darban, dalam Sejarah Kauman. Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah, pada masa kekuasaan Mangkubumi (Sultan Hamengku buwono I), dibangunlah Keraton Yogyakarta pada 9 Oktober 1775 M. Keraton menjadi simbol ekstensi kekuasaan Islam, meski berada dalam penguasaan Belanda, sebagaimana kerajaan Islam di Jawa sebelumnya, seperti Demak, Jipang, Pajang, setiap keraton memiliki masjid dan alun-alun. Masjid inilah yang nantinya memegang peranan penting dalam membangun kebudayaan Islam, termasuk dipergunakan oleh sultan untuk berhubungan dengan para bawahannya dan masyarakat umum.
Pendirian masjid yang kemudian diberi nama Masjid Agung ini dilengkapi dengan bangunan yang memiliki kefungsian khusus. Serambi masjid diberi nama “Al-Mahkamah Al-Kabirah”. Yang berarti mahkamah agung, berfungsi sebagai tempat untuk menyelesaikan berbagai persengketaan yang terjadi di kehidupan masyarakat.
Untuk urusan keagamaan, dibentuklah lembaga kepenguluan sebagai Penasehat Dewan Daerah sekaligus menjadi bagian birokrasi kerajaan. Mereka adalah orang-orang alim tentang Islam yang mengatur semua kefungsian masjid, di antaranya adalah pendidikan. Melalui pondok pesantren yang ada di masjid ataupun langgar-langgar, proses pembentukan masyarakat Islam dilakukan. Tidak jarang putra-putri mereka dikirim ke pondok pesantren terkenal seperti Termas, Tebuireng, dan Gontor, yang sepulangnya dari sana akan menjadi ulama-ulama penerus kepenguluan di Keraton Yogyakarta. Hal ini menggambarkan bagaimana peran Kerajaan (tepatnya Kesultanan) dalam melakukan proses pendidikan Islam kepada rakyatnya.
Di bidang kebudayaan dan kemasyarakatan, Jogja yang saat itu masih kental dipengaruhi oleh ‘warisan’ budaya Majapahit dan Syiwa Budha, sedikit demi sedikit mulai diarahkan pada budaya dan pola interaksi yang islami. Di sinilah peran Sunan Kalijaga, dalam catatan sejarah memberikan andil yang begitu besar. Hasilnya adalah terdapat sejumlah upacara kerajaan yang telah diislamisasi sebagai syiar Islam di tengah masyarakat, seperti sekaten, rejeban, grebeg, upacara takjilan dan tentu saja wayang yang masih ada hingga kini. Wayang, sebagai salah satu contoh, merupakan sarana yang digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai media mendakwahkan Islam (dakwahtainment). Wayang yang sudah ada sejak Kerajaan Kahuripan itu menjadi salah satu hiburan masyarakat yang paling populer.
Demikian pula pada upacara grebeg dan sekaten. Sekaten dari bahasa Arab syahadatain, yang artinya dua syahadat, merupakan nama dua buah gamelan yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga dan ditabuh pada hari-hari tertentu atau pada perayaan Maulud Nabi di Masjid Agung. Adapun grebeg, yang artinya mengikuti (bahasa Jawa), yakni upacara menghantarkan Sultan dari Keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW. Yang diikuti juga oleh para pembesar dan pengawal Istana lengkap dengan nasi gunungannya.[Bey laspriana, tingal di Yogyakarta].
Sumber: mustanir.com