Oleh: Ahmad Sazali
Sudah menjadi maklumat bersama bahwa peranan pemuda dalam pembangunan bangsa atau bahkan peradaban sekalipun, bukan hal yang terelakkan lagi. Pemuda memiliki kekuatan tersendiri yang tidak dimiliki generasi lainnya. Bukan hanya sebagai generasi penerus tongkat estafet perjalanan bangsa, bahkan lebih dari itu pemuda sudah memiliki tanggung jawab tersendiri terhadap kemajuan bangsa ini. Artinya, pemuda tidak perlu menunggu kapan tongkat estafet itu dikasihkan.
Sejarah telah banyak mencatat mengenai hal ini. Sebut saja cerita yang diabadikan oleh Allah dalam al-Quran tentang pemuda Ashabul Kahfi yang dengan gigih mempertahankan keimanannya.
Perjuangan mereka sungguh mahal harganya. Untuk mempertahankan keyakinan tersebut, mereka harus berhadapan dengan penguasa yang terkenal dengan kedzalimannya ketika itu. Atau simbol-simbol kepemudaan yang dilambangkan oleh gerakan Sumpah Pemuda 1928 dan para pejuang kemerdekaan terdahulu. Sebutlah tokoh-tokoh seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo, dan lain sebagainnya.
Semua itu mencerminkan bahwa peranan pemuda memang sangat besar sekali dalam bangsa ini. Mereka tidak menunggu tongkat estafet itu dikasihkan, atau hanya menunggu bola saja. Mereka bergerak berdasarkan nurani dan jiwa kepemudaan mereka sendiri.
Sekarang di tengah putaran roda pembangunan bangsa ini, ruh pemuda seperti itu sangat dibutuhkan kembali. Pergerakan-pergerakan pemuda untuk membangun bangsa ini sangat dinantikan. Namun bukan berarti gerakan pemuda Indonesia sekarang mengalami kebekuan. Tentu saja masih ada kelompok-kelompok pemuda yang mau bergerak. Akan tetapi pergerakan yang diharapkan itu adalah pergerakan yang lebih cerdas dan bermartabat.
Pergerakan yang cerdas dan bermartabat itu mungkin tidak termasuk di dalamnya kategori seperti demonstrasi dan turun ke jalan, hingga mengganggu ketertiban umum. Pergerakan yang cerdas dan bermartabat adalah pergerakan yang menjunjung tinggi intelektualitas dan moralitas. Pergerakan seperti inilah yang sangat pantas untuk dilakukan oleh para pemuda sekarang ini.
Bentuk kongkrit dari gerakan yang cerdas dan bermartabat itu akan tergambar jelas ketika kita menganologikannya dengan proses terbentuknya suatu peradaban. Menurut Ibnu Khaldun, maju mundurnya suatu peradaban tergantung pada ilmu pengetahuan. Salah satu tanda dari wujudnya peradaban itu adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi, optic, kedokteran, dan lain sebagainya.
Namun ada satu faktor terpenting lagi selain ilmu pengetahuan yang tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur peradaban, yaitu agama atau kepercayaan. Sayyid Qutb menyatakan bahwa keimanan adalah sumber utama dari peradaban. Sejalan dengan Sayyid Qutb, Syaikh Muhammad Abduh ternyata juga menekankan pentingnya membangun mental sprititual yang kuat sebagai landasan atas peradaban.
Dua unsur pembentuk peradaban ini harus selalu dipadukan dan posisikan secara balance. Keduanya tidak akan hidup tanpa adanya orang-orang atau komunitas yang selalu konsisten untuk mengembangkannya. Komunitas yang ada di Madinah, Cordova, Baghdad, dan Kairo pada masa kejayaan Islam adalah sebagian kecil dari contoh orang-orang yang mau konsisten dengan ilmu pengetahuan, tanpa mengesampingkan mental spiritual.
Untuk membentuk itu semua tentunya membutuhkan suatu proses yang tidak sebentar. Dibutuhkan suatu tradisi intelektual yang kuat hingga akhirnya mencetak masyarakat yang tidak tabu dengan ilmu pengetahuan dan agama.
Bercermin dari Islam, secara historis tradisi intelektual dalam Islam dimulai dengan pemahaman terhadap al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, secara berturut-turut dari periode Makkah sampai periode Madinah. Mengapa demikian, karena di dalam al-Quran sendiri sudah terdapat konsep ilmu yang bersifat umum. Inilah yang menjadi cikal bakal pengembangan ilmu pengetahuan dalam tradisi intelektual Islam selanjutnya.
Satu hal yang perlu diperhatikan juga adalah medium transformasi ilmu itu sendiri. Tercatat juga dalam sejarah, bahwa tradisi intelektual yang ada dalam Islam itu ternyata dikembangkan melalui institusi pendidikan yang disebut dengan As-Suffah. Di lembaga pendidikan Islam pertama inilah pesan-pesan yang disampaikan dalam wahyu dan hadits-hadits dikaji dan dipelajari secara efektif. Terbukti, lagi-lagi kita menemukan adanya komunitas yang mengembangkannya.
Mungkin kita bisa bayangkan, dari komunitas yang kecil itu saja dampaknya sangat dahsyat bisa membangun peradaban Islam seperti sekarang ini. Lalu bagaimana kalau pekerjaan yang dilakukan komunitas seperti itu, dijalankan oleh komunitas yang lebih besar lagi, yaitu komunitas pemuda Indonesia. Maka tidak menutup kemungkinan jika Indonesia ini nantinya berkembang tidak hanya sebagai bangsa atau negara saja, melainkan sebagai peradaban.
Sudah saatnya generasi muda sekarang membentuk gerakan-gerakan intelektual yang menjunjung tinggi moral. Gerakan intelektual lebih kongkrit daripada gerakan-gerakan yang hanya sekedar berdemonstrasi saja. Mengubah bangsa ini tidak bisa hanya dengan turun ke jalan. Gerakan pemuda sekarang harus bisa memasuki dunia informasi dan birokrasi. Jadi, kemampuan intelektual yang ada pada pemuda harus digunakan sebaik-baiknya, dan dikemas dalam bungkusan moralitas yang bermartabat demi kemajuan bangsa. Wallahu’alam.[]