Di mana ada peradaban maju, di situ ada ilmu pengetahuan yang berkembang pesat. Omongan ini tentu bukan isapan jempol belaka. Pasalnya, peradaban manusia tidak akan maju tanpa adanya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Peradaban yang maju adalah peradaban yang dibangun di atas pondasi ilmu pengetahuan. Begitu juga dengan negara-negara yang maju saat ini, pasti ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
Tapi, ngomongin tentang ilmu pengetahuan, rasanya sulit dilepaskan dari filsafat. Kenapa? Karena filsafat merupakan pembahasan yang sangat mendasar di dalam ilmu pengetahuan. Maka tak heran jika kemudian banyak yang mengatakan bahwa filsafat merupakan ibunya bagi ilmu pengetahuan.
Dan ngomongin tentang filsafat, tentu akan lebih seru jika kita mengetahui tokoh-tokoh yang bergelut di bidang filsafat itu sendiri. Mereka biasanya disebut sebagai filsuf.
Nah, salah satu filsuf besar dan penting yang dimiliki umat Islam adalah al-Farabi. Ia bahkan tidak hanya dikenal di dunia Islam saja, melainkan juga dikenal di dunia Barat dan menjadi salah satu tokoh yang berjasa atas kemajuan peradaban Barat saat ini.
Nama lengkap al-Farabi adalah Abū Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Fārābi. Ia hidup di antara tahun 870 sampai dengan 950 Masehi. Ia merupakan ilmuwan dan filsuf Islam yang berasal dari Farab, Kazakhstan.
Di dunia Barat, Abū Nasir al-Fārābi ini juga dikenal dengan sebutan Alpharabius, Al-Farabi, Farabi, dan Abunasir.
Ayahnya seorang opsir tentara Turki keturunan Persia, sedangkan ibunya berdarah Turki asli. Sejak dini ia digambarkan memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari. Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama seperti fikih, tafsir dan ilmu hadits, serta belajar aritmatika dasar.
Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara, dan tinggal di Kazakhstan sampai umur 50. Ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu di sana selama 20 tahun.
Setelah kurang lebih 10 tahun tinggal di Baghdad, yaitu kira-kira pada tahun 920 Masehi, al Farabi kemudian mengembara di kota Harran yang terletak di utara Syria, dimana saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Ia kemudian belajar filsafat dari Filsuf Kristen terkenal yang bernama Yuhana bin Jilad.
Al-Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang ulung di dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para filsuf Yunani; Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik. Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa. Selain itu, ia juga dapat memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik.
Al-Farabi dikenal dengan sebutan “guru kedua” setelah Aristoteles, karena kemampuannya dalam memahami Aristoteles yang dikenal sebagai guru pertama dalam ilmu filsafat.
Dia adalah filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu.
Al-Farabi hidup pada daerah otonomi di bawah pemerintahan Sayf al Dawla dan di zaman pemerintahan dinasti Abbasiyyah, yang berbentuk Monarki yang dipimpin oleh seorang Khalifah.
Selama hidupnya al Farabi banyak berkarya. Jika ditinjau dari Ilmu Pengetahuan, karya-karya al- Farabi dapat ditinjau menjdi 6 bagian, yaitu: Logika, Ilmu-ilmu Matematika, Ilmu Alam, Teologi, Ilmu Politik dan kenegaraan, serta buku-buku Bunga rampai.
Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah atau yang artinya Kota atau Negara Utama. Di dalam buku itu ia membahas tetang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan hubungan antara rejim yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah islam.
Salah satu pemikirannya dalam kenegaraan adalah, bahwa manusia merupakan warga negara yang menjadi salah satu syarat terbentuknya sebuah negara. Oleh karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan orang lain, maka manusia menjalin hubungan-hubungan. Kemudian, dalam proses yang panjang, pada akhirnya terbentuklah suatu Negara.
Menurut Al-Farabi, negara atau kota merupakan suatu kesatuan masyarakat yang paling mandiri dan paling mampu memenuhi kebutuhan hidup antara lain: sandang, pangan, papan, dan keamanan, serta mampu mengatur ketertiban masyarakat, sehingga pencapaian kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah. Negara yang warganya sudah mandiri dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan yang nyata , menurut al-Farabi, adalah Negara Utama atau Al-Madinah Al-Fadhilah.
Negara Utama dianalogikan seperti tubuh manusia yang sehat dan utama, karena secara alami, pengaturan organ-organ dalam tubuh manusia bersifat hierarkis dan sempurna.
Al-Farabi membagi negara ke dalam lima bentuk, yaitu:
Pertama, Negara Utama atau Al-Madinah Al-Fadilah: Negara Utama adalah negara yang dipimpin oleh para nabi dan dilanjutkan oleh para filsuf; di mana penduduknya merasakan kebahagiaan.
Kedua, Negara Orang-orang Bodoh atau Al-Madinah Al-Jahilah, yaitu negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.
Ketiga, Negara Orang-orang Fasik, yaitu negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negara orang-orang bodoh.
Keempat, Negara yang Berubah-ubah atau Al-Madinah Al-Mutabaddilah. Pada awalnya penduduk negara ini memiliki pemikiran dan pendapat seperti penduduk negara utama, namun kemudian mengalami kerusakan.
Dan yang terakhir adalah Negara Sesat. Negara Sesat ini adalah negara yang dipimpin oleh orang yang menganggap dirinya mendapat wahyu dan kemudian ia menipu orang banyak dengan ucapan dan perbuatannya.
Sedangkan soal kepemimpinan, al-Farabi berpendapat bahwa pemimpin adalah seorang yang disebutnya sebagai filsuf yang berkarakter Nabi yakni orang yang mempunyai kemampuan fisik dan jiwa, yang juga memiliki rasionalitas dan spiritualitas.
Tahun 940M, al Farabi melajutkan pengembaraannya ke Damaskus dan bertemu dengan Sayf al Dawla al Hamdanid, Kepala daerah Aleppo, yang dikenal sebagai simpatisan para Imam Syi’ah.
Kemudian al-Farabi wafat di kota Damaskus pada usia 80 tahun di masa pemerintahan Khalifah Al Muthi’, masih dinasti Abbasiyyah.
Begitulah al-Farabi, yang menjadi kebanggaan dalam dunia pengetahuan umat Islam. Semoga al-Farabi-al-Farabi selanjutnya dapat bermunculan dan memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan umat Islam, khususnya di bidang ilmu pengetahuan. Amin.[]