Kondisi umat Islam saat ini relatif belum mampu berdaulat dalam penguasaan ekonomi dan memiliki ketergantungan ekonomi yang cukup tinggi terhadap pihak lain. Salah satu penyebab kelemahan tersebut antara lain pemahaman yang belum optimal terhadap nilai-nilai dan ajaran agama, sehingga nilai-nilai tersebut diabaikandan tidak dapat diimplementasikan secara komprehensif dalam seluruh lini kehidupan. Sudah semestinya umat Islam bangkit dari keterpurukan ekonomi khususnya dalam mengatasi problem kemiskinan dan keterbelakangan akibat termarjinalkan dalam dunia ekonomi dan bisnis dengan mengembangkan jiwa entrepreneurship yang kokoh dan tangguh. Apalagi di tengah samudera modernitas saat ini, segala aspek bisa terhubung dengan demikian mudah dan cepat. Beragam kreativitas maupun inovasi bisa segera dibangun bersumber dari akses terhadap gerbang informasi yang terbuka lebar. Karena menjadi wirausahawan sesungguhnya hanya membutuhkan keberanian secara pribadi untuk kemudian menciptakan karya bernilai ekonomi tinggi melalui proses kreativitas dan inovasi.
Dalam membangun jiwa kewirausahaan umat yang berorientasi pada keuntungan jangka pendek (dunia) dan jangka panjang (akhirat) maka nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran Islam hendaknya perlu untuk direvitalisasi. Nilai ibadah yang luas, dimana bukan hanya terkait dengan aspek ritual saja dapat menjadi motivasi utama untuk membangkitkan semangat berbisnis. Motivasi ibadah untuk meraih ridho Allah ini dapat dijadikan dorongan untuk membangkitkan jiwa-jiwa bisnis dan kewirausahaan, sebab menumbuhkan jiwa kewirausahaan merupakan awal dalam membentuk dan menciptakan pribadi yang ulet, tanggung jawab dan berkualitas hingga akhirnya dapat bermuara pada terwujudnya kompetensi kerja.
Adapun selain itu, gencarnya modernisasi di segala aspek membuka peluang persaingan bisnis yang semakin tidak terkendali, yang seringkali terjadi persaingan bisnis ataupun usaha yang tidaklah sehat. Dalam konteks membangun jiwa bisnis, saat ini nilai-nilai kejujuran dan amanah seringkali diabaikan oleh pelaku bisnis, padahal hal tersebut merupakan dasar yang cukup penting untuk ditanamkan. Oleh karena itu, integrasi antara ketaatan dalam ibadah dengan semangat membangun bisnis sangatlah dibutuhkan. Sikap jujur akan mengundang banyak simpati, relasi, dan membuat orang lain dengan kerelaannya menaruh dan memberikan kepercayaan seperti yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
IBADAH
Secara harfiah ibadah berarti bakti kepada Allah SWT, sebab didorong dan dibangkitkan oleh aqidah atau tauhid. Dalam terminologi Islam, ibadah adalah kepatuhan kepada Allah yang didorong oleh rasa kekaguman dan ketakutan. Ibadah juga yang membuat “aqidah Islamiyyah” menjadi hidup dalam jiwa yang melakukannya, dan yang menyalurkan aqidah Islamiyyah dari tingkat penalaran menuju tingkat penghayatan, sehingga nurani manusia dapat mengidentifikasi segala suatu yang potensial pada dirinya. Dalam konteks pengembangan bisnis, kesadaran manusia atas potensi yang terdapat dalam dirinya merupakan modal utama terciptanya kreativitas dan inovasi, yang pada akhirnya bisa bermuara pada terbentuknya karya ataupun entitas bisnis.
Al-Qur’an telah mempopulerkan berbagai bentuk ibadah selain ibadah wajib. Shalat, dzikir dsb.. Berkaitan dengan ibadah adalah amal saleh yang memberi manfaat secara individual. Namun ada amal saleh yang bermanfaat bagi pelaku sekaligus bermanfaat bagi orang lain, hal tersebut adalah amal kemasyarakatan, seperti halnya membuka lapangan pekerjaan baru, membebaskan orang dari kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan dan menolong orang yang sedang berada dalam kesulitan. Menurut Islam, amal sosial ini bernilai lebih tinggi daripada amal individual. Karya yang berkembang di tengah masyarakat akan diberi ganjaran lebih besar daripada aktivitas yang menguntungkan diri sendiri.
Ibadah Sosial
Dari sumber-sumber Islam baik Al Qur-an maupun hadits nabi SAW diketahui bahwa dimensi pengabdian atau ibadah sosial dan kemanusiaan dalam Islam sesungguhnya jauh lebih luas dan lebih utama dibandingkan dengan dimensi ibadah personal. Dalam literasi fiqh klasik kita dapat melihat bahwa bidang Ibadat (ibadah personal) merupakan satu bagian dari banyak bidang keagamaan lain. Dalam buku-buku hadits kita juga melihat bahwa bab ibadah personal jauh lebih sedikit dibanding bab-bab yang lain. Fath Al Bari Syarh Shahih Al Bukhari, sebuah kitab hadits paling populer, misalnya hanya mengupas persoalan ibadah dalam empat jilid dari dua puluh jilid yang menghimpun bab lainnya. Ini jelas menunjukkan bahwa perhatian Islam terhadap persoalan-persoalan publik jauh lebih besar dan lebih luas daripada perhatian terhadap persoalan-persoalan personal.
Relevansi memperdalam konsep ibadah di tengah modernitas
Pemahaman doktrin ibadah secara dangkal akan menjerumuskan umat Islam. Hal ini bisa dilihat bahwa sampai saat ini masih banyak yang menafsirkan ibadah dengan cara yang sangat sempit atau hanya yang menyangkut aspek ritual saja, seperti shalat, puasa, haji dsb., akibatnya ibadah seringkali kemudian berseberangan dengan aktivitas seseorang ketika sedang bekerja dalam berbagai sektor. Padahal sebenarnya doktrin ibadah lebih luas dari sekedar itu. Dalam firman Allah QS. Adz-Dzariyat: 56 berikut ini:
Artinya: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Dapat ditafsirkan bahwa setiap aktivitas manusia sesungguhnya adalah ibadah dan keseluruhan muara dari semua aktivitas tersebut adalah kesejahteraan manusia di dunia maupun kemenangan di akhirat. Kesejahteraan itu sendiri erat kaitannya dengan keuntungan yang didapatkan oleh manusia. Konsep beruntung dalam Islam memiliki tiga dimensi: yakni jangka pendek (dunia), jangka menengah (alam kubur); dan jangka panjang (akhirat). Maka, seperti halnya bisnis seharusnya tidak boleh berhenti untuk kepentingan jangka pendek, atau bisnis itu sendiri, bukan pula sekedar mencari keuntungan pragmatis tetapi sekaligus sebagai ibadah.
Berbisnis menjadi bagian pentig dari ibadah, sehingga jalan yang ditempuh seyogyanya juga sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri. Islam memandang penting semua itu agar manusia bisa dengan lebih mudah menjalankan bentuk ibadah-ibadah lainnya seperti memberi nafkah terhadap keluarga, menyantuni anak yatim, membayar zakat dsb. Oleh karena itu, bercita-cita menjadi kaya dan bekerja keras sebagai aktualisasinya termasuk ke dalam ranah ibadah. Adapun demikian, fakta yang menunjukkan bahwa belum banyak umat Islam yang mampu berdaulat secara ekonomi seringkali diidentifikasi sebagai akibat dari belum kaffahnya aktvitas bisnis mereka mengadopsi prinsip-prinsip Ibadah dalam aktivitas bisnis mereka.
Urgensi bisnis di tengah modernitas
Kemiskinan merupakan permasalahan ekonomi serius yang dihadapi masyarakat saat ini. Problem tersebut bersifat massiv, yakni tidak hanya dialami oleh umat Islam saja. Oleh karena itu gerakan untuk mengubah keadaan dalam bentuk perbaikan dan pemerataan ekonomi perlu dilakukan. Perbaikan tersebut harus dilaksanakan dengan berpegang pada prinsip keadilan. Sesungguhnya hal ini tidak akan terjadi jika ada kesadaran untuk mengusahakannya, karena usaha mengubah nasib dan merupakan tanggung jawab setiap orang untuk meningkatkan kesejahteraan diri, keluarga dan bangsanya. Sebagaimana dilukiskan dalam firman Allah QS Ar-Rad 11:
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللهِ إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
Artinya: “bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
Salah satu modal awal dalam menumbuhkanekonomi yang kuat adalah menebarkan semangat dan mental entrepreneur. Dalam masyarakat pada umumnya terkondisi secara kultur untuk menjadi seorang pegawai. Wacana kehidupan dalam format pegawai, orang upahan, dan suruhan telah berkembang sejak lama. Dalam hal ini bukan berarti menjadi pegawai itu kurang baik daripada menjadi wirausahawan. Dunia usahapun tidak akan bergerak jika tidak ada pegawai-pegawai. Akan tetapi yang harus ditumbuhkan adalah mental dan jiwa wirausaha agar tercipta kemandirian sebuah bangsa.
Peran pengusaha Islam dalam upaya pemerataan ekonomi tentu sangatlah diharapkan, bahkan mustinya mampu menjadi aktor pembangunan ekonomi mengingat penduduk Indonesia yang didominasi oleh umat Islam. Ditambah dengan rujukan QS (13:11) bahwa kegiatan tersebut merupakan suatu bentuk ibadah bagi seorang muslim. Peningkatan sektor bisnis demi memberantas kemiskinan adalah kegiatan bernilai ibadah sosial, dan kewajiban yang menyangkut nilai dan bobot keagamaan seseorang.
Islam dan Kewirausahaan
Dalam pandangan Islam, bekerja dan berusaha, termasuk berwirausaha dapat dikatakan merupakanbagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia karena keberadaannya sebagai khalîfahfî al-’ardh dimaksudkan untuk memakmurkan bumi dan membawanya ke arah yang lebih baik. Posisi bekerja dalam Islam sebagai kewajiban kedua setelah shalat. Oleh karena itu apabila dilakukan dengan ikhlas maka bekerja itu bernilai ibadah dan mendapat pahala. Bekerja tidak saja menghidupi diri sendiri, tetapi juga menghidupi orang-orang yang ada dalam tanggungan dan bahkan bila sudah berkecukupan dapat memberikan sebagian dari hasil kerja untuk menolong orang lain yang memerlukan.
Berusaha dalam bidang bisnis dan perdagangan adalah usaha kerja keras. Dalam kerja keras itu, tersembunyi kepuasan batin yang tidak dinikmati oleh profesi lain. Dunia bisnis mengutamakan prestasi lebih dulu, baru kemudian prestise, bukan sebaliknya. Prestasi dimulai dengan kerja keras dalam semua bidang. Bekerja keras merupakan hal yang penting dari kewirausahaan. Prinsip kerja keras dalam kewirausahaan merupakan langkah nyata yang harus dilakukan agar dapat menghasilkan kesuksesan, tetapi harus melalui proses yang penuh dengan tantangan atau risiko.
Teladan dari Rasulullah SAW yang juga merupakan seorang wirausaha dapat dijadikan aset yang sangat berharga dalam konsep kewirausahaan yang berbasis syariah. Nilai-nilai kejujuran (shiddîq), ‘amânah (dapat dipercaya), fathânah (kecerdasan), tablîg (komunikatif) merupakan pilar utama yang harus dimiliki oleh seorang wirausaha. Sebagai pelaku bisnis dan juga rasul, Nabi Muhammad SAW tak henti-hentinya menghimbau umatnya untuk berwirausaha guna mencari rezeki Allah yang halal. Islam mengajarkan bahwa rezeki tidak ditunggu tapi dicari bahkan dijemput. Allah menurunkan rezeki sesuai dengan usaha yang dilakukan manusia sesuai prinsip bisnis universal, yaitu amanah dan terpercaya, di samping mengetahui dan memiliki keterampilan bisnis yang baik dan benar. Oleh karena itu seberapa besar manusia mencurahkan pikiran dan tenaga, sebesar itu pula curahan rezeki yang dikaruniakan Allah SWT.
Berbisnis dengan motivasi ibadah
Syariat Islam memandang penting kekayaan untuk dapat mendukung pelaksanaan ketentuan-ketentuan Allah SWT. Setidaknya terdapat dua rukun Islam yang mensyaratkan kemampuan ekonomi yang cukup, yakni kewajiban melaksanakan zakat dan ibadah haji. Lebih lanjut Rasululah SAW menyatakan dengan sabdanya “kaada a-faqru an yakuuna kufran” yakni kemiskinan bisa membawa orang kepada kekufuran. Berarti bahwa kemiskinan bisa menjadi ancaman terhadap iman, bahkan dalam banyak kasus seorang muslim berpindah keyakinan karena alasan kebutuhan ekonomi. Oleh sebab itu, sudah seharusnya dari sekarang kita tanamkan dalam diri kita sebagai seorang muslim untuk bangkit memerangi kemiskinan yang masih menimpa banyak saudara kita, umat Islam.
Umat Islam dan pelaku bisnis seharusnya bersyukur atas sebab Rasulullah membekali umat Islam untuk menghadapi perbedaan. Beliau menegaskan bahwa perbedaan itu adalah rahmat, apabila pandai dan arif menangani perbedaan itu. Islam juga mengajarkan agar perbedaan dan kemajemukan dikembangkan sebagai pendorong untuk melaksanakan perbuatan baik bagi sesama, serta berulang kali mengajarkan untuk ber-fastabiqul khairah, berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan, termasuk berkompetisi dalam bisnis secara sehat untuk mencapai kesejahteraan dunia maupun kebahagiaan akhirat.
Motivasi yang diajarkan oleh Islam adalah semangat untuk beribadah dengan sungguh-sungguh dan bekerja keras untuk mencari ridha Allah SWT. Melalui kerja keras inilah umat Islam akan mampu menempuh kehidupan dengan bekal kekuatan yang mantab. Sedangkan berdiam diri akan menjerumuskan kepada titik lemah dan ketidak berdayaan. Islam senantiasa mengajak penganutnya untuk senantiasa bergairah, optimis dalam menjalani hidup, bukan menjadi makhluk yang lemah dan miskin. Sebab Islam juga merupakan agama yang berorientasi pada masa depan, yakni kejayaan di dunia dan di akhirat. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al-Kahfi 7-8 berikut ini:
Allah berfirman dalam surah Al-Kahfi ayat 7-8,
إِنَّا جَعَلۡنَا مَا عَلَى ٱلۡأَرۡضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبۡلُوَهُمۡ أَيُّهُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلًا – وَإِنَّا لَجَٰعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya (7) dan Sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus (8).”
Ayat tersebut menunjukkan kepada manusia bahwa bumi ini hanya sebagai tempat bagi manusia-manusia terbaiknya untuk mencari dan mengembangkan fasilitas ibadah dan amaliah, manusia dipersilakan untuk mengeksplorasi bumi dan isinya guna kepentingan ibadah, seperti kejayaan diri, keluarga, negara dan umat manusia pada umumnya. Setiap orang yang tidak mau memanfaatkan waktu dan kesempatan akan merugi.
Islam melarang orang yang menuruti angan-angannya yang kosong, bercita-cita tanpa disertai dengan usaha. Adapun demikian, Islam juga melarang orang yang bekerja keras untuk merealisasikan cita-cita namun melupakan adanya Allah SWT. Islam mengajak setiap manusia untuk ikhlas menyerahkan diri kepada Allah dan bekerja dengan baik. Keselarasan dalam menjalankan tanggung jawab demi kejayaan di dunia, ketenangan di alam kubur dan kenikmatan di akhirat itulah yang menjadi cita-cita dalam tuntunan Islam.
Motivasi ibadah untuk meraih ridha Allah ini dapat dijadikan dorongan untuk membangkitkan jiwa kewirausahaan karena menumbuhkan jiwa kewirausahaan merupakan “pintu gerbang” dalam membentuk dan menumbuhkan pribadi ulet, tanggung jawab, dan berkualitas yang bermuara pada terwujudnya kompetensi kerja. Oleh karena itu, kalau memperhatikan dinamika kehidupan sekarang yang kian kompetitif, maka dituntut untuk cerdas dalam menciptakan ruang yang kondusif bagi tumbuhnya spirit enterpreneurship.
Kesimpulan
Motivasi ibadah untuk meraih ridho Allah dengan jalan bisnis dapat dijadikan dorongan untuk membangkitkan jiwa-jiwa bisnis dan kewirausahaan, sebab menumbuhkan jiwa kewirausahaan merupakan awal dalam membentuk dan menciptakan pribadi yang ulet, tanggung jawab dan berkualitas hingga akhirnya dapat bermuara pada terwujudnya kompetensi kerja.
Dalam konteks kewirausahaan, agama akan mempengaruhi sikap dan perilaku wirausaha melalui penciptaan nilai, menjalankan kegiatan bisnis dengan lebih menekankan pada moral dan etika bisnis. Beberapa studi sebelumnya menyatakan bahwa, ketika religiusitas individu mampu berperan sebagai faktor-faktor yang membedakan dengan individu yang lain, maka itu akan menimbulkan konsekuensi dari perbedaan dalam pencapaian kinerja.
Bahwa ketika bisnis dimulai dan ditujukan berdasarkan semangat beribadah maka hasil yang didapatkan bukan hanya berwujud keuntungan materiil semata, melainkan juga keuntungan yang bisa dinikmati pada tingkatan kehidupan yang abadi, yakni di akhirat kelak.
sumber : islamic-economics.uii.ac.id , penulis : Anom Garbo, SEI., ME