Sahabat Radio UNISIA yang dirahmati Allah! Siapa yang tidak pernah mendengar nama Imam al-Ghazali? Tentu sebagian besar dari kita pernah mendengar nama itu bukan. Beliau terkenal dengan gelar Hujjatul Islam.
Tapi tahukah Anda, siapa salah satu guru yang sangat penting bagi Imam al-Ghazali?
Ya, salah satu dari guru Imam al-Ghazali yang terkenal adalah Imam al-Juwaini. Beliau biasanya dipanggil dengan sebutan Imam Haramain, yakni Imam bagi Dua Kota Suci, yaitu Makkah dan Madinah. Gelar ini disematkan kepada beliau karena beliau pernah menetap dan mengajar di dua kota suci Makkah dan Madinah selama empat tahun. Di dua kota itu, beliau mendebat lawan-lawan serta memperkukuh sendi-sendi agama di sana.
Nama lengkapnya adalah Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Hayyawaih As-Sinbisi Al-Juwaini. Ia lahir di Basitiskan, salah satu wilayah Khurasan, pada 18 Muharram 419 Hijriyah atau bertepatan pada 1 Maret 1028 Masehi. Beliau wafat pada malam Rabu, 25 Rabi’ul Akhir 478 Hijriyah, atau pada 1 September 1085 Masehi.
Sebutan “Al-Juwaini” diambil dari nama kota Jumain atau Juwain, yang terletak antara Bastam dan Naisabur. Ini merupakan kebiasaan para sejarawan menulis nama tokoh-tokoh tertentu dengan tempat kelahirannya, tempat menetap, atau tempat wafatnya.
Selain itu, ia juga mendapat gelar “Al-Ma’ali”, karena ilmunya mengenai masalah-masalah ketuhanan dipandang sangat mendalam dan kesungguhannya demi kejayaan agamanya. Kepandaiannya berargumentasi mengungguli mitra dialognya dalam usaha menegakkan kebenaran dan membasmi kebathilan.
Ia juga disebut “Dhiya`uddin”, karena ia mempunyai kelebihan dalam menerangi hati dan pikiran para pembela aqidah Islamiyah, dan karena itu juga tokoh-tokoh Ahlussunnah dapat menangkis serangan dari para pengikut golongan sesat.
Pendidikan awalnya diperoleh dari ayahnya, Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf Al-Juwaini yang wafat pada tahun 438 Hijriyah atau tahun 1046 Masehi. Ayahnya merupakan salah seorang mufassir di masa itu. Ilmu yang dipelajari dari ayahnya antara lain tafsir, fiqih, dan ushul fiqh. Di samping itu ia juga belajar kepada Qadhi Al-Husain, seorang ahli fiqih dan hakim di daerah kelahirannya.
Beranjak remaja ia belajar kepada Abu Al-Qasim Al-Iskaf Al-Asfaraini dalam bidang fiqih, Abu Abdillah Al-Bukhari dan Abu Al-Hasan Ali bin Fadhdhal Al-Majasyi dalam bidang bahasa Arab.
Ia juga belajar hadits kepada Abu Sa’ad bin Ali, Abu Hasan Muhammad bin Ahmad Al-Muzakki, Abu Sa’ad An-Nadrawi, Manshur bin Ramisyi, Abu Bakar Ahmad bin Muhammad At-Tamimi, dan Abu Sa’ad Abdurrahman bin Hamdan An-Naisaburi.
Ia juga sering berkunjung ke Baghdad dan Ishfahan untuk mendalami fiqih dan ushul fiqh. Ia juga menetap di Hijaz selama empat tahun sebagai mufti dan imam di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Imam al-Juwaini adalah salah seorang tokoh besar Ahlussunnah wal Jama’ah dan pengikut aliran Asy’ariyah. Dan dalam mazhab fikih, beliau menganut mazhab Syafi’i.
Namun meski begitu, beliau tidak canggung untuk tidak sependapat dengan tokoh-tokoh mazhab atau aliran yang dianutnya itu.
Di dalam mazhab Syafi’i misalnya, Imam Juwaini memiliki beberapa pendapatnya yang tidak sejalan dengan Imam Asy-Syafi’i. Menurut Abdul Azhim Ad-Dibb, seorang pakar ushul fiqh yang mengomentari karya Al-Juwaini yang berjudul Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, paling tidak ada 25 pandangan Al-Juwaini yang berbeda dengan Imam Syafi’i.
Begitu juga dalam aliran Ilmu Kalam, Imam al-Juwaini juga memiliki beberapa pendapat yang berbeda dari Imam Al-Asy’ari. Perbedaan pendapat tersebut dapat dilihat dalam topic-topik seperti af’alul ‘ibad atau perbuatan manusia, maupun dalam topic tajsim atau antropomorfisme, yakni pandangan bahwa Tuhan memiliki bentuk.
Di dalam salah satu kitab karya beliau, yaitu Kitab Ghiyats al-Umam, beliau membahas secara khusus persoalan politik dan pemerintahan. Dalam karyanya ini, Imam Al-Juwaini memaparkan berbagai pandangan politiknya. Ia mengemukakan, seorang kepala negara atau imam adalah seorang pemimpin tertinggi yang berkewajiban memelihara dan mengayomi umat, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.
Nah, mengenai syarat seorang kepala negara atau imam tadi, ia pun bertolak belakang dari pandangan mayoritas ulama Asy’ariyah dan Syafi’iyah, yang berpendapat bahwa kepala negara atau imam harus dari keturunan Quraisy, sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim. Imam al-Juwaini berpendirian bahwa hadits yang dijadikan dalil itu tidak bernilai mutawatir.
Di samping itu, menurutnya, dalam perjalanan sejarah telah terbukti bahwa Allah SWT telah memberikan kelebihan-kelebihan kepada orang-orang tertentu yang bukan keturunan Quraisy.
Dalam hal ini, pandangan Imam al-Juwaini seperti itu cukup radikal di zamannya. Karena tidak sejalan dengan pendapat mayoritas ulama Asy’ariyah.
Mah, tapi meski demikian, nyatanya, karya ushul fiqh-nya yang berjudul Al-Burhan tetap menjadi salah satu dari tiga kitab rujukan utama ushul fiqh dalam Madzhab Syafi’i. Artinya kapasitas keilmuan beliau memang sangat diakui.
Berbeda pendapat itu wajar, yang penting tetap saling hormat. Begitulah kira-kira Sahabat Radio UNISIA sekalian yang berbahagia dan dirahmati Allah.
Nah, semoga sekilas biografi Imam al-Juwaini ini dapat memberikan pelajaran yang berharga bagi kita semua. Amin, amin ya Rabbal alamin.