Sahabat Radio UNISIA, pada tau kitab kuning kaann…?! Itu loh, kitab berbahasa Arab yang tak ada harakatnya. Mungkin dinamakan kitab kuning karena warnanya kertasnya yang dominan berwarna kuning. Di Indonesia, biasanya kitab ini dipelajari di pondok-pondok pesantren salaf atau tradisional.
Nah Sahabat Radio UNISIA, tau gak siapa Bapak Kitab Kuning Indonesia? Yups, jawabannya adalah Syaikh Nawawi al Bantany. Beliau adalah gurunya para ulama-ulama penting di Indonesia. Sebut saja murid-murid beliau yang kini menjadi ulama besar misalnya K.H. Hasyim Asyari, Pendiri Nahdhatul Ulama; K.H. Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah; K.H. Khalil Bangkalan; K.H. Asnawi Kudus; K.H. Tb. Bakrie Purwakarta; K.H. Arsyad Thawil, dan lain-lainnya.
Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani, begitulah orang menyebut namanya. Atau biasanya cuman disingkat Syaikh Nawawi al Bantany atau al Jawi saja. Beliau bergelar al-Bantani karena ia berasal dari Banten, Indonesia.
Syaikh Nawawi al Bantani lahir di Tanara, Serang, pada tahun 1813 dengan nama Abû Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi. Beliau bernasab kepada keturunan Maulana Hasanuddin Putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Keturunan ke-12 dari Sultan Banten. Nasab beliau melalui jalur ini sampai kepada Baginda Nabi Muhammad saw. Melalui keturunan Maulana Hasanuddin yakni Pangeran Suniararas, nasab Ahlul Bait sampai ke Syaikh Nawawi. Ayah beliau seorang Ulama Banten, ‘Umar bin ‘Arabi, ibunya bernama Zubaedah.
Semenjak kecil beliau memang terkenal cerdas. Otaknya dengan mudah menyerap pelajaran yang telah diberikan ayahnya sejak umur 5 tahun. Pertanyaan-pertanyaan kritisnya sering membuat ayahnya bingung. Melihat potensi yang begitu besar pada putranya, pada usia 8 tahun sang ayah mengirimkannya keberbagai pesantren di Jawa. Beliau mula-mula mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, kemubeliaun berguru kapada Kyai Sahal, Banten; setelah itu mengaji kepada Kyai Yusuf, Purwakarta.
Di usia beliau yang belum lagi mencapai 15 tahun, Syaikh Nawawi telah mengajar banyak orang. Pada usia 15 tahun beliau menunaikan haji dan berguru kepada sejumlah ulama terkenal di Mekah seperti Syaikh Khâtib al-Sambasi, Abdul Ghani Bima, dan lainnya. Tapi guru yang paling berpengaruh adalah Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Junaid Al-Betawi dan Syaikh Ahmad Dimyati, ulama terkemuka di Mekah. Lewat ketiga Syaikh inilah karakternya terbentuk. Selain itu juga ada dua ulama lain yang berperan besar mengubah alam pikirannya, yaitu Syaikh Muhammad Khatib dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, ulama besar di Madinah.
Tiga tahun bermukim di Mekah, beliau pulang ke Banten. Sampai di tanah air, Syaikh Nawawi al Bantany menyaksikan praktik-praktik ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan penindasan dari Pemerintah Hindia Belanda. Ia melihat itu semua lantaran kebodohan yang masih menyelimuti umat. Tak ayal, gelora jihad pun berkobar. Beliau keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap penjajah. Tentu saja Pemerintah Belanda membatasi gara-geriknya. Beliau dilarang berkhutbah di masjid-masjid. Bahkan belakangan beliau dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang ketika itu memang sedang mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Sebagai intelektual yang memiliki komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, apa boleh buat Syaikh Nawawi al Bantany terpaksa menyingkir ke Negeri Mekah, tepat ketika perlawanan Pangeran Diponegoro padam pada tahun 1830 M. Ulama Besar ini di masa mudanya juga menularkan semangat Nasionalisme dan Patriotisme di kalangan Rakyat Indonesia.
Begitu sampai di Mekah beliau segera kembali memperdalam ilmu agama kepada guru-gurunya. Syaikh Nawawi tekun belajar selama 30 tahun, sejak tahun 1830 hingga 1860 Masehi. Ketika itu beliau memang berketepatan hati untuk mukim di tanah suci, satu dan lain hal untuk menghindari tekanan kaum penjajah Belanda.
Nama Syaikh Nawawi al Bantany mulai masyhur ketika menetap di Syi’ib ‘Ali, Mekah. Beliau mengajar di halaman rumahnya. Mula-mula muridnya cuma puluhan, tapi makin lama makin jumlahnya kian banyak. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia. Maka jadilah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi sebagai ulama yang dikenal piawai dalam ilmu agama, terutama tentang tauhid, fiqih, tafsir, dan tasawwuf.
Nama Syaikh Nawawi al Bantany semakin melejit ketika beliau ditunjuk sebagai pengganti Imam Masjidil Haram, Syaikh Khâtib al-Minangkabawi. Sejak itulah beliau dikenal dengan nama resmi Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi.
Tidak hanya di kota Mekah dan Madinah saja beliau dikenal, bahkan di negeri Mesir namanya masyhur di sana. Itulah sebabnya ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Mesir lah negara yang pertama-tama mendukung atas kemerdekaan Indonesia.
Syaikh Nawawi al Bantany adalah seorang ulama dan intelektual yang sangat produktif menulis kitab, yang meliputi bidang-bidang fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis. Jumlah karyanya mencapai tidak kurang dari 115 kitab.
Masa selama 69 tahun mengabdikan dirinya sebagai guru Umat Islam telah memberikan pandangan-pandangan cemerlang atas berbagai masalah umat Islam. Syaikh Nawawi al Bantany wafat di Mekah pada tanggal 25 syawal 1314 Hijriyah atau tahun 1897 Masehi. Tapi ada pula yang mencatat tahun wafatnya pada tahun 1316 Hijriyah atau 1899 Masehi. Makamnya terletak di pekuburan Ma’la di Mekah. Makam beliau bersebelahan dengan makam anak perempuan dari Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, Asma΄ binti Abû Bakar al-Siddîq.
Nah Sahabat Radio UNISIA, luar biasa ya sosok Syaikh Nawawi al Bantany. Beliau juga dikenal sebagai ulama yang memiliki karamah. Semoga ya, sosok seperti Syaikh Nanawi al Bantany ini bisa lahir kembali dari bumi nusantara. Karena kita membutuhkan ulama yang benar-benar ulama seperti beliau. Amin.!