Al-Manawi menuturkan sebuah riwayat dalam kitab ad-Durrul Mandhud, pada era Khilafah Abu Bakar ash-Shiddiq, orang-orang ditimpa paceklik. Ketika kondisi sudah amat kritis, mereka pun mendatangi Abu Bakar, seraya berkata, “Wahai Khalifah Rasulullah SAW, langit tak menurunkan hujan, bumi tak menumbuhkan pepohonan, dan orang-orang pun nyaris binasa. Lalu, apa yang engkau lakukan?”
Sang Khalifah menjawab, “Kembalilah kalian, dan bersabarlah. Saya berharap pada Allah, semoga Ia memberi solusi dan jalan keluar kepada kalian sebelum senja.” Maka tatkala masing-masing mereka keluar dan saling bertemu, tiba-tiba seribu kawanan unta yang mengangkut gandum, zaitun, dan tepung, berderet dan berhenti di depan pintu rumah Utsman RA.
Para pedagang pun berdatangan, dan Utsman bertanya, “Apa yang kalian lihat?”
“Tentu engkau tahu apa yang kami inginkan,” jawab mereka.
“Mau memberi untung berapa kalian pada saya?” tanya Utsman.
“Dua dirham,” sahut para pedagang.
“Saya diberi laba lebih dari itu,” tangkis Utsman.
“Kalau begitu, empat dirham.”
“Masih ada yang memberiku laba lebih besar dari itu,” jawab Utsman lagi.
“Jika demikian, saya lebihkan lima dirham.”
“Oh, saya masih diberi laba yang jauh lebih besar dari itu,” sahut Ustman pula.
“Di kota ini, tak ada pedagang selain saya, yang memberi untung lebih dari itu. Lantas siapa yang memberimu untung itu?”
Jawab Utsman, “Di setiap satu dirham, Allah memberi saya 10 dirham. Apakah kalian bisa memberi laba lebih dari itu?”
“Tidak,” sahut mereka.
Maka Utsman pun berseru, “Kini, saksikanlah oleh kamu sekalian bahwa semua yang diangkut unta-unta ini, saya sedekahkan karena Allah untuk para fakir miskin.”
Inilah buah dari sibghah (celupan) Islam, yang menginspirasi umatnya agar segala hal yang mereka miliki, bisa menjadi sarana baginya untuk mengabdi pada Tuhannya melalui serangkaian amal saleh.
Tentu bukan kebetulan, kalau perilaku Utsman yang merupakan spirit Islam ini, sangat relevan secara sosio-psikologis. Konsep kebahagiaan, antara lain, bisa direguk dengan memberi, dan bukan memiliki; seberapa banyak pemberian kita kepada orang lain, setara dengan kebahagiaan yang bisa kita reguk; makin banyak memberi, makin berlimpah kebahagiaan kita.
Masih banyak perilaku mengagumkan tentang kedermawanan yang dicontohkan oleh para mercusuar Islam, seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Abdurrahman bin Auf, dan sahabat lainnya.
Dan semua itu adalah hasil dari tarbiyah (didikan) sang panutan ideal kita, Rasulullah SAW, seperti yang dituturkan oleh Anas RA, “Tidaklah Rasulullah SAW dimintai sesuatu dalam Islam, kecuali beliau memberinya. Seseorang datang pada beliau, maka Nabi pun memberinya kambing yang ada di antara dua lembah. Orang itu lalu kembali ke kaumnya dan berseru, ‘Wahai kaumku, masuk Islamlah kalian! Karena Muhammad telah memberi suatu pemberian, yakni seorang pemberi yang tak takut miskin’.”
Anas berujar, “Orang itu masuk Islam karena ingin dunia. Namun, saat ia menjadi Muslim, Islam itu lebih dicintainya dari dunia dan seisinya.” (HR Muslim).
Sumber: republika.co.id