“Takutlah kalian untuk mencampuri ketaatan kepada Allah dengan rasa senang terhadap sanjungan manusia. Sebab, (pahala) amal kalian akan hilang.” (HR. Dailami).
Sifat dasar manusia adalah merasa senang bila ada yang memujinya. Hal ini selaras dengan fitrah hati yang mencintai seseorang yang berbuat baik kepadanya, meskipun sekadar memberikan sanjungan. Dan, ia pun akan membenci seseorang yang berbuat jahat kepadanya, walaupun hanya memberikan kritikan.
Kita mungkin akan melambung tinggi saat ada orang yang memuji kita. Bahkan, kita menjadi tidak bisa berpikir jernih. Sehingga, bukannya risih, tetapi kita justru bangga lantaran dipuji. Jika sudah begitu, maka kita tergerak untuk memperlihatkan kebaikan-kebaikan lainnya yang pernah kita lakukan. Bahkan, kita kadang rela berbohong agar orang lain semakin kagum. Tidak jarang pula, kita rela memberikan sesuatu kepada seseorang yang telah menyanjung kita.
Orang yang bijak justru bersikap waspada saat mendapatkan pujian dari orang lain. Sebab, setiap pujian tidak lepas dari motif tertentu, mulai dari sekadar mengekspresikan kekaguman, ingin berkesan baik, cari muka, bahkan menginginkan sesuatu yang tidak kita miliki.
Orang bijak akan menyikapi setiap pujian ibarat api yang menyala dalam sekam, yang kalau tidak disadari bisa menghabiskan amal yang telah dilakukannya. Sebuah pujian dapat mengubah sesuatu yang semula ikhlas menjadi tidak ikhlas lagi lantaran pujian yang bertubi-tubi. Sesuatu yang tadinya sembunyi-sembunyi atau tersamar menjadi terang-terangan, karena ingin menampakkan kebaikan-kebaikan yang lain. Bahkan, bisa membangkitkan kesombongan lantaran menganggap dirinya sebagai orang yang banyak amal.
Kita harus menyadari bahwa sebuah pujian yang kita peroleh bukan karena kehormatan dan kebaikan yang ada pada diri kita, tetapi karena Allah menutup kejelekan-kejelekan kita, dan memang kebanyakan manusia lebih suka melihat sesuatu yang bersifat lahiriah. Oleh karena itu, Abu Bakar ash-Shiddiq senantiasa berdoa agar Allah membaguskan akhlak beliau, sebagaimana yang disangka oleh banyak orang.
Banyak orang (mungkin termasuk kita) berniat ingin dipuji dan mendapatkan kesan baik dari orang lain saat melakukan sesuatu, bukan semata karena Allah menghendaki sesuatu yang harus dilakukan. Jika sudah begitu, maka kita takkan mendapatkan apa pun dari Allah, sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah hadits Qudsi. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Barang siapa mengerjakan suatu amal yang di dalamnya ia mempersekutukan dengan selain Aku, maka amalnya hanya untuk sekutunya, sedangkan Aku lepas darinya, dan Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu.”
Hadits tersebut diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Dailami. Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Takutlah kalian untuk mencampuri ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. dengan rasa senang terbadap sanjungan manusia. Sebab, (pahala) amal kalian akan hilang.”
Lain halnya bila kita melakukan suatu kebaikan, kemudian ada orang yang memuji kita. Pujian tersebut sebagai wujud nikmat yang disegerakan, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits riwayat Muslim melalui Abi Dzar. Ia berkata, “Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam pernah ditanya oleh seseorang, ‘Bagaimana dengan seseorang yang berbuat amal shalih, lalu ada orang yang memujinya?’ Beliau menjawab, ‘Itu merupakan kegembiraan yang segera diberikan kepada seorang mukmin.”
Sementara itu, bila kita merasa senang saat orang lain mendapati kita sedang melakukan amal shalih, maka hal itu tidak termasuk riya’, sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi melalui Abu Hurairah. Ia berkata, “Ya Rasulullah, tatkala saya berada di rumah saat sedang shalat, tiba-tiba seorang laki-laki masuk ke dalam rumah. Lantas, ia memuji saya lantaran shalat itu.’ Mendengar penuturannya, Rasulullah berucap, ‘Bagimu dua pahala, yaitu pahala sembunyi-sembunyi dan terang-terangan.”
Sesungguhnya, hal berat yang harus kita lakukan terhadap sebuah pujian adalah menghentikan pujian agar sebatas sebuah pujian, sehingga tidak menambah kesombongan. Atau, memperpanjang pujian tersebut menjadi sebuah media untuk memperlihatkan betapa banyaknya kebaikan kita.
Apalagi bila pujian yang kita terima tidak pantas bagi kita. Sebab, kita mengetahui bahwa kita tidak berhak dipuji dengan ungkapan pujian yang dituturkannya kepada kita. Sesungguhnya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan membalas semuanya dengan azab yang sangat pedih. Allah berfirman, “Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan, dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.” (QS Ali ‘Imran: 188).*/Fahruddin Ghozy, dikutip dari bukunya 100% Person! Smart Personality Tanpa Diskon!
Sumber: hidayatullah.com