Lahir dan dibesarkan dari keluarga yang menganut kepercayaan paganisme, Nabi Ibrahim pernah tidak menolak dan juga tidak menerima keyakinan tersebut. Tidak menolak dan juga tidak menerima dapat diartikan sebagai sikap afirmatif. Akan tetapi, sebelum Ibrahim berdebat dengan ayah dan kaumnya, kesadaran dan rasa agama dalam dirinya tumbuh ketika berdialektika dengan akalnya. Akal menuntun Ibrahim untuk menemukan sesuatu yang “serba maha” di balik fenomena-fenomena alam. Proses dialektika keimanan ini, dalam teori William James, disebut sebagai prototipe agama pribadi, berupa dorongan-dorongan dari dalam jiwa seseorang untuk menemukan tuhannya. Lebih lanjut, William James mendefinisikan agama sebagai “perasaan dan pengalaman manusia secara individual, yang menganggap bahwa mereka berhubungan dengan apa yang dipandangnya sebagai tuhan.” (Zakiyah Darajat , 2003: 23).
Pada tahap pengenalan ini, Ibrahim sebenarnya lebih dekat dengan keyakinan paganisme, walaupun dia tidak secara eksplisit menerimanya. Justru, berawal dari keyakinan paganisme yang dianut ayah dan kaumnya, Ibrahim terus mencari hakekat tuhan sebagaimana dalam persepsi akalnya. Dalam perspektif sosiologi ilmu pengetahuan, konsep keimanan yang diyakini Ibrahim sebenarnya dipengaruhi oleh latar belakang keyakinan yang dianut ayah dan kaumnya. Bahwa berhala-berhala yang dibuat ayahnya dan pemujaan di Kuil Sin oleh kaumnya adalah ekspresi keimanan yang sesat setelah Ibrahim berdialektika dengan akalnya. Secara logis, tidak mungkin tuhan diciptakan oleh tangan manusia. Tuhan juga tidak mungkin lemah. Apalagi, tuhan tidak mungkin hancur ketika Ibrahim memukul berhala-berhala di Kuil Sin.
Ekspresi Keimanan Paganisme
Azar, ayah Ibrahim, melakukan ritual pemujaan terhadap Dewi Sin, selain memiliki berhala-berhala kecil yang dijual di rumahnya. Hampir seluruh bangsa Akkad memiliki dewa-dewa kecil yang banyak jumlahnya. Mereka melakukan ritual pemujaan untuk mengharapkan sesuatu dari berhala-berhala tersebut. Rasa takut dan penuh pengharapan dalam setiap ritual pemujaan menunjukkan ekspresi keimanan. Ekspresi keimanan bangsa Akkad merupakan bentuk keimanan paganisme.
Dalam teori Psikoanalisa Sigmund Freud, gejala agama yang dialami Ibrahim memang menyerupai fenomena “Oedipus Kompleks”, suatu penyakit kejiwaan karena rasa takut akan kehilangan yang dicintai. Orang beragama mirip tipe orang sakit jiwa, begitu menurut teori Sigmund Freud. Rasa takut akan ditinggalkan oleh sang berhala dan mendapat malapetaka merupakan gejala keimanan. Oleh karena itu, orang yang percaya kepada sesuatu akan melakukan ritual pengorbanan untuk menunjukkan rasa cintanya kepada sesuatu tersebut.
Dalam diri Ibrahim memang telah tumbuh kesadaran dan rasa agama yang kuat, tetapi keyakinan yang dianut ayah dan kaumnya tidak langsung ditolak dan juga tidak langsung diterimanya. Sikap semacam ini dapat diartikan sebagai bentuk afirmatif sekalipun tidak secara langsung.
Ekspresi Keimanan Henoteisme
Proses dialektika yang melibatkan akal ketika Ibrahim mengamati fenomena bintang-bintang di langit telah mengantarkannya pada keyakinan henoteisme. Menurut Sidi Gazalba (1996: 40), henoteisme (heno: satu) merupakan satu bentuk keimanan yang berubah-ubah sesuai dengan kondisi untuk mencari objek sesembahan yang lebih besar. Dengan kata lain, henoteisme adalah bentuk keimanan politeisme.
Ekspresi keimanan henoteisme ketika Ibrahim mengamati bintang-bintang di langit. Dia yang sedang mencari tuhannya membuat asosiasi dengan planet Venus. Proses asosiasi ini tidak lepas dari konteks keimanan bangsa Akkad pada waktu, khususnya penduduk kota Sippar, yang menyembah Dewi Ishtar (Venus). Ketika pagi menjelang, Dewi Ishtar pun lenyap sehingga Ibrahim yakin bahwa Venus bukanlah tuhan baginya. Ketika malam purnama, tampak bulan bersinar terang. Bulan adalah dewi sesembahan kaum Ibrahim, penduduk kota Ur, yang dikenal dengan nama Dewi Sin. Ketika pagi menjelang, Dewi Sin redup sehingga Ibrahim tidak dapat menerima sesembahan kaumnya sebagai tuhan baginya. Ketika fajar menjelang, Ibrahim melihat matahari yang lebih besar bersinar terang. Matahari dikenal dengan nama dewa Shamash, sesembahan penduduk kota Nippur, tetangga kota Ur. Tetapi ketika senja, matahari tenggelam. Ibrahim pun tidak dapat menerima Dewa Shamash sebagai tuhan baginya.
Perubahan keimanan secara kondisional dari objek-objek sesembahan yang cukup banyak ini mengindikasikan gejala henoteisme. Menurut Sidi Gazalba, henoteisme dapat dikategorikan sebagai bentuk keimanan monoteisme, tetapi berubah-ubah sesuai dengan kondisi. Dengan kata lain, henoteisme merupakan bentuk keimanan monoteisme terselubung.
Dialektika keimanan Ibrahim ketika mengamati fenomena bintang-bintang di langit merupakan suatu proses pembentukan keyakinan murni dalam teori ilmu jiwa agama. Dalam teori William James, proses tersebut dikategorikan sebagai dasar-dasar ajaran murni yang dialami oleh sang pendiri. Ibrahim dikenal sebagai nabi yang meletakkan dasar-dasar ajaran monoteisme yang diteruskan oleh generasi berikutnya.
Ekspresi Keimanan Politeisme
Kesadaran agama Ibrahim telah mendorongnya mencari bentuk-bentuk asosiasi untuk membuktikan eksistensi tuhan, tetapi setiap kali dia menemukan bentuk asosiasi sebagai representasi tuhan justru akalnya tidak dapat menerimanya. Dorongan dari dalam jiwa Ibrahim (rasa agama) semakin kuat manakala dia gagal menemukan bentuk asosiasi sebagai representasi tuhan.
Ketika Ibrahim menyaksikan planet Venus, seketika itu juga ia bersaksi, “Inilah tuhanku” (hadza rabbiy) (Q.s. Al-An’am: 76). Kesaksian sekalipun hanya sesaat ini termasuk bentuk keimanan kepada objek pagan (Dewi Ishtar). Begitu juga ketika Ibrahim melihat bulan purnama, seketika itu juga ia bersaksi, “Inilah tuhanku” (hadza rabbiy) (Q.s. Al-An’am: 77). Kesaksian ini pun sudah termasuk kategori bentuk keimanan kepada objek pagan (Dewi Sin). Selanjutnya, ketika Ibrahim menyaksikan matahari, ia langsung bersaksi, “Inilah tuhanku, ini lebih besar” (hadza rabbiy, hadza akbar) (Q.s. Al-An’am: 78). Kesaksian inipun termasuk kategori bentuk keimanan kepada objek pagan (Dewa Shamash).
Perubahan sikap keimanan terhadap objek-objek pagan—dari berhala-berhala kecil hingga yang terbesar—inilah yang disebut henoteisme. Keimanan pada tahap pertama dibatalkan setelah menemukan objek baru yang lebih indah, kemudian keimanan tahap kedua dibatalkan kembali karena telah menemukan objek baru yang jauh lebih besar. Bentuk keimanan henoteisme merupakan politeisme terselubung. Inilah yang pernah dialami oleh Ibrahim, sang peletak dasar-dasar ajaran monoteisme.
Ekspresi Keimanan Monoteisme
Keimanan monoteisme hanya mengakui tuhan yang tunggal yang menjadi objek pemujaan dan harapan, tidak boleh diduakan, dan tidak dapat diasosiasikan. Al-Quran surat al-Ikhlas ayat 1-4 menyebutkan, “Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
Dalam ajaran monoteisme, prinsip tuhan yang tunggal adalah harga mati, tidak dapat ditawar-tawar. Segala macam bentuk peribadatan harus ditujukan kepada-Nya. Kesadaran dan rasa agama harus dituntun berdasarkan wahyu untuk mengenal dan mencintai tuhan yang tunggal. Dalam teologi Islam, cinta adalah subtansi ajaran monoteisme. Dalam cinta (hubb) terdapat unsur “pengurbanan” (qurban), “pengabdian” (ta’abud), dan “kepasrahan” (qanit: taslim). Menurut Ibnul Qayyim, ketiga unsur inilah yang sejatinya merupakan bagian dari subtansi ajaran Islam. Menurut Abdurrahman bin Hasan, sinta adalah manifestasi dari ajaran tauhid (Abdurrahman bin Hasan, 1979: 103).
Segenap ujian yang telah dijalani oleh Nabi Ibrahim adalah bukti ketulusan cintanya kepada tuhannya. Pengorbanannya yang tulus telah diterima sehingga dia berhak mendapatkan ridla-Nya. Wajar jika Allah telah menjadikannya sebagai “Kekasih-Nya” (Khalilullah) (QS. An-Nisa: 125).
Sumber: suaramuhammadiyah.id