Dalam perjalanan ke Makkah, Sulaiman bin Abdil Malik, penguasa bani Umayah, mengirim utusan kepada Abu Hazim al-Makhzumi yang dijuluki al- A’raj (wafat 140 H/757 M), seorang ahli hadis dan fikih yang menjadi hakim di Madinah waktu itu. Setibanya beliau di hadapannya, sang penguasa bertanya. “Wahai Abu Hazim, apa sebabnya kami membenci kematian?”
Beliau menjawab, “Karena kalian telah memorakporandakan kehidupan akhirat kalian dan menata megah kehidupan dunia kalian sehingga kalian jadi tidak ingin berpindah dari tempat yang tertata megah ke tempat yang hancur porak poranda.”
Riwayat tersebut sangat menggugah akal pikiran sekaligus memberikan penjelasan gamblang mengapa para nabi dan rasul serta sahabat-sahabat Nabi Muhammad begitu giat dalam beragam ibadah dan amal saleh. Bahkan lebih jauh, mereka sangat antusias dalam jihad fi sabilillah.
Abu Bakar ash-Shiddiq menyerahkan seluruh hartanya untuk membela Islam. Kala ditanya oleh Rasulullah apa yang ditinggalkan untuk diri dan keluarganya, ayah Aisyah itu menjawab, “Allah dan Rasul-Nya.”
Umar bin Khattab, sekalipun telah menjadi pemimpin tertinggi umat Islam, tidak pernah mau berpangku tangan atas derita dan kesulitan yang dihadapi rakyatnya. Suatu waktu, masuk informasi kepadanya bahwa seekor keledai tergelincir dan jatuh karena jalanan yang berlubang. Umar pun bersedih dan menangis.
Orang terdekatnya bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah yang mati hanya seekor keledai?” Dengan nada serius dan wajah menahan marah, Umar bin Khattab menjawab, “Apakah engkau sanggup menjawab di hadapan Allah ketika ditanya tentang apa yang telah engkau lakukan ketika memimpin rakyatmu?”
Pertanyaannya, mengapa kedua sahabat Nabi itu memilih sikap hidup yang sedemikian rupa? Bukankah ada banyak alasan rasional yang bisa dikemukakan untuk lepas dari tanggung jawab?
Tidak ada jawaban lain kecuali karena mereka melihat dunia sekedar sarana untuk menuju kampung abadi, yakni akhirat. Maka, sepanjang hayat mereka berupaya untuk waspada terhadap kehidupan dunia. Apatah lagi yang namanya kematian bisa datang kapan saja dan di mana saja.
Oleh karena itu, Hasan al-Bashri berkata, “Tidaklah aku melihat orang yang berakal melainkan aku mendapati ia waspada dari kematian dan bersedih atasnya.”
Dalam kata yang lain, manusia yang cerdas, berfungsi akalnya dengan baik sebagaimana tuntunan Islam, tidak akan menghabiskan energi, waktu, dan potensinya sebatas untuk membangun dunia semata, tetapi lebih jauh dirinya akan “terobsesi” untuk membangun akhirat.
Adapun orang yang dalam hidupnya hanya tekun dalam urusan-urusan dunia, rajin dalam tipu dayanya, gemar dengan nafsu syahwatnya, pasti tidak akan pernah ingat dengan kematian, apalagi sampai bersiap diri membangun akhirat. Padahal, banyak bukti bahwa dunia ini fana, kemudian mereka yang menghamba kepada dunia hidup dalam derita dan penyesalan yang tiada berguna.
Jadi, berniagalah dengan Allah untuk akhirat kita, yaitu dengan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan berjihad di jalan-Nya dengan harta dan jiwa (QS 61: 11).
Sumber: republika.co.id