Namanya Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh al-Anshari al-Khizriji al-Andalusi al-Qurtuby. Terlahir di Cordova, Negara Andalusia. Ia tumbuh dalam lingkungan sosial yang sangat mendukung. Kegiatan-kegiatan ilmiah sedang berkembang pesat di Maghrib dan Andalusia pada masa itu, yakni masa pemerintahan Muwahidin (514-668 H). Muhammad bin Tumart adalah pendiri daulah Muwahidiyah telah menggiatkan dakwah keilmuan terutama dalam bidang pembukuan. Ilmu-ilmu agama tumbuh dan berkembang dengan pesat seperti ilmu-ilmu fiqh, hadits, tafsir dan ilmu qira’ah. Masa itu tumbuh pesat juga ilmu bahasa, nahwu, sejarah, humaniora, dan syair. Semua ini berdampak sangat besar bagi perkembangan keilmuan al-Qurthubi.
Sayangnya, para ulama tidak ada yang tahu dengan pasti mengenai kapan ia dilahirkan, oleh siapa ia dibesarkan, dan apakah ia seorang anak yatim atau tidak. Yang ditulis dalam sejarah bahwa ia dilahirkan dan dibesarkan oleh bapaknya yang bermata pencaharian bercocok tanam yang hidup pada zaman dinasti Muwahidun, yang kala itu dipimpin oleh Muhammad bin Yusuf bin Hud (625-635 H). Dikisahkan, pada saat itu, ayahnya sedang memanen dan pada waktu itu pula terjadi sebuah pemberontakan kaum separatis Nashrani Cordova yang menuntut untuk memerdekakan diri dari Islam.
Terlepas dari itu, al-Qurthubi kecil mempelajari berbagai disiplin ilmu di tempat ia dilahirkan. Ia belajar kepada para gurunya yang sangat membantunya ialah Ibn Rawwa (seorang Imam hadits), Ibn al-Jumaizi, al-Hassan al-Bakari, dan masih ada beberapa yang lain. Di antara ilmu-ilmu yang ia pelajari ialah tentang keagamaan, seperti bahasa arab, Hadits, syair, dan Al-Qur’an. Di samping itu, ia juga banyak belajar dan mendalami ilmu yang menjadi pendukung ilmu Al-Qur’an, yakni nahwu, qira’at, fikih, dan ilmu balaghah.
Setelah tumbuh dewasa dan merasa kurang dalam mendalami ilmunya itu, ia kemudian pergi ke Mesir (yang pada waktu itu kekuasaan dipegang oleh Dinasti Ayyubiah). Ia menetap di sana sampai ajal menjemputnya pada malam Senin 9 Syawal 671 H/1273 M. Ia dimakamkan di Elmania, timur Sungai Nil.
Dalam kehidupannya sehari-hari, Al-Qurthubi mempunyai sifat yang tidak semua orang memiliknya. Ia dikenal tawadlu’, ‘alim, zuhud, berkarisma, dan komitmen dalam melakukan amal akhirat untuk dirinya. Seperti yang pernah dikatakan Al-Dzaidah (mufassir) bahwa ia sering terlihat memakai sehelai jubah yang bersih dengan kopiah di atas kepalanya. Maksudnya, seluruh hidupnya digunakan untuk beribadat kepada Allah. Sisa dari waktunya dihabiskan untuk menulis dan mengkaji ilmu agama ”Dia adalah seorang ulama besar yang tawadlu’ dan lebih mementingkan ilmu pengetahuan terlebih kepada tafsir dan hadits yang menghasilkan karya yang jauh lebih baik pada masanya,” kata Al-Dzaidah.
Beberapa karya penting yang dihasilkan oleh al-Qurthubi adalah al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, al-Asna fi Syarh Asma Allah al-husna, Kitab al-Tazkirah bi Umar al-Akhirah, Syarh al-Taqassi, Kitab al-Tizkar fi Afdal al-Azkar, Qamh al-Haris bi al-Zuhd wa al-Qana’ah dan Arjuzah Jumi’a Fiha Asma al-Nabi.
Kitab al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an
Al-Qurthubi sangat berniat menulis kitab Tafsir adalah ketika belajar kepada para ulama (seperti Abu al-Abbas bin Umar al-Qurthubi Abu al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad al-Bakhri). Pertemuan dengan gurunya tersebut memunculkan hasratnya menyusun kitab Tafsir yang bernuansa fiqh. Ia ingin menyusun kitab Tafsir dengan menampilkan pendapat imam-imam madzhab fiqh dan juga menampilkan Hadits yang sesuai dengan masalah yang dibahas.Selain itu, kitab tafsir yang telah ada dirasakan al-Qurthubi sedikit sekali yang bernuansa fiqh. Oleh karena itulah, al-Qurthubi menyusun kitabnya. Ia beranggapan, ini akan mempermudah masyarakat karena di samping menemukan tafsir ayat, masyarakat juga akan memperoleh banyak pandangan imam madzhab fiqh, Hadits-Hadits Rasulullah saw, maupun pandangan para ulama’ mengenai masalah itu. Al-Dzahabi pernah berkata, “al-Qurthubi telah mengarang sebuah kitab tafsir yang sangat spektakuler.”
Menurut al-Dzahabi, kelebihan Kitab Tafsir al-Qurthubi adalah al-Qurthubi menghimpun ayat, Hadits, dan aqwal ulama pada masalah-masalah hukum. Kemudian ia mentarjih salah satu di antara aqwal tersebut. Kitab ini juga sarat dengan dalil-dalil ‘aqli dan naqli. Kitab ini tidak mengabaikan bahasa Arab, sya’ir Arab, dan sastra Arab.
Kitab al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an sering disebut dengan tafsir al-Qurthubi. Judul lengkap tafsir ini adalah al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an wa al Mubayyin lima Tadammanah min al-Sunnah wa Ay al-Furqan, yang berarti kitab ini berisi himpunan hukum-hukum al-Qur’an dan penjelasan terhadap isi kandungannya dari al-Sunnah dan ayat-ayat al-Qur’an.
Dalam penulisan kitab Tafsirnya, al-Qurthubi menggunakan metode Tahlili. Yaitu metode menafsirkan ayat dengan berusaha menjelaskan seluruh aspek yang dikandung oleh ayat-ayat al-Qur’an dan mengungkapkan segenap pengertian yang dituju. Keuntungan metode ini adalah peminat tafsir dapat menemukan pengertian secara luas dari ayat-ayat al-Qur’an.
Metode ini dipakai al-Qurthubi karena ia berupaya menjelaskan seluruh aspek yang terkandung dalam al-Qur’an dan mengungkapkan segenap pengertian yang dituju. Sebagai contoh, ketika ia menafsirkan surat al-Fatihah di mana ia membaginya menjadi empat bab yaitu; bab Keutamaan dan nama surat al-Fatihah, bab turunnya dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, bab Ta’min, dan bab tentang Qiraat dan I’rab.
Oleh karena kecenderungan penafsirannya yang sangat fiqhiyah, maka tafsir karya al-Qurthubi sering disebut bercorak Fiqhi. Sehingga, seringkali kitab Tafsirnya disebut sebagai tafsir ahkam: Kitab Tafsir yang dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an lebih banyak dikaitkan dengan persoalan-persoalan hukum. Ketika menafsirkan surat al-Fatihah, al-Qurthubi mendiskusikan persoalan-persoalan fiqh, terutama yang berkaitan dengan kedudukan basmalah ketika dibaca dalam shalat, juga persoalan fatihah makmum ketika shalat Jahr, dan lain sebagainya.
Langkah-langkah yang dilakukan al-Qurthubi dalam menafsirkan al-Qur’an dimulai dengan memberikan kupasan dari segi bahasa. Ia mengartikan arti kata dari ayat tersebut. Kemudian ia menyebutkan ayat-ayat lain yang berkaitan dan Hadits-Hadits dengan menyebut sumbernya sebagai dalil. Ayat-ayat dan Hadits yang berhubungan dengan ayat yang ditafsirkan. Ini dimaksudkan sebagai penguat terhadap penafsirannya.
Setelah itu, ia mengutip pendapat ulama dengan menyebut sumbernya sebagai alat untuk menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan. Ia menolak pendapat yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ia juga mendiskusikan pendapat ulama dengan argumentasi masing-masing. Maksudnya, meskipun tetap menggunakan pendapat ulama, ia tetap kritis terhadap semua pendapat tersebut. Setelah itu, ia melakukan tarjih dengan mengambil pendapat yang dianggap paling benar. Langkah-langkah yang ditempuh al-Qurthubi ini masih diperluas dengan melakukan penelitian dengan lebih saksama.
Sebenarnya, al-Qurthubi memilih metode Tahlili adalah dalam rangka mencounter kisah-kisah ahli tafsir, riwayat-riwayat ahli sejarah dan periwayat-periwayat israiliyat. Ia ingin menunjukkan kekeliruan mereka selama ini. Bahkan ia juga menantang pendapat-pendapat filosof, Mu’tazilah, sufi kolot, dan aliran-aliran lainnya yang menafsirkan ayat secara sempit. Meskipun demikian, al-Qurthubi sangat terbuka. Ia jujur dalam argumentasinya, santun dalam mendebat musuh-musuhnya dengan penguasaan ilmu tafsir dan segala perangkatnya, dan penguasaan ilmu syariat yang mendalam.• [BA]
Sumber: suaramuhammadiyah.id