Sebagai pengemban risalah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam selalu memberikan tuntunan dan panutan kepada seluruh umatnya. Terutama terkait dengan harta. Nabi sama sekali tidak pernah memikirkan harta-harta yang ia miliki. Bahkan beliau selalu berusaha untuk membagi-bagikan harta yang ia miliki kepada orang lain.
Dr. Nizar Abazah dalam karyanya yang berjudul Fi Bayt Rasul menceritakan beberapa kisah tersebut. Pernah suatu hari Nabi memiliki sepotong emas yang disimpan di rumahnya. Emas tersebut selalu teringat di kepala saat Nabi sedang menunaikan shalat. Akhirnya, setelah shalat, Nabi pulang ke rumah dan membagi-bagikan emas itu kepada orang lain.
As-Suyuti dalam kitab ad-Durarul Mansur yang mengutip riwayat Ibnu Masud misalkan, tiba-tiba datang seorang anak laki-laki kepada Nabi. Saat itu anak tersebut diminta oleh ibunya untuk menghadap Nabi dan meminta sesuatu kepadanya.
“Wahai Nabi, aku datang kemari membawa pesan dari ibuku. Ibuku meminta ini dan itu.”
“Maaf, hari ini aku tidak memiliki apa-apa,” jawab Nabi.
Hal seperti ini jamak diketahui, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menimbun atau menyimpan sesuatu untuk hari esok. Ketika Nabi mendapatkan emas atau harta yang lain, Nabi jarang menyimpannya. Nabi selalu membagi-bagikan kepada para sahabatnya, khususnya untuk sahabat ahlus suffah.
“Kata ibuku, baju yang sedang engkau pakai juga boleh,” pinta anak laki-laki itu kembali.
Nabi selalu memberikan apa yang diminta oleh para sahabatnya, walaupun itu baju yang dipakai. Tanpa berpikir panjang, Nabi melepas baju yang ia kenakan. Baju itu lalu diberikan kepada anak laki-laki yang memintanya.
Anak itu akhirnya kembali tanpa tangan kosong. Wajahnya tergores senyum setelah permintaannya dikabulkan oleh Nabi.
Nabi kemudian masuk ke rumah dan tak keluar lagi, karena saat itu baju itulah satu-satunya baju yang dimiliki Nabi.
Ketika waktu shalat tiba, para sahabat mencari beliau. Umar terheran-heran ketika melihat kondisi Nabi yang seperti itu.
Umar kemudian menyempatkan bertanya. “Apakah ini perintah Allah?”
Lalu turunlah firman Allah: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena dengan begitu kamu jadi tercela dan menyesal.” (Q.S. Al-Isra: 29).
Tampaknya ajaran mendahulukan orang lain yang telah dicontohkan oleh Nabi ditiru oleh istri-istrinya. Aisyah misalnya, suatu hari ditemui seorang perempuan. Perempuan itu mengaku tidak memiliki apa pun untuk dimakan. Saat itu Aisyah hanya memiliki kurma. Tanpa berpikir panjang, ia langsung memberikan seluruh kurma yang dimilikinya kepada perempuan itu.
Tak hanya itu, ketika ia mendapatkan jatah nafkah, sedangkan saat itu ia sedang berpuasa, ia pun memanggil pembantunya agar membagikan semua jatah itu kepada seluruh fakir miskin. Saat tiba waktu buka, ia meminta pembantunya untuk mengeluarkan makanan. Namun sayang, tidak ada makanan lagi yang tersisa.
“Coba engkau tadi sisakan sedikit, mungkin itu akan menjadi lebih baik,” pinta pembantunya.
“Coba dari tadi engkau ingatkan, pasti aku akan menyisakannya,” Jawab Aisyah. Wallahu A’lam. (M Alvin Nur Choironi)
Sumber: nu.or.id