Segala sesuatu Dalam kitab Tadzkirah al-Auliya, Fariduddin Attar menceritakan Imam Junaid menolak pemberian orang kaya untuk dirinya. Diceritakan:
أن شحصا من أهل الثروة أهدي الجنيد رحمه الله خمس مئة دينار فلما وضع بين يديه قال الجنيد: ألك غيره؟ قال: نعم, لي مال كثير. قال: تطلب غيره؟ قال: نعم. قال الجنيد: فأنت أولي بهذا منّي, فإني ما أجد شيئا من هذا, وليس لي طلب بحمد الله ولا طمعٌ.
Seorang yang sangat kaya memberikan hadiah untuk Imam Junaid al-Baghdadi, berupa uang sebesar lima ratus dinar. Ketika uang itu diserahkan padanya, Imam Junaid berkata: “Apakah kau memiliki harta lain?”
Orang itu menjawab: “Iya. Aku memiliki harta yang sangat banyak.”
Imam Junaid bertanya: “Apa kau masih membutuhkan harta lainnya?”
Ia menjawab: “Tentu saja.”
Imam Junaid berkata: “Maka kau lebih berhak atas uang ini daripada aku. Aku tidak merasa membutuhkan uang ini. Alhamdulillah, aku tidak meminta dan menginginkannya.” (Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliyâ’, alih bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashîliy al-Wasthâni al-Syâfi’i (836 H), Damaskus: Darul Maktabi, 2009, hlm 438).
Jangan pandang kisah di atas sebagai kebencian para sufi terhadap dunia, tidak. Kisah di atas adalah gambaran besar bahwa dunia beserta kemewahannya tidak memperbudak hati mereka. Meski Imam Junaid mengatakan tidak membutuhkan uang, bukan berarti Ia seorang pemalas yang memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengemis.
Imam Junaid adalah seorang pekerja keras. Orang-orang biasa memanggilnya dengan julukan al-Qawariri yang artinya pedagang pecah belah. Apa yang dijalani para sufi sekedar mengamalkan zuhud. Dan,tujuan zuhud bukan untuk menjadi miskin, tapi membersihkan hati dari perbudakan dunia.
Salah seorang sufi besar, Sayyid Abu al-Hasan al-Syadzili pernah mengatakan kepada muridnya, Abu al-Abbas al-Mursi: “I’rifllah, wa kun kaifa syi’ta—kenalilah Allah, jadilah apapun yang kau mau.” (Abdul Halim Mahmud, Qadliyyah al-Tashawwuf,al-Madrasah al-Syadziliyyah, Kairo: Darul Ma’arif, tt, hlm 44). Mengenali Tuhan harus didahului dengan mengenali diri sendiri, dari mulai seperangkat sifat buruknya sampai sifat-sifat baiknya. Jika seseorang telah berhasil mengenali dirinya, dia akan mengenali Tuhannya.
Orang yang telah mengenal Tuhannya, tidak mungkin melakukan hal-hal yang menjauhkan dirinya dari rida Tuhannya. Meski hidup bergelimang harta, dia tidak akan jatuh dalam kubangan perbudakan dunia. Lagipula, mengenali Tuhan tidak seperti perlombaan, yang ketika sampai di garis finish perlombaan selesai. Mengenali Tuhan adalah jalan bersambung, yang harus terus-menerus dilalui tanpa berhenti. Garis finishnya adalah ketika Tuhan memanggil kita.
Sayyid Abu al-Hasan al-Syadzili adalah satu dari sekian banyak sufi kaya. Hartanya sangat melimpah. Namun, dia tidak pernah ragu menghabiskannya sekaligus untuk membantu orang-orang yang membutuhkan. Kehilangan semua harta tidak membuat hatinya berat dan bersedih.
Mendapatkan banyak harta tidak membuatnya terlena dalam pesona dunia. Karena itu dia mengatakan: “Kenalilah Allah, jadilah apapun yang kau mau.” Dia gemar mengenakan pakaian mewah dan rapih. Bukan karena terjebak trend fashion masa kini, melainkan sebagai sarana dakwah.
Suatu waktu ada orang yang bertanya kepadanya: “Mâ ‘abdu Allah bi mitsli hadza al-libâs alladzî ‘alaika—hamba Allah macam apa yang memakai pakaian seperti ini?” Sayyid Abual-Hasan al-Syadzili menjawab:
لباسي يقول: أنا غني عنكم فلا تعطوني, ولباسك يقول: أنا فقير إليكم فأعطوني
“Pakaianku bicara: Saya lebih kaya dari kalian maka jangan memberiku (apapun), sedangkan pakaianmu bicara: Saya orang miskin bagi kalian maka berikanlah (sesuatu) padaku.” (Dr. Abdul Halim Mahmud, hlm 43).
Dengan mengenakan pakaian bagus, Sayyid Abu al-Hasan al-Syadzili mengundang semua orang yang membutuhkan untuk meminta bantuannya. Mereka tidak segan karena tahu bahwa Sayyid Abu al-Hasan al-Syadzili adalah orang yang sangat kaya.
Banyak di antara mereka yang kemudian menjadi muridnya. Untuk orang-orang seperti Imam Junaid dan Sayyid Abu al-Hasan al-Syadzili harta bukanlah apa-apa. Hilang tidak meninggalkan sesal. Datang tidak berbuah kesombongan.
Dari perspektif tersebut, penolakan Imam Junaid tidak bisa dimasukkan dalam kategori sombong, melainkan pandangan pribadinya bahwa orang yang memberikan uang kepadanya lebih berhak daripada dirinya. Karena dia masih membutuhkannya, sedangkan Imam Junaid tidak benar-benar membutuhkannya.
Mengambil sesuatu di luar kebutuhannya, apalagi hasil dari pemberian, menurut para sufi kurang elok dilakukan. Bagi mereka keadaan hati adalah segalanya. Lahirnya miskin tapi hatinya lapang, dia sangat kaya. Lahirnya kaya tapi hatinya miskin, dia sangat miskin.
Para sufi sudah tidak perduli lagi bagaimana dunia memandang mereka. Cibiran atau hardikan tidak berarti apa-apa bagi mereka. Pandangan Allah dan kesusahan manusia menjadi perhatian terpenting mereka.
Jikapun semua miliknya harus diberikan, mereka akan memberikan semuanya dengan suka rela, tanpa berpikir dua kali. Tidak sedikit para sufi yang menyerahkan semua hartanya untuk menolong sesama. Mereka mendapatkan harta itu dengan susah payah, dan memastikan kehalalannya, kemudian menyerahkannya dengan mudah, seperti mudahnya menghirup nafas.
Karena itu, dalam uraiannya yang indah, Imam Junaid menggambarkan sosok sufi dengan ungkapan:
الصُّوْفِيُّ كَالْأَرْضِ يُطْرَحُ عَلَيْهَا كُلُّ قَبِيْحٍ, وَلَا يَخْرُجُ مِنْهَا إِلَّا الْمَلِيْحُ
“Sufi itu selaksa bumi, dilemparkan yang menjijikan kepadanya, dan—tetap saja bumi—tidak mengeluarkan (sesuatu yang buruk) darinya selain keelokan.” (Ibnu ‘Ajibah, Mi’raj al-Tasyawwuf ‘ala Haqaiq al-Tashawwuf, Maghrib: Darul Baidha’, tt, hlm 26). Wallahu a’lam.
Oleh: Muhammad Afiq Zahara, Alumnus Pondok Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Sumber: nu.or.id