Alkisah, suatu hari Masjid Nabawi kedatangan seorang Arab dari wilayah perkampungan. A’rabiy istilahnya. Kemudian, tak lama setelah itu, ternyata orang Arab badui tersebut buang air kecil di area masjid Nabawi.
Patut Anda ketahui,bahwa masjid pada masa Nabi jelas tidak seperti masjid kita saat ini, yang menggunakan karpet, dikeramik lantainya, serta dibangun megah. Masjid pada masa Nabi beralaskan tanah, sehingga jika ada hujan, maka tanahnya menjadi basah dan repot digunakan beribadah.
Bagaimana selanjutnya? Orang Arab kampung yang kencing di masjid Nabawi itu tentu saja segera dikerubung para sahabat Nabi. Mereka mencela dan meneriaki perbuatan itu, sebagai sesuatu yang tentu saja kelewatan.
“Sungguh buruk apa yang ia lakukan,”. Demikian ucapan salah seorang sahabat, sebagaimana diriwayatkan dalam kitab hadits Shahih Muslim.
“Wahai kalian,” Nabi melerai mereka. “Biarkan saja dia sampai selesai,” bahkan dalam riwayat lain disebutkan, ”Siapa tahu dia akan masuk surga.” Sahabat yang mengetahui hal itu segera berhenti mencela orang Arab badui tadi.
Setelah orang Arab badui itu berlalu, Nabi meminta kepada sahabat untuk mengambil air sekitar satu timba. “Siramkan air itu di atas tanah yang dikencingi tadi,” kata beliau.
Dari kisah tersebut, tentu satu hal yang dapat dipahami adalah betapa pengasihnya Kanjeng Nabi dalam mengajari umat. Beliau tidak langsung mengingatkan perbuatan si Arab dari kampung itu. Tentu si Arab badui itu akan merasa malu. Pun kepada para sahabat, Rasulullah juga melarang untuk mencela sebuah kekeliruan. Nabi tidak mencela mereka, malah mengajari mereka bagaimana cara menyucikan suatu najis.
Kita bisa mengambil hikmah dari kisah tersebut. Nabi datang ke Madinah dengan tujuan yang mulia. Beliau dengan sifat pengasihnya menuntun umat menuju kebaikan. Beliau sangat berhati-hati mendahulukan welas asih dibanding benar meskipun lebih mengetahui tentang syariat, agar kerukunan tetap terbina.
Jika saja dalam kisah tersebut Nabi langsung menyentak si Arab badui, siapa yang tahu kalau ternyata si Arab kampung tidak akan mengikuti ajaran Nabi. Kalau beliau membiarkan para sahabat mencela bahkan menyakiti orang itu, bisa saja ada konflik-konflik yang akan terjadi.
Selain itu, Nabi juga mengajarkan bahwa mencela tidak akan menyelesaikan persoalan, melainkan mengajarkan umat bagaimana menjadi pribadi yang membenarkan orang lain dengan santun serta mencontohkan solusinya. Melalui peristiwa tersebut, para sahabat akhirnya tahu bahwa cara mensucikan najis akibat kencing adalah dengan menyiramnya. Ajaran sederhana itu pun akhirnya kita pahami hingga hari ini, karena keteladanan Nabi menyampaikan syariat dengan santun. Wallahu a’lam. (Muhammad Iqbal Syauqi)
Sumber: nu.or.id