Tidak banyak yang tahu tentang Ibnu Battuta. Ia adalah penjelajah termasyhur bagi peradaban Islam dan bahkan dunia. Ia mengabdikan dirinya pada langkah kaki yang membawanya ke mana pun ia pergi. Tilas perjalanannya telah menempuh jarak hingga 120.000 km. Jauh melampaui jarak tempuh yang pernah dilakukan oleh Marco Polo.
Anak muda berasal dari Maroko ini bernama asli Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim al-Lawati atau Shams ‘Ad, atau lebih dikenal sebagai Ibnu Battuta. Lahir di kota Tangiers, Maroko, pada 24 Februari 1304 M. Ia dibesarkan dalam keluarga yang taat menjaga tradisi Islam. Ayahnya adalah seorang Qadi atau hakim setempat, sehingga ia mendapatkan pendidikan qadi (hukum). Ibnu Battuta begitu tertarik pada ilmu-ilmu fikih dan sastra Arab.
Catatan Perjalanan
Usianya baru 21 tahun, ketika berkeinginan menunaikan ibadah haji ke Makkah, justru mengantarkan Ibnu Battuta menuju penjelajahan 30 tahun yang gemilang. Perjalanan perdananya dimulai bersama jama’ah dari Tangier untuk berhaji pada tahun 1325 M. Bersama rombongan, ia menyusuri hutan, bukit, dan pegunungan, berjalan menuju Tlemcen, Bejaia, lalu tiba di Tunisia. Di sini, Ibnu Battuta memutuskan tinggal selama dua bulan.
Dari Tunisia, Ibnu Battuta melanjutkan perjalanan sampai Libya. Sejak meninggalkan Tangier hingga Libya, ia telah menempuh perjalanan darat sekira 3.500 km di bawah teriknya daratan berpasir Afrika Utara. Delapan bulan sebelum musim haji tiba (tahun 1326 M), Ibnu Battuta menuju Alexandria. Ia terkesima dengan keindahan kota di ujung barat delta sungai Nil tersebut. Menurut Ibnu Battuta, Alexandria adalah satu dari lima tempat paling menakjubkan yang pernah ia kunjungi. Pada saat itu, Alexandria menjadi pelabuhan yang sangat sibuk dengan berbagai aktivitas di bawah kekuasaan kerajaan Mamluk. Setelah beberapa pekan berada di Alexandria, Ia pun kemudian singgah di Kairo.
Ketertarikan terhadap dunia sastra membuat Ibnu Battuta mengilustrasikan tiap tempat yang ia lalui dalam bait-bait puisi. Ia menggambarkan Kairo pada masa itu, “Aku bertamu di Kairo, ibunda dari kota-kota dan kursi Fir’aun sang tirani, sang nyonya empunya wilayah luas nan subur, bangunan-bangunan tak ada batasnya, tak tertandingi akan kecantikan dan keanggunannya, tempat bertemu para pendatang dan pulang, tempat perhentian yang lemah dan kuat, di mana berbondong-bondong manusia menyerbu laiknya gelombang laut, dan semuanya tertampung dalam ukuran dan kapasitasnya.”
Ibnu Battuta kemudian melanjutkan perjalanan menuju Damaskus melalui Yerusalem di bawah pengawasan ketat kerajaan Mamluk. Langkah kaki menggiring Ibnu Battuta menyusuri tempat-tempat suci sepanjang jalur menuju Suriah. Al-Khalil (Hebron), al-Quds, Bethlehem adalah beberapa tempat suci yang memberi kesan mendalam Ibnu Battuta. Damaskus kemudian menjadi persinggahan Ibnu Battuta selama bulan Ramadhan dan memanfaatkan waktunya untuk belajar. Ibnu Battuta menemui banyak guru, orang-orang terpelajar, dan para hakim setempat, untuk menimba ilmu agama Islam.
Selepas bulan Ramadhan, Ibnu Battuta bersama rombongan haji dari Damaskus menempuh perjalanan melalui Allepo hingga menginjakkan kaki di tanah suci, Makkah. Ibnu Battuta melaksanakan ibadah haji pertamanya. Selama di kota suci, ia bertemu dengan jamaah dari berbagai negeri. Setelah menyempurnakan ritual ibadah haji, Ibnu Battuta memutuskan untuk tidak kembali ke Tangier dan memulai pengembaraannya menjelajahi dunia.
Pengembaraan pun dimulai lagi. Ia menuju Irak, Shiraz, Mesopotamia, dan kembali lagi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji yang kedua. Ibnu Battuta tinggal selama tiga tahun di Makkah. Berkeliling untuk memperdalam ilmu agama Islam kepada guru-guru di sana. Ketertarikan pada setiap orang yang ditemui, menggugah hasrat Ibnu Battuta untuk mengunjungi tempat-tempat baru.
Pengembaraan Ibnu Battuta pun beralih pada jalur laut. Ia berlayar menuju Yaman pada tahun 1330 M. Ini merupakan pelayaran pertama Ibnu Battuta di saat usianya 27 tahun. Perahu yang membawanya adalah Jalba, satu dari sekian perahu yang melegenda di Laut Merah, terbuat dari lapisan papan yang diolesi minyak ikan Hiu agar anti air. Baru dua hari berlayar, tampak alam kurang bersahabat, arah angin berubah yang mengakibatkan perahu Jalba terombang-ambing oleh gelombang di laut lepas. Badai kian mengganas, buritan perahu mulai berdentum keras, tubuh sudah tidak dapat dikondisikan lagi, para penumpang, termasuk Ibnu Battuta, mengalami mabuk laut.
Ibnu Battuta akhirnya sampai di Ta‘izz, ibukota Yaman, yang dikuasai dinasti Islam Rasuliyah. Dinasti ini terdiri dari elit militer Turki, sebagaimana dinasti Islam lainnya saat itu. Di kota Aden, ia menyaksikan sebuah kota terbesar dan terkaya yang pernah ada di pesisir Laut Hindia. Penjelajahannya berlanjut menuju Somalia, pantai-pantai Afrika Timur, termasuk Zeila dan Mambosa. Kembali ke Aden, lalu ke Oman, Hormuz di Persia dan Pulau Dahrain. Di negeri Persia, Ibnu Battuta berkesempatan bertamu di Kota Baghdad. Di kota ini ia menyaksikan sarana pemandian umum yang tak ada tandingannya di dunia.
Qadi Delhi
Pada 12 September 1333, setelah perjalanan panjang melewati wilayah Iran, Anatolia, dan Asia Tengah, Ibn Battuta akhirnya singgah di tepi sungai Indus, tepi barat India, yang dikuasai oleh Muhammad Shah II, penguasa Islam di Delhi. Ibnu Battuta kemudian diangkat sebagai Qadi di Delhi dengan gaji 12.000 dirham perbulan, termasuk fasilitas tempat tinggal dan bonus 12.000 dinar. Tentu saja hal ini membuat Ibnu Battuta menjadi orang kaya mendadak.
Dua tahun berselang, kekacauan mulai pecah di banyak wilayah. Tujuh tahun kemudian, pemberontakan terjadi di mana-mana. Ibnu Battuta melihat kesultanan Delhi mulai rapuh, sehingga ia meminta izin untuk berhaji ke Makkah. Namun, sultan justru mengirim Ibnu Battuta memimpin 15 orang perwakilan diplomatik ke Cina, beserta berbagai hadiah untuk diserahkan kepada dinasti Yuan, Toghon Timur. Ibnu Battuta tidak melepas kesempatan berharga ini untuk mengunjungi negeri yang belum pernah ia kunjungi.
Persinggahan di Samudera Pasai
Dalam perjalanan menuju Cina, Ibnu Battuta sempat singgah di Samudera Pasai. Dalam catatannya, ia menyebut Samudera Pasai sebagai “negeri yang hijau”. Saat itu, Samudera Pasai di bawah kekuasaan Sultan Malik al-Zahir, salah satu dari tujuh raja yang ia kagumi. Sultan Malik al-Zahir menyambut hangat kehadiran Ibnu Battuta. Ibnu Battuta terkesan melihat keagungan Samudera Pasai. Ia pun menulis, “Samudera Pasai menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara. Pusat studi Islam yang dibangun di lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama dan elit kerajaan.”
Dalam catatan selanjutnya, Ibnu Battuta menyebut Sultan Mahmud Malik al-Zahir adalah pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. Pribadinya sangat rendah hati. Ia berangkat ke masjid untuk shalat Jum’at dengan berjalan kaki. Selesai shalat, sultan dan rombongan biasa berkeliling kota melihat keadaan rakyatnya. Ia memiliki ghirah (semangat) belajar yang tinggi untuk menuntut ilmu-ilmu Islam kepada ulama.
Penjelajahan tersebut dikisahkan kembali Ibnu Battuta yang kemudian ditulis oleh Ibnu Jauzi, juru tulis Sultan Maroko, Abu Enan. Karya itu diberi judul Tuhfah al Nuzzar fi Ghara’ib al Amsar wa Ajaib al Asfar (Persembahan Seorang Pengamat tentang Kota-Kota Asing dan Perjalanan Mengagumkan). Ibnu Battuta wafat pada tahun 1369 M, atau 12 tahun setelah ia menulis Rihla. Ibnu Battuta, sang penjelajah dunia telah meninggalkan warisan berharga melalui catatan perjalanannya, yang di kemudian hari menginspirasi banyak orang menjelajahi dunia.
Sumber: suaramuhammadiyah.id