Bagi Ahlus Sunnah Wal Jama’aah, tidak ada perbedaan mengenai keagungan sosok ini. Beliau adalah figur yang paling paling disayang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Selama hidup nabi, Khalifah pertama ini selalu bersama beliau baik susah maupun duka; kaya maupun papa; bahagia maupun sengsara. Begitu banyak keagungan yang dimiliki oleh sahabat yang berjuluk Ash-Ashiddiq ini, sampai-sampai beliau adalah di antara orang yang memiliki keistimewaan bisa masuk surga dari berbagai pintu (HR. Bukhari, Muslim).
Sebenarnya, masih banyak kelebihan lain yang tak mungkin disebut semua. Hanya saja, kalau mau belajar pada Abu Bakar, maka yang patut diteladani, kata kuncinya adalah: taat.
Ketika Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu mencegah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu memerangi kaum yang murtad dan menolak membayar zakat, Abu Bakar dengan lantang menjawab, “Demi Allah! Seandainya mereka enggan membayar zakat walaupun hanya seutas tali onta, yang biasa mereka tunaikan pada Rasulullah, sungguh akan aku perangi mereka. Sesungguhnya zakat adalah hak harta, demi Allah! Akan aku perangi orang yang bembeda-bedakan antara shalat dan zakat.” (HR. Bukhari).
Peristiwa ini, merupakan di antara sekian peristiwa yang menggambarkan ketaatan Abu Bakar kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam.
Menurutnya, zakat merupakan perkara wajib, dan merupakan rukun Islam, karenanya sebagai umat Islam wajib membayarnya jika mampu dan tidak boleh membedakan status hukumnya dengan rukun-rukun lain yang sudah final. Bila tidak maka pondasi Islam akan hancur, dan tentu ini sangat membahayakan bagi kekokohan umat Islam yang ketika itu baru saja kehilangan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dengan pandangan dangkal dan tak teliti barangkali akan ada yang menganggap bapak Aisyah ini egois dan menolak nas yang sudah tetap berupa: larangan memerangi orang yang sudah bersyahadat dan shalat. Jika kita mempunyai pandangan demikian, perlu kiranya dipertimbangkan, diteliti kembali, bahkan dikoreksi. Abu Bakar radhilallahu ‘anhu sama sekali tidak menolak nas yang sudah tetap; ia juga tidak egois apalagi berpikir pragmatis. Satu-satunya jawaban yang bisa menjelaskan sikap Abu Bakar ialah gelora ketaatan yang terjaga dengan baik di dalam jiwanya.
Sikap keras yang ditunjukkannya pada peristiwa ini, meski menyalahi karakter lemah lembut dan kasih sayang yang biasa ditampakkan, justru menggambarkan kapasitas ketaatan Abu Bakar kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasulnya shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada setiap jengkal dari kehidupan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, spirit ketaatan akan selalu dirasakan. Beliau adalah sahabat yang terdepan dalam ketaatan dan praktiknya. Karenanya, tak heran jika anak Abu Kuhafah ini meraih “tropi kehormatan” menjadi orang yang paling dicintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari kalangan laki-laki.
Sebagai sahabat yang memiliki nalar kuat, saat itu Umar radhiyallahu ‘anhu memang sempat membantah pendapat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, karena Ia berlandaskan pada hadits: “Aku diperintah memerangi manusia, hingga mereka bersyahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku utusan Allah…., jika mereka melakukan itu, maka darah dan harta mereka akan dilindungi.” (HR. Bukhari, Muslim).
Bila mau digambarkan, kira-kira logika Umar radhiyallahu ‘anhu demikian: Orang yang sudah bersyahadat itu dilarang diperangi. Sedangkan orang yang diperangi Abu Bakar itu, adalah orang yang bersyahadat dan bahkan melaksanakan shalat. Dengan demikian, kesimpulannya, memerangi orang bersyahadat itu dilarang karena menyalahi hadits di atas.
Namun pada faktanya, Abu Bakar tetap bersih keras memerangi mereka, karena ini bukan sekadar masalah logis atau tidak, di sana ada hal yang sangat penting yang melampau nalar atau logika, yaitu “ketaatan”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selama hidupnya tidak pernah membeda-bedakan antara kewajiban shalat dan zakat. Karena itu Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah akan aku perangi orang yang membeda-bedakan antara shalat dan zakat!” Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, dengan spirit ketaatan yang dimiliki, memandang bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam selama hidup tidak pernah membedakan antara shalat dan zakat, karena itu kita harus menaatinya, jadi siapa saja yang tidak taat dengan ketetapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan membeda-bedakan tentang kewajibannya maka patut diperangi karena sama saja telah menolak masalah-masalah fundamental yang berkonsekuensi murtad dari agama. Lantaran mereka murtad, maka wajib diperangi.
Melalui dialog yang panjang akhirnya Al-Faruq radhiyallahu ‘anhu berlapang dada bahwa pendapat yang benar adalah pendapat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Pada realitanya, ketaatan ini berbuah kemenangan gemilang: negara kembali setabil dan persatuan semakin terjaga baik.
Dari peristiwa ini, kita bisa belajar kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu bagaimana sejatinya ketaatan.
Pertama, selama itu adalah perintah dari Al-Qur`an dan Hadits shahih, maka tidak ada reserve di dalamnya. Kedua, ketika taat berhadapan dengan logika, maka taat didahulukan, meski bukan berarti menafikan nalar sama sekali. Ketiga, ketaatan butuh bukti nyata, bukan sekadar retorika. Keempat, ketaatan membutuhkan nyali keberanian. Kelima, ketaata berbuah keberuntungan. Wallahu a’lam.*/Mahmud Budi Setiawan
Sumber: hidayatullah.com