Dalam kitab Tadzkirah al-Auliya’, Fariduddin Attar mengisahkan kebaikan dan keramahan Imam Abu Yazid. Diceritakan:
أنه كان له جارٌ مشرك، وكان لذلك الجار طفل, فبكي في بعض الليالي فلم يكن لهم سراج يستضيئون بضوئه، فقام الشيخ وأخذ السراج بيده ودخل بيت المشرك، ولما رأي الطفل ضوء السراج سكن بكاؤه، وقال المشرك: أليس حيف علينا أن نبقي علي ظلمتنا بعدما جاء إلينا أبو يزيد بالضوء، فآمن وآمن معه أهله كلهم ببركة قدم أبي يزيد رحمه الله وأعماله
Imam Abu Yazid bertetangga dengan orang musyrik. Tetangganya itu memiliki seorang anak kecil. Di suatu malam, anak kecil itu menangis karena mereka tidak memiliki sentir (lampu minyak)yang menerangi rumah mereka.
Imam Abu Yazid berdiri mengambil lampu minyak dengan tangannya sendiri dan membawanya masuk ke rumah tetangga musyriknya itu.
Ketika anak kecil itu melihat cahaya lampu minyak, tangisannya berhenti. Lalu orang musyrik itu berkata:
“Bukankah kita telah berlaku aniaya pada diri kita sendiri karena tetap dalam kegelapan, meskipun Abu Yazid telah datang kepada kita membawa cahaya.”
Kemudian orang musyrik itu beriman beserta seluruh keluarganya, dengan sebab barakah kedatangan Abu Yazid dan amal perbuatannya. (Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliya’, alih bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashiliy al-Wasthani al-Syafi’i (836 H), Damaskus: Darul Maktabi, 2009, hlm 195).
****
Berbuat baik tidak harus memandang bulu. Siapa saja berhak menerima kebaikan kita, entah itu perampok, pencuri ataupun pengelana. Semuanya memiliki hak yang sama untuk diperlakukan sebagai manusia. Begitulah Imam Abu Yazid al-Bisthami, meniru Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, berlaku baik pada siapa pun tanpa memandang agama atau suku bangsa tertentu.
Apa yang dilakukan Imam Abu Yazid, mungkin saja tidak memiliki tujuan dakwah. Tapi murni berasal dari kebaikannya. Kebaikan yang lahir karena penjagaannya terhadap tobat, istiqamah, dan sabar. Sehingga ketulusan tidak lagi datang harus diundang, apalagi dibuat-buat, tapi telah menjadi atribut dari dirinya. Kapan saja Ia bertemu orang-orang yang membutuhkan, Ia akan menolong mereka tanpa berpikir panjang, tanpa menghitung untung dan rugi.
Yang sering disalah-pahami adalah, anggapan bahwa membantu sama saja dengan setuju. Saat Imam Abu Yazid membantu atau berbuat baik kepada orang musyrik, bukan berarti Ia setuju dengan kemusyrikannya. Begitu pula ketika Ia menolong pencuri, bukan berarti Ia setuju dengan kejahatannya. Memandang manusia harus sebagai manusia, dan Allah mengajarkan kita untuk memuliakannya (laqad karramna bani Adam). Habib Ali al-Jufri dalam pidatonya mengatakan:
أكره كفر الكافر ولا أكره الكافر, أكره معصية العاصي ولا أكره العاصي
“Aku membenci kekafiran orang kafir, tapi aku tidak membenci orang kafir. Aku membenci kemaksiatan ahli maksiat, tapi aku tidak membenci ahli maksiat.”
Beginilah seharusnya manusia memandang lainnya. Jangan benci manusianya, tapi bencilah perbuatannya. Dan, cara membenci yang paling benar adalah, dengan cara meluruskannya. Bukan dengan caramenghardik, memvonis dan melaknat. Proses meluruskan pun harus menggunakan pertimbangan akhlak yang luhur.
Contohnya, suatu waktu ada seorang sufi melintasi para pemuda yang sedang berpesta minuman keras. Sufi itu tidak menghardik mereka dengan mengatakan, “Ini haram! Kalian telah berbuat dosa!” Sufi itu malah mendoakan mereka agar mendapatkan kebahagiaan di akhiratseperti halnya mereka berbahagia di dunia (berpesta pora).Sebab, orang yang tengah mabuk tidak mungkin dapat menerima keindahan tutur kata, apalagi hardikan yang menyakitkan. Sufi itu menunggu saat yang tepat untuk mengajak mereka menghindari keburukan dan mendekati kebaikan.
Imam Abu Yazid al-Bistham sangat memahami hal itu. Setiap perbuatannya berdasarkanakhlak Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena itu, jika diperhatikan dengan seksama, perilakunya dalam kisah di atas telah menguraikan beberapahal. Pertama, memuliakan tetangga seperti yang diperintahkan Rasul. Kedua, memuliakan tetangga lainnya, dengan menghentikan tangisan anak kecil di malam hari yang dapat mengganggu orang tidur. Ketiga, kedermawanan tanpa pamrih. Harga lampu minyak di saat itu tidaklah murah, termasuk barang berharga. Dan keempat, menghadirkan kebahagiaan dan kenyaman di rumah tetangganya.
Karena itu, cahaya oleh kepala keluarga musyrik itu dipandang sebagai perlambang, sebuah simbol.“Bukankah kita telah berlaku aniaya pada diri kita sendiri karena tetap dalam kegelapan, meskipun Abu Yazid telah datang kepada kita membawa cahaya,” begitulah katanya. Dengan kata lain, Imam Abu Yazid telah menghadirkan kebahagiaan dan kenyamanan untuk seluruh anggota keluarga orang musyrik itu, khususnya anak kecil.
Lalu, bagaimana dengan kita? Mampukah kita mengajak diri kita sendiri untuk mulai membiasakan kebaikan dan mengasingkan keburukan sebelum kita mengajak orang lain untuk melakukannya? Wallahu a’lam.
Oleh: Muhammad Afiq Zahara, alumnus Pondok Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Sumber: nu.or.id