Tidak ada kata terlambat untuk berbuat kebaikan. Menuntut ilmu misalnya, ada kata mutiara: “Tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat.” Meskipun ada juga kata mutiara lain, “Belajar di usia belia bagaikan mengukir di atas batu, sedangkan di usia tua bagai mengukir di atas air,” itu sama sekali tidak menutup peluang usia tua untuk berkontribusi dalam kebaikan.
Ada banyak contoh dalam sejarah yang menunjukkan orang baru mulai berbuat kebaikan ketika usianya sudah tidak lagi muda. Musa bin Nushair, panglima yang ditugasi membebaskan Andalusia, pada waktu penaklukan Spanyol, usianya sudah 72 tahun; Yusuf bin Tasyfin panglima terkenal dari Daulah Murabithun, baru disiplin dengan agama Islam ketika usianya 46 tahun (Raghib As-Sirjani, Kaifa Tushbihu ‘Aliman, 202) Kedua pahlawan ini adalah contoh orang-orang brilian yang baru memulai kontribusi besar kebaikannya ketika sudah berusia tua.
Jauh sebelum itu, ada sosok panglima besar bernama Khalid bin Walid RA. yang baru masuk Islam ketika usianya 47 tahun. Rekannya, Amru bin Ash juga masuk Islam pada usia 57 tahun. Meski masuk Islam di usia yang tak lagi muda, namun gelora mereka adalah gelora para pemuda. Khalid bin Walid yang berjuluk Saifullah Maslul (Pedang Allah yang Terhunus), dalam setiap pertempuran tidak pernah mengalami kekalahan, dan bisa membebaskan Persia dan Negeri Syam di usianya yang semakin senja. Demikian juga Amru bin Ash RA. Sejarah mencatat beliau sebagai sahabat yang berjasa besar dalam membebaskan Mesir dari cengkraman Romawi.
Lebih dari itu, Imam Ibnu Jauzi juga bisa dijadikan teladan. Seorang ulama besar dan terkenal dari madzhab Hanbali ini baru menyempurnakan 10 macam bacaan al-Qur`an kepada para Syekh di kala usianya sudah melebihi 80 tahun. Mengenai hal ini, Syekh Islam Ibnu Taimiyah pernah berujar, “Tidak ada seorang pun yang aku ketehui mengarang buku seperti dirinya. Pada setiap cabang ilmu, ada karangannya. Tapi, ada satu cabang yang belum dikuasai sejak mudanya dan baru ditekuni ketika usianya lebih dari 80 tahun, yaitu Ilmu Qiraat.”
Contoh-contoh yang disebutkan tadi berasal dari masa lalu. Dari masa sekarang pun ada banyak inspirasi yang bisa dijadikan pelajaran bahwa usia tua tidak menghalangi diri untuk berbuat kebaikan. Lebih sepesifik, contoh berikut adalah tentang orang-orang yang baru menghafal al-Qur`an di usianya yang tak lagi muda.
Pertama, Muhammad Abdul Quddus. Seorang kakek berusia 55 tahun berhasil menghafal al-Qur`an di Jedah. Meskipun ia adalah perantau, di usianya yang ke 55 bertekad kuat untuk menghafalkan al-Qur`an. Dirinya tidak mau kalah dengan para pemuda. Ia mengikuti halaqah Syekh Muhammad Syabih Habib, seorang guru di Jam’iyyah Qur’an Karim (Asosiasi Al-Qur`an al-Karim) di Jeddah.
Hasilnya sungguh fantastis, dua tahun kemudian, beliau tercatat sebagai penghafal al-Qur`an. Lebih dari itu, predikat yang didapatkannya adalah mumtaz (excellent).
Kedua, Muhammad bin Abdullah Musa. Kakek asal Jedah ini baru hafal al-Qur`an ketika usianya sudah 70 tahun. Keberhasilannya menghapal al-Qur`an di usia senja. Ia membuktikan bahwa pepatah yang mengatakan, “Belajar di masa tua, bagai mengukir di atas batu,” tidak sepenuhnya benar.
Ketiga, lebih mengharukan, ada seorang nenek yang buta huruf bisa menghafal al-Qur`an di atas usia 70 tahun. Nenek yang memiliki nama Ummu Thaha ini tidak mau menyerah dengan kondisi yang ada. Semangat belajarnya begitu luar biasa. Makanya, tidak heran jika pada akhirnya nenek yang tinggal di Zarqa (Yordania) dan berprofesi sebagai tukang jahit ini mampu menghafal al-Qur`an di usia udzur.
Keempat, ada sosok nenek yang baru hafal al-Qur`an ketika berusia 80 tahun. Nenek yang bernama Ummu Shalih ini, membuktikan bahwa usia bukanlah menjadi penghalang untuk menghafal al-Qur`an. Kiikutsertaannya dalam menghafal al-Qur`an diawali dengan mengikuti tahsin (perbaikan pelafalan al-Qur`an) di usia 70 tahun. Dengan tekad baja, dan ketekunan tiada lelah, beliau berhasil menghafal al-Qur`an ketika sudah menginjak usia 80 tahun.
Kelima, yang lebih fenomenal adalah Ummu Thalal Al-Muthari. Seorang nenek dari Saudi Arabia yang butah huruf. Tapi, tekadnya yang sungguh luar biasa membuatnya hafal al-Qur`an di usianya yang ke 86 tahun (Salafuddin Abu Sayyid, Balita pun Hafal Al-Qur`an, 112-139).
Beberapa contoh di atas bisa diambil pelajaran baik bagi para pemuda maupun orang yang sudah tua. Bagi pemuda, manfaatkanlah waktu potensialmu untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat seperti menuntut ilmu, menghafal al-Qur`an dan lain-lain. Jangan sampai usia muda disia-siakan, apalagi sampai kalah dengan yang berusia senja. Adapun bagi yang sudah tua, tidak ada istilah terlambat. Contoh di atas adalah bukti konkret bahwa usia bukanlah pantangan untuk berbuat kebaikan.
Sebagai penutup, sabda nabi berikut bisa direnungi:
إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَ فِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيْلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ تَقُوْمَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا
“Sekiranya hari kiamat hendak terjadi, sedangkan di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit kurma maka apabila dia mampu menanam sebelum terjadi kiamat maka hendaklah dia menanamnya.” (HR. Bukhari, Ahmad) Hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa kebaikan dilakukan tidaklah mengenal usia. Selagi sempat, maka teruslah berbuat, walau sebentarlagi kiamat. Wallahu a’lam.*/Mahmud Budi Setiawan
Sumber: hidayatullah.com