Dalam kitab al-Tamhid li ma fi al-Muwatha min al-Ma’ani wa al-Asanid, Imam Abu ‘Amr Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Bar meriwayatkan sebuah perbincangan antara Imam Ibnu Shihab al-Zuhri (w. 741) dengan Imam Isma’il bin Muhammad bin Sa’ad bin Abi Waqash. Diceritakan:
حدثنا يحيى بن آدم ، قال: حدثنا ابن المبارك، عن مصعب بن ثابت، عن إسماعيل بن محمد بن سعد، عنعامر بن سعد، عن أبيه، قال رأيت رسول الله-صلى الله عليه وسلم-يسلم عن يمينه وعن يساره كأني أنظر إلى صفحة خده صلى الله عليه، فقالالزهري: ما سمعنا هذا من حديث رسول الله-صلى الله عليه وسلم-، فقال له إسماعيل بن محمد: أكل حديث رسول الله قد سمعته؟ قال: لا، قال: فنصفه؟ قال: لا، قال: فاجعل هذا في النصف الذي لم تسمع
Menceritakan kepada kami Yahya bin Adam, ia berkata: Ibnu Mubarak menceritakan kepada kami dari Mush’ab bin Tsabit, dari Ismail bin Muhammad bin Sa’ad, dari Amir bin Sa’ad, dari ayahnya. Ia berkata: “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan salam (dalam shalat) dengan menoleh ke kanan dan ke kiri seakan-akan aku melihat sisi pipi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(Mendengar itu) Imam al-Zuhri berkata: “Aku tidak pernah mendengar hal semacam ini dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Imam Isma’il bin Muhammad berkata kepadanya: “Apakah kau telah mendengar semua hadits Rasulullah?”
Ia menjawab: “Tidak.”
Imam Isma’il bertanya lagi: “Barangkali setengahnya?”
Imam al-Zuhri menjawab: “Tidak.”
Imam Isma’il berkata: “Anggaplah (jadikanlah) hadits ini berada di setengah hadits yang tidak pernah kau dengar.” (Ibnu Abdil Bar, Tamhid li ma fi al-Muwatha min al-Ma’ani wa al-Asanid, Maghrib: Wazarah al-Awqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah, 2009, juz 1, hlm 131).
****
Sebelum menelaah lebih dalam hikmah kisah di atas, baiknya kita mengetahui dulu, bahwa tidak semua madzhab fiqih dan ulama-ulamanya menganjurkan dua salam ketika menutup shalat. Sebagian besar ulama Malikiyyah melakukan satu kali salam. Dasarnya hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah (H.R. Imam Ahmad): “tsumma yusallimu taslîmatan wâhidatan—kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan satu kali salam.” Ulama Syafi’iyyah melakukan dua kali salam, dasarnya hadits di atas dan berbagai macam hadits yang maknanya sama dengan redaksi yang berbeda-beda.
Kisah di atas, dalam beberapa riwayat, diawali oleh pertanyaan Imam Ibnu Shihab al-Zuhri pada Imam Isma’il bin Muhammad yang melakukan salam dua kali. Ia bertanya, “dari mana dasar hukum amalan itu?” Kemudian Imam Isma’il bin Muhammad menyitir sebuah hadits, “Aku melihat Rasulullah melakukan salam (dalam shalat) dengan menoleh ke kanan dan ke kiri seakan-akan aku melihat sisi pipi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Imam al-Zuhri belum puas dengan jawaban itu, ia mengatakan belum pernah mendengar hadits semacam itu. Imam Isma’il menjawabnya dengan pertanyaan, “Apakah kau telah mendengar semua hadits Rasulullah?” Imam al-Zuhri menjawab tidak. “Barangkali setenganya?” Imam al-Zuhri tetap menjawab tidak. Kemudian Imam Isma’il bin Muhammad mengatakan: “Anggaplah hadits ini berada di setengah hadits yang tidak pernah kau dengar.” Dalam riwayat lain, Imam al-Zuhri tersenyum dan mengangguk puas mendengar jawaban Imam Isma’il bin Muhammad.
Hal inilah yang diajarkan oleh para salaf al-shalih, menghargai perbedaan dengan pengetahuan. Imam al-Zuhri yang pernah bertemu dan belajar langsung dengan Said bin Musayyab, Urwah bin Zubair dan Kharija bin Zaid bin Tsabit dapat menerima argumentasi Isma’il bin Muhammad, salah satu guru Imam Malik bin Anas. Meskipun demikian, Imam al-Zuhri tetap dalam pendiriannya (satu kali salam), dan Imam Isma’il bin Muhammad tetap dalam pendapatnya. Masing-masing mereka saling menghargai dan menghormati.
Dalam pertemuannya dengan Isma’il bin Muhammad, Imam al-Zuhri mempelajari sesuatu, bahwa tidak semua yang kita tidak tahu adalah salah,khususnya dalam hal agama. Dan, tidak semua yang kita tahu sudah pasti benar. Kebenaran sangat mungkin bertempat dalam hal-hal yang belum kita ketahui. Karena alasan itu, para ulama masa lalu tidak pernah berhenti belajar dan tidak mudah menyalahkan. Ilmu terlalu luas untuk dijadikan sebagai penghakim kesalahan tanpa menelaahnya terlebih dahulu. Sebab, watak dari ilmu adalah telaah. Tabayyun yang dilakukan Imam al-Zuhri kepada Imam Isma’il bin Muhammad merupakan salah satu dari watak ilmu.
Kisah di atas seharusnya diperlakukan sebagai pembuka cakrawala kita dalam memaknai perbedaan. Bahwa, belum tentu hal yang tidak sesuai dengan ilmu dan pengetahuan kita itu salah. Ketika kita melihat orang shalat tanpa menaruh tangannya di atas perut, kita tidak bisa serta merta menyalahkan mereka. Meski hal itu tidak berada dalam database pengetahuan kita. Apalagi jika kita tidak pernah mempelajari agama secara bertahap, intensif dan benar.
Garis besar kisah di atas adalah, jangan mudah menyalahkan amaliah orang lain. Bisa jadi yang diamalkannya berdasarkan dalil yang kita tidak ketahui. Begitupun sebaliknya, jangan sampai pengetahuan kita membuat kita gemar menyalahkan amaliah orang lain. Sebab, apa arti berilmu jika tidak membuat kita rendah hati, dan apa arti berilmu jika membuat kita menyombongkan diri. Rabbi zidnî ‘ilma warzuqnî fahma. Amin.
Oleh: Muhammad Afiq Zahara, alumnus Pondok Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Sumber: nu.or.id