Dalam kitab Raudl al-Rayahin fi Hikayah al-Shalikhin, Imam Afifuddin Abdullah bin As’ad al-Yafi’i (696-768 H) menceritakan sekelompok sufi yang datang ke sebuah kota dan melihat seekor anjing mengikutinya. Diceritakan:
قال: كنا جماعة في بعض البلاد فخرجنا إلي باب البلد في بعض الأيام فتبعنا كلب من البلد فلما بلغنا الباب إذا نحن بدابة ميتة فلما نظر الكلب إليها رجع إلي البلد ثم عاد بعد ساعة ومعه نحو عشرين كلبا فجاءت إلي الميتة وأكلت منها وذلك الكلب قائم ينظر من بعيد إلي أن فرغت الكلاب من الأكل وقضت وطرها وصدرت فورد وأكل من سؤرها من العظام وما بقي عليها ثم انصرف
Seorang sufi berkata: Kami berada di sebuah kota. Suatu ketika kami keluar menuju gerbang kota tersebut. Seekor anjing mengikuti kami. Saat kami sampai di gerbang, kami melintasi bangkai hewan.
Ketika anjing itu melihatnya, dia kembali ke dalam kota. Beberapa saat kemudian dia datang bersama sekitar dua puluh anjing lainnya mendekati bangkai hewan itu. Anjing-anjing itu memakannya.
Namun, anjing yang mengikuti kami itu hanya berdiri memandang dari kejauhan hingga teman-temannya selesai makan, memenuhi kebutuhannya dan pergi.
Kemudian anjing yang mengikuti kami itu mendekat dan memakan sisa-sisa daging di tulangbangkai itu dan apa yang tersisa darinya, lalu dia pergi. (Afifuddin Abi al-Sa’adat Abdullah bin As’ad al-Yafi’i al-Yamani, Raudl al-Rayahin fi Hikayah al-Shalihin, Kairo: Maktabah Taufiqiyyah, tt, hlm 147-148).
****
Belajar bisa dari mana saja. Semua yang ada di dunia ini adalah madrasah. Dari mulai dedaunan yang gugur, ikan yang berenang, hingga kisah Iblis yang menentang. Semuanya dapat dijadikan pelajaran, apalagi seekor anjing, yang namanya diharumkan dalam al-Qur’an, sahabat Ashab al-Kahfi yang membantu dan menolong mereka. Binatang yang diakui kemuliaannya oleh al-Qur’an (baca Q.S al-Kahfi [18]: 18).
Anjing yang mengikuti para sufi itu menampakkan kedermawanan, kesetia-kawanan dan akhlak yang baik. Dia tidak memakan bangkai hewan itu sendirian, mengenyangkan dirinya terlebih dahulu, baru memanggil teman-temannya. Dia bergegas kembali, memanggil teman-temannya dan membiarkan mereka makan terlebih dahulu, sedangkan dia memandang dari kejauhan. Setelah teman-temannya kenyang dan pergi, dia baru menghampiri bangkai itu dan memakan apa yang tersisa.
Tidak semua manusia dapat melakukan apa yang anjing itu lakukan. Mungkin sangat sedikit manusia yang dapat melakukannya. Manusia memiliki kerakusan di atas rata-rata, yang membuatnya bisa lebih mulia dari binatang—jika dapat mengendalikannya—atau lebih hina dari mereka. Binatang tidak pernah menimbun persediaan makanan atau harta benda, tapi manusia, meski telah berlimpah harta, untuk memenuhi gaya hidupnya masih butuh korupsi, berbohong dan menipu. Maka penting bagi manusia untuk belajar dari anjing dalam kisah di atas, yang menunggu kenyang demi teman-temannya.
Belajar sama saja dengan menuntut ilmu, hukumnya wajib bagi siapa saja. Memperhatikan cara alam semesta bekerja adalah belajar memperkaya persepsi, mengambil hikmah darinya, serta membuka banyak kemungkinan tentang kebenaran. Begitu beragamnya tafsir satu ayat al-Qur’an adalah bukti banyaknya kemungkinan tentang kebenaran. Wajar saja jika belajar selalu dikawinkan dengan kata “tiada akhir”, belajar tiada akhir, dari mulai buaian hingga masuk ke liang lahat. Karena ilmu Allah begitu luas, yang tidak akan habis dipelajari dari mulai dunia ini diciptakan sampai kiamat didengungkan.
Meski demikian, belajar tidak boleh serampangan. Imam Ibrahim bin Adham memberi saran:
أطلبوا العلم للعمل فإن أكثر النّاس قد غلطوا حتي صار علمهم كالجبال وعملهم كالذر
“Carilah ilmu untuk beramal, kebanyakan manusia telah keliru, sehingga menjadikan ilmunya setinggi gunung tapi amalnya sekecil debu.” (Abdul Wahab al-Sya’rani, Thabaqat al-Kubra, Kairo: Maktabah al-Tsaqah al-Diniyyah, 2005, hlm 129)
Dengan kata lain, mencari ilmu harus bertujuan untuk menjadi pribadi yang lebih baik (beramal), bukan sekadar memperluas cakrawala pengetahuan. Pengetahuan tanpa amal tak ubahnya rumah megah tanpa orang, suwung. Amal harus dijadikan tujuan dalam menuntut ilmu. Tanpa amal, ilmu akan kurang manfaatnya. Sedangkan, “khairun-nâs anfa’uhum lin-nâs—sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
Apa yang dilakukan anjing dalam kisah di atas patut kita pelajari, kemudian memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika Nabi Sulaiman saja berkenan mendengar penjelasan dari burung hud-hud (baca Q.S. an-Naml: 22), kenapa kita enggan mengambil pelajaran dari kemurahan hati seekor anjing? Bukankah Kanjeng Rasul memerintahkan kita untuk bertafakkur atas semua ciptaan Allah? Dan anjing adalah salah satu ciptaanNya. Lalu kenapa kita harus membatasi diri? Rasulullah bersabda (H.R. Imam Abu Nu’aim):
تفكروا في خلق الله، ولا تفكروا في الله
“Berpikirlah tentang makhluk Allah, jangan berpikir tentang Allah (karena akal manusia tidak akan mampu).”
Hadits tersebut adalah pendorong bahwa kita harus mengambil pelajaran dari semua makhluk Allah. Setiap ciptaan Allah adalah buku yang harus dibaca, diambil manfaatnya, dan disebarkan kegunaannya.Sudahkah kita melakukannya? Wallahu a’lam..
Oleh: Muhammad Afiq Zahara
Sumber: nu.or.id