Shalat adalah salah satu amal utama dan mulia dalam Islam. Selain shalat wajib lima kali dalam sehari semalam, ada pula shalat sunah yang dianjurkan untuk dikerjakan dalam kondisi atau tujuan tertentu, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.
Salah satunya adalah shalat hajat. Shalat ini dilakukan selain sebagai bentuk ibadah kepada Allah, juga untuk meminta sesuatu hajat atau kebutuhan yang spesifik kepada Allah terkait urusan dunia, seperti meminta rezeki, kesehatan, lepas dari kesulitan atau hal baik lainnya.
Muhammad Shiddiq al-Mansyawi dalam kitabnya, Mafatih al- Faraj, menjelaskan bahwa shalat memberikan pengaruh menakjubkan dalam menepis keburukan di dunia dan akhirat. Shalat itu sesungguhnya penghubung antara hamba dan Tuhannya, wahana bermikraj kepada Tuhannya yang Mahaagung.
Karena hubungan itu, terbukalah baginya pintu-pintu kebaikan dan terputuslah sebab-sebab keburukan. Selain itu, mengalirlah mata air taufik (hidayah), kesehatan, kekayaan, keleluasaan, kenikmatan, kegembiraan, dan kesenangan. Semua datang bergegas kepadanya.
Dalam hadis misalnya disebutkan, ketika Rasulullah ditimpa kesempitan rezeki, beliau memerintahkan keluarganya untuk mengerjakan shalat hajat, kemudian beliau membaca ayat, “Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS Thaha [20]: 132). (HR Abdurrazzaq dalam kitab al-Mushannaf).
Dalam kitab Mu’jam ash-Shaghir, ath-Thabrani mengisahkan, ada seorang laki-laki memiliki kebutuhan (hajat), kemudian ia memintanya kepada Khalifah Utsman bin Affan. Namun, Utsman tidak memberikan apa yang dimintanya. Kemudian, laki-laki itu pun datang menemui Utsman bin Hunaif, mengadukan persoalannya kepadanya.
Utsman bin Hunaif lantas menyuruhnya untuk melaksanakan shalat hajat seperti dicontohkan Rasulullah. Setelah itu, ia disuruh untuk kembali menemui Utsman bin Affan. Tidak disangka, kali ini Utsman bin Affan mengabulkan apa yang dimintanya. Selanjutnya, ia menemui Utsman bin Hunaif untuk berterima kasih karena telah mengajarkan shalat hajat.
Rasulullah sangat menekankan perlunya shalat hajat bagi orang yang punya keperluan. Dalam shalat itu, ia berdoa kepada Allah agar mempermudah jalannya, melapangkan rezekinya, atau hal-hal baik lainnya dalam kehidupan dunia. Karena manusia tidak selalu dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dan kerap untuk memenuhinya menemui jalan berliku, bahkan tampak berat dan sulit.
Dengan shalat hajat, berarti ia melibatkan Allah dalam kehidupannya karena percaya Dia pasti bisa membantunya. Shalat hajat mendekatkan seseorang dengan Allah, sehingga dengan kedekatan itu Allah pun memberikan bantuan-Nya.
Tidak ada yang sulit bagi Allah. Manusia bisa jadi menganggap sesuatu sulit, tetapi bagi Allah sangatlah ringan. Kuncinya adalah apakah seseorang mau mendekati Allah melalui shalat hajat atau tidak? Orang beriman sejati akan selalu bersikap rendah diri di hadapan Allah dan selalu meminta kepada-Nya tanpa melupakan- Nya.
Ia sadar ada kekuatan besar yang melampaui apa pun. Kekuatan yang jika diminta dengan tulus akan selalu diberi. Itulah kekuatan Allah. Rasulullah mengatakan, “Apabila kamu ingin meminta tolong, mintalah kepada Allah.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Shalat hajat adalah bentuk permintaan tolong seseorang kepada Allah. Inilah kunci pembuka atas segala kesulitan, kesusahan, atau yang lainnya dalam kehidupan dunia. Karena itulah, Rasulullah menegaskan, “Barang siapa mempunyai kebutuhan (hajat) kepada Allah atau kepada seseorang maka berwudhulah dengan sebaikbaiknya, kemudian dirikanlah shalat dua rakaat (shalat hajat), lalu memuji Allah (membaca tahmid, tasbih, dan takbir), kemudian membaca shalawat.” (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Wallahu a’lam.
Sumber: republika.co.id