Di antara sifat tercela dan berbahaya yang perlu dihindari orang beriman adalah tamak atau rakus terhadap harta benda. Nabi SAW pernah menggambarkan orang tamak yang tak pernah merasa cukup dengan apa yang telah dimiliki. “Seandainya manusia diberi lembah penuh dengan emas, maka ia masih menginginkan lembah yang kedua semisal itu. Jika diberi lembah kedua, ia pun masih menginginkan lembah ketiga. Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan dengan tanah. Allah tentu menerima tobat bagi siapa saja yang bertobat.” (HR al-Bukhari).
Ibnu Bathal dalam kitabnya, Syarh Shahih al-Bukhari, menjelaskan, hadis ini adalah celaan bagi orang yang terlalu tamak dengan dunia dan tujuannya hanya ingin memperbanyak harta. Oleh karena itu, para ulama begitu qanaah dan selalu merasa cukup dengan harta yang mereka peroleh.
Keinginan untuk memiliki harta yang banyak memang tidak terlarang, bahkan sangat dianjurkan selama dicari dengan jalan yang halal dan benar, kemudian digunakan untuk kebaikan, seperti bersedekah, berzakat, berhaji, atau amal-amal sosial lainnya. Jadi, harta dicari sebagai sarana beramal saleh untuk bekal di akhirat.
Harta bukan dicari lalu ditimbun tanpa pernah disalurkan di jalan kebaikan. Orang tamak selalu mencari harta tanpa pernah merasa cukup atau punya keinginan untuk menyalurkannya di jalan kebaikan. Harta ingin ia peroleh sendiri sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan halal-haram atau untuk apa harta itu nantinya.
Orang yang tamak, kata Ibnu al-Jauzi dalam kitabnya, ath-Thibb ar-Ruhani, akan dikuasai nafsunya. Pada gilirannya, itu akan menghancurkan dirinya. Ia mengatakan, jika sifat tamak dibiarkan lepas kendali maka ia akan membuat seseorang dikuasai nafsu untuk sepuas-puasnya. Sifat ini menuntut terpenuhinya banyak hal yang menjerumuskan seseorang ke liang kehancuran.
Dalam kitab Tazkiyah an-Nafs, Ibnu Taimiyah menyebut orang yang tamak sebagai budak yang terborgol, sehingga tidak bisa berbuat apa-apa; ia tidak punya kemerdekaan sama sekali seperti halnya orang yang qanaah. Ia mengata kan, seorang hamba akan merasa merdeka selagi ia qanaah, dan orang merdeka akan menjadi budak selagi ia tamak.
Ketamakan membelenggu leher dan memborgol kaki. Jika belenggu hilang maka borgol pun akan hilang dari kaki. Sifat tamak amat berbahaya tidak hanya bagi diri yang bersangkutan tetapi juga bagi orang lain. Bahkan, menurut Imam Hasan al-Bashri, sifat tersebut dapat meruntuhkan agama.
Alkisah, Khalifah Ali bin Abi Thalib berkunjung ke Masjid Basrah. Di situ ia menjumpai beberapa orang yang sedang menyampaikan pelajaran agama, salah satunya Hasan al- Bashri muda. Beliau mendatangi mereka, lalu ingin menguji mereka siapa yang layak menjadi penceramah di situ. Khalifah bertanya kepada Hasan al-Bashri, “Apakah yang dapat memperkuat agama ini?” Ia menjawab, “Wara’.” Khalifah bertanya lagi, “Apa yang dapat meruntuhkan agama?” Hasan al-Bashri menjawab, “Tamak.” Jawaban ini pun memuaskan Khalifah Ali, dan ia diperbolehkan meneruskan pelajaran agamanya di masjid tersebut.
Tamak disebut meruntuhkan agama karena orang tamak sejatinya tidak meyakini Allah sebagai Tuhan pemilik dan pemberi rezeki. Selain itu, orang tamak merasa bahwa harta benda duniawi adalah segala-galanya, padahal tidak. Harta dunia tidak akan ikut dibawa mati, tetapi amal salehlah yang akan dibawa.
Harta adalah sarana untuk menanam dan berinvestasi pahala di akhirat melalui amal saleh di dunia. Abu Hasan an-Naisaburi mewanti-wanti, siapa saja yang menetapkan bagi dirinya mencintai hal-hal duniawi, ia telah menyandang sifat tamak, dan apabila tamak itu sudah mulai dijadikan awal dari kecintaannya maka ia telah memulai dari kehinaan. Wallahu a’lam.
Sumber: republika.co.id