Berkah secara bahasa berarti ziyaad al khair (tambahan kebaikan). Secara tersirat, Alquran menyebut kekuasaan sebagai sebuah al khair (kebaikan).
Hal tersebut tergambar pada firman-Nya, “Katakanlah: Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebaikan (al khair). Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu” (QS Ali Imran: 26).
Jadi, kekuasaan yang berkah adalah kekuasaan yang mendatangkan tambahan kebaikan, baik bagi diri, keluarga, maupun masyarakat. Bentuk tambahan kebaikan pada kekuasaan adalah ketika ia bisa menolong diri, keluarga, dan masyarakat menjadi lebih sejahtera, adil, dan makmur, baik lahir maupun batin. Kekuasaan seperti inilah yang diminta Rasulallah SAW. Ketika beliau hijrah dari Makkah ke Madinah dan sebelum meraih kekuasaan.
“Ya Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku dengan cara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong (QS al- Furqan: 80).
Hasilnya, Rasulullah SAW telah meraih kekuasaan yang berkah. Kekuasaan yang menolong manusia keluar dari kegelapan menuju keadaan yang terang benderang. Lantas, bagaimana cara mendatangkan keberkahan pada kekuasaan yang kita miliki? Menurut Alquran, tambahan kebaikan kekuasaan salah satunya akan diperoleh melalui sikap syukur kepada Allah SWT.
Hal tersebut dijelaskan oleh ayat, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS Ibrahim: 7).
Ayat di atas melawankan kata ‘syukur’ dengan ‘kufur’. Kata kufur sendiri berasal dari kata ‘kafara’ yang berarti ‘menutup’. Jadi, syukur dapat diartikan ‘membuka’ karena lawan (antonim) dari kata kufur.
Jadi, syukur nikmat bermakna membuka nikmat. Dalam konteks kekuasaan, syukur nikmat dapat diartikan dengan transparan dan akuntabel. Kekuasaan yang dikelola secara transparan dan akuntabel sejak perencanaan, pelaksanaan, sampai pertanggungjawaban akan melahirkan kepercayaan dan partisipasi publik. Dan jika sebuah kekuasaan sudah mendapat dukungan melalui partisipasi publik, maka dapat dipastikan kekuasaan tersebut akan mendatangkan banyak kebaikan.
Hubungan penguasa dan rakyatnya akan terjalin harmonis. Penguasa akan senantiasa bekerja keras, cerdas, dan ikhlas untuk kesejahteraan rakyatnya. Sementara, rakyatnya akan membantu dengan pengawasan dan doa tulus. Jika hubungan penguasa dengan rakyatnya terbuka, saling menolong, dan mencintai, maka akan tercipta negeri adil, makmur, dipenuhi ampunan ilahi sebagaimana terjadi pada negeri Saba:
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada- Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu), Maha Pengampun.
Sumber: republika.co.id