Kota Duwin (Armenia), perbatasan Azerbaijan, menjadi saksi bisu kelahiran ksatria Muslim kenamaan yang di kemudian hari melahirkan pahlawan agung pembebas Al-Quds dari cengkeraman tentara Salib dan Mesir dari pengaruh Dinasti Syi’ah Fathimiyah.
Dalam literatur sejarah, figur ini dikenal sebagai seorang pemberani. Di medan tempur, ia pantang mundur. Jika badan sudah berada di arena juang, dengan nyali tinggi akan melawan siapa pun yang menghadang. Sosok ini bernama Najmuddin Ayyub. Sedangkan anaknya adalah Shalahuddin Al-Ayyubi.
“Buah jatuh tak jauh dari pohonnya,” demikian kata peribahasa masyhur untuk menggambarkan figur Shalahuddin al Ayyubi. Di balik kepahlawanan, keagungan, ksatriaan, kehebatan dan kepopulerannya dalam belantika sejarah, setelah takdir Allah Subhanahu Wata’ala, tidak bisa dilepaskan dari “tangan dingin” Najmuddin.
Figur ayah yang memiliki nama lengkap Ayyub bin Syadzi bin Marwan bin Ya’qub al-Amir Najmuddin Abu al-Syukr Ad-Duwini ini, dengan ketelatenannya, dan juga atas dukungan istri dan saudaranya mampu mencetak kader brilian yang sumbangsihnya bagi umat Islam begitu besar.
Apa peran Najmuddin atas kesuksesan Shalahuddin? Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu diungkap terlebih dahulu sisi-sisi istimewa dari sosok Najmuddin yang kelak berpengaruh besar dalam kepribadian Shalahuddin.
Menurut beberapa sejarawan Muslim yang menulis biografi beliau (sebut saja misalnya: Ibnu Katsir, Ibnu Khillikan, Shalahuddin Khalil, Majid Arsan Al-Kailani, Muhammad Shallabi) memiliki keistimewaan yang mumpuni. Setidaknya, bisa dikerucutkan menjadi tiga kata kunci: Pertama, taat agama. Kedua, pemberani. Ketiga, dermawan. Dari tiga hal ini, penulis akan mengurai peran Najmuddin yang sukses dalam mendidik pahlawan sekaliber Shalahuddin Al Ayyubi.
Najmuddin dalam sejarah dikenal sebagai pribadi yang taat beragama. Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam al-Bidâyah wa al-Nihayah (1408: XII/337) mencatat bahwa beliau rajin beribadah. Ibadah seperti Shalat, puasa dan yang lainnya, begitu dijaga. Sampai-sampai, selain masjid, ayah Shalahuddin ini memiliki tempat khusus untuk menyendiri beribadah baik di Mesir maupun di Damskus yang disebut dengan An-Najmiyah. Maka tidak mengherankan jika Muhammad Shallabi (2008: 230) ketika membicarakan perangai Shalahuddin, beliau menyebut dirinya adalah pribadi yang sangat menjaga ibadah dan takwa.
Saat membahas poin ini, Shallabi menyebutkan bahwa Shalahuddin adalah sosok yang berakidah lurus, menjaga shalat berjamaah, rutin berzakat sekaligus bersedekah, puasa, haji, hobi menyimak al-Qur`an serta hadits, menjaga syiar-syiar agama, dan selalu berperasangka baik kepada Allah (2008: 230-233).
Shalahuddin Khalil dalam bukunya yang berjudul al-Wâfî bi al-Wafayât (2000: 10/30-33) juga mengamini jika anak Najmuddin adalah pribadi yang religius dan baik. Salah satu yang berperan besar terhadap ketaatannya dalam beragama adalah ayahnya sendiri.
Lebih dari itu, berkat didikan ayahnya, menurut catatan Muhammad Ash-Shayim, Shalahuddin mampu menghafal al-Qur`an ketika berumur sepuluh tahun. Bahkan ia rajin hadir dalam maelis ilmu fikih, hadits dan tafsir (GIP: 216). Tanpa didikan keagamaan yang baik, tak mungkin Shalahuddin bisa menjadi pribadi yang taat beragama.
Dari segi keberanian, Najmuddin memang sangat mumpuni. Imaduddin Zanki dan Nuruddin Mahmud Zanki, melihat sendiri keberanian dan kepiawaiannya di medan tempur; sehingga menjadikannya sebagai sosok penting yang dilibatkan dalam urusan militer.
Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh dalam al-Mausû’ah al-Muyassarah fî al-Târikh al-Islâmi yang diterjemah Zaenal Arifin menjadi Buku Pintar Sejarah Islam (2014: 606) menyebutkan bahwa Najmuddin memang dikenal sebagai seorang pemberani. Atas keberaniannya ini, beliau dipercaya Raja Muhammad Maliksyah di Tikrit.
Shalahuddin hidup dalam didikan keberanian pada nuansa militer yang cukup ketat di benteng Tikrit. Ia dilatih kesatriaan, berenang, bela diri, dan seni perang oleh ayahnya.
Dalam buku yang berjudul Dari Penakluk Jerusalem Hingga Angka Nol (Republika, 89-90) disebutkan bahwa sosok ayah dan paman (Asaduddin Syirkuh yang juga merupakan panglima Tangguh yang mendapat kepercayaan dari Raja Nuruddin Mahmud Zanki) mempunyai andil besar dalam mendidik Shalahuddin menjadi ksatria tangguh. Sangat lumrah jika pada usia 14 tahun, dirinya sudah dilibatkan dalam ekspedisi militer.
Selanjutnya, yang berpengaruh besar pada sosok Shalahuddin adalah kedermawanan ayahnya. Shalahuddin Khalil dalam al-Wâfî bi al-Wafayât (2000: 10/30-33) menyebut figur karismatik ini sebagai orang yang dermawan.
Ibnu Katsir pun mencatat tentang kedermawanannya. Beliau rajin bersedekah dan menolong orang yang kesusahan. Pantas saja di kemudian hari, Shalahuddin juga mewarisi kedermawanannya. Begitu dermawannya, sampai-sampai menurut catatan Shallabi, ketika Shalahuddin wafat –meski sebagai penguasa- dalam simpanannya hanya tersisa perak berjumlah 40 dirham Nashiriyah dan emas hanya satu gram Shuri (2008: 238) Kekayaan yang dimiliki Shalahuddin hampir habis untuk kepentingan agama dan sosial.
Sebenarnya masih banyak sisi istimewa Shalahuddin yang terinspirasi ayahnya, namun ketiga hal berupa: ketaatan beragama, keberanian dan kedermawanan, paling tidak bisa menjelaskan bagaimana peran Najmuddin dalam mendidik Shalahuddin sehingga menjadi pahlawan legendaris yang dihormati baik oleh kawan maupun lawannya; demikian juga Muslim maupun non Muslim.
Sehingga tidak heran jika Carole Hillenbrand -Guru Besar Staudi Islam dan Bahasa Arab Universitas Edinburg- dalam buku The Crusade; Islamic Prespectives yang diterjemahkan Heryadi dengan judul Perang Salib Sudut Pandang Islam menyebutkan, “Di antara para pemimpin kaum Muslim yang terlibat dalam Perang Salib, Saladin [Shalahudin] mendapat posisi yang terhormat di dalam biografi ilmiah modern.” (2007:17) Sosok seperti Gibb, Ehrenkreutz, M.C. Lyons dan D.E.P. Jackson di antara sekian contoh orang Barat yang memujinya. Wallahu a’lam.*/Mahmud Budi Setiawan
Sumber: hidayatullah.com