Dalam kitab Tadzkirah al-Auliya’, Fariduddin Attar mengisahkan Imam Ibrahim bin Adham dan budak yang baru saja dibelinya. Diceritakan:
أنه اشترى غلاما، قال: ما اسمك؟ قال: ما تدعوني به. قال: أيُّ شيءٍ تأكل؟ قال: ما تُطعمني أطعم. قال: ما تلبس؟ قال: ما تُعطيني ألبس. قال: وماذا شغلك وعملك؟ قال: ما ترسم وتأمر أعمل بتوفيق الله. قال: أليس لك اختيار؟ قال: أنا عبد، وما للعبد اختيار. فبكيت حتي غشي عليّ، وقلت لنفسي: تعلّمي العبودية من هذا العبد.
Suatu ketika Imam Ibrahim bin Adham membeli seorang budak. Ia bertanya kepada budak itu, “Siapa namamu?” Budak itu menjawab, “Tuan hendak memanggilku apa?”
Ibrahim bertanya lagi, “Apa yang biasa kau makan?” Jawabnya, “Apa pun yang tuan berikan, aku akan memakannya.”
Ibrahim bertanya lagi, “Pakaian apa yang ingin kau pakai?” Jawabnya, “Apa pun yang tuan berikan, aku akan memakainya.”
Ibrahim bertanya lagi, “Apa yang akan kau lakukan dan kerjakan?” Jawabnya, “Apa pun yang tuan perintahkan, aku akan mengerjakannya dengan pertolongan Allah.”
Ibrahim bertanya lagi, “Apakah kau tidak memiliki keinginan?” Jawabnya, “Saya seorang budak, untuk apa budak memiliki keinginan.”
Kemudian Aku (Ibrahim bin Adham) menangis hingga tak sadarkan diri, lalu aku berkata pada diriku sendiri, “Budak ini telah mengajariku bagaimana menjadi seorang hamba (ubudiyyah).” (Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliya’, alih bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashîliy al-Wasthâni al-Syâfi’i (836 H), Damaskus: Darul Maktabi, 2009, hlm 142).
****
Arti dari menghamba adalah kepasrahan, melepaskan segala ketergantungan selain kepada Tuhan. Bukan berarti seorang hamba adalah wayang yang tidak memiliki kemampuan bertindak dengan kehendaknya sendiri, tidak. Kepasrahan adalah pengetahuan yang memperluas hati manusia dari kesempitan.
Ketika seorang hamba telah berjuang sekuat tenaga dan berdoa siang malam, tapi hasil yang dia harapkan belum juga terwujud, kepasrahan itulah yang menjadi sandaran. Pengetahuan akan kepasrahan mutlak kepada Tuhan membuat manusia merdeka. Segala tindakannya berasal dari dan untuk Tuhan. Dalam bahasa agama disebut tawakkal.
Imam Ibrahim bin Adham mendapatkan pelajaran berharga dari hamba sahaya itu. Pengetahuannya tentang menjadi hamba bertambah, bahwa seorang hamba harus menerima apa pun yang ditetapkan tuannya. Namun, tetap saja ada perbedaan besar antara hubungan hamba dengan Tuhan dan hamba dengan tuan (manusia). Perbedaan mendasarnya terletak pada kasih sayang Tuhan yang tak berbatas. Segala yang diperintahkan Tuhan kepada hambanya adalah demi kebaikan hambanya. Sedangkan segala yang diperintahkan tuan (manusia) kepada budaknya—sebagian besar—demi kebaikan tuannya sendiri.
Tuhan tidak akan berkurang kasih sayangNya meskipun hambaNya berulangkali menentangnya, tapi tidak dengan tuan dan budaknya. Artinya, meski manusia sebagai hamba harus berserah diri kepada Tuhan, mereka diberikan ruang untuk memilih; ke arah kebaikan atau keburukan. Semua itu mutlak kehendak manusia. Hanya saja, ketika manusia memilih keburukan, dia telah abai dari fitrahnya sebagai seorang hamba. Sebab, seorang hamba harus menuruti kehendak Tuhannya tanpa bertanya dan meminta alasan. Dan, kehendak Tuhan adalah agar manusia memilih kebaikan, bukan keburukan.
Dengan berbincang dengan budakanya, Imam Ibrahim bin Adham menyadari bahwa sebagian besar manusia telah mengabaikan kasih sayang Tuhan yang tertinggi, yaitu kehendakNya agar manusia memilih jalan kebaikan dan kebajikan, seperti banyak firman dan sabda nabiNya.
Karena itu, kita harus mulai menyiapkan ketawakkalan kita dalam menjalani kehidupan. Bukan untuk siapa-siapa atau demi siapa-siapa, tapi untuk diri kita sendiri. Memahami bahwa diri kita adalah ‘hamba’ tidak berbeda dengan kebutuhan hidup sehari-hari seperti makanan dan minuman. Kita harus menyadari Allah telah memberikan begitu banyak fasilitas kehidupan untuk seorang hamba. Sudah selayaknya kita berserah diri kepadaNya, berusaha tidak bergantung selain kepadaNya.
Namun, yang perlu dipahami adalah, menjadi hamba bukan berarti diam atau tidak berbuat apa-apa. Konsep tawakkal tidaklah seperti itu. Imam Sahl bin Abdullah al-Tustari mengatakan:
التَّوَكُّلُ حَالُ النَّبِيِّ صلي الله عليه وسلم وَالْكَسْبُ سُنَّتُهُ. فَمَنْ بَقِيَ عَلي حَالِهِ, فَلَا يَتْرُكَنَّ سُنَّتَهُ
“Tawakkul adalah keadaan spiritual Nabi SAW, sedangkan kasab (berusaha) adalah cara hidupnya. Barang siapa yang hendak mendiami keadaan spiritualnya, jangan tinggalkan cara hidupnya.” (Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyyah, hlm 298)
Berserah dirilah kepada Tuhan seperti rasul, yang meski telah dijamin kemaksuman dan tempatnya di surga, tetap menjalankan shalat melebihi orang biasa karena alasan syukur dan memohon ampunan Tuhan (istighfar) setiap hari tanpa henti. Bukankah kita seharusnya begitu sebagai seorang hamba yang bergelimang dosa?
Di sisi lain, perbincangan Ibrahim bin Adham dengan budaknya membuka kesadaran bahwa tidak ada satu punmanusia yang berhak menjadi tuan atas manusia lainnya. Jika seseorang bertindak sebagai tuan atas manusia lainnya, secara tak sadar dia telah menyamakan dirinya dengan Tuhan. Padahal, seluruh kelahiran atau yang dilahirkan pada mulanya suci (fitrah), tidak ada yang berhak atas hidupnya selain Tuhan sendiri. Oleh karena itu, kisah di atas adalah kisah tentang pentingnya kesadaran ‘hamba’ untuk memerdekakan diri sendiri dan memanusiakan manusia lainnya. Wallahu a’lam..
Muhammad Afiq Zahara, alumnus Pondok Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Sumber: nu.or.id