Setelah Rasulullah ﷺ wafat, para sahabat berhasil menyebarkan estafet amanah Nabi. Islam masuk ke berbagai negeri. Kekuasaan Islam meluas. Syam dan Irak dikuasai sepenuhnya pada tahun 17 H. Mesir dikuasai tahun 20 H. Persia tahun 21 H. Perluasan terus terjadi hingga ke wilayah Samarkand tahun 56 H. Dan Andalusia tahun 93 H.
Perluasan ini berdampak pada semakin banyaknya orang yang masuk Islam dan haus akan pengetahuan dan hukum-hukumnya. Hal ini mendorong para pemimpin mengutus sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ untuk mengajari mereka hukum-hukum agama. Para sahabat pun berangkat ke berbagai wilayah, hingga di antara mereka ada yang menetap di sana hingga akhir hayat.
Dar al-Hadits (Pusat Kajian Hadits) di Madinah
Madinah adalah tempat tujuan hijrah Nabi ﷺ dan para sahabatnya. Di tempat ini beliau menyampaikan banyak hadits. Karena mayoritas syariat Islam diturunkan di sana. Para sahabat Muhajirin merasa nyaman tinggal di Madinah. Dan mereka enggan kembali ke Mekah.
Sepeninggal Rasulullah ﷺ, Madinah tetap menjadi ibu kota umat Islam dan pusat kekhalifahan. Para sahabat senior tetap tinggal di kota ini. Mereka tak pernah meninggalkan Madinah kecuali untuk keperluan yang sangat penting. Seperti urusan kepemerintahan, ekonomi, militer, ataupun pendidikan.
Para sahabat yang masyhur dan mumpuni di bidang hadits dan fikih di Madinah cukup banyak. Di antaranya adalah Abu Bakar, Umar, Ali (sebelum ia pindah ke Kufah), Abu Hurairah, Ummul Mukmini Aisyah, Abdullah bin Umar, Abu Said al-Khudri, Zaid bin Tsabit, dll.
Zaid bin Tsabit terkenal dengan pandangan yang mendalam terhadap Alquran dan sunnah. Bahkan, Umar menyisakan beberapa perkara untuk dikonsultasikan kepada Zaid. Yaitu pada saat Umar menemui kendala pada beberapa ketetapan hukum. Zaid pun menjadi salah seorang yang utama dalam memberikan putusan hukum dan fatwa. Dia juga ahli di bidang qira-ah dan fara-idh di zaman Umar, Utsman, Ali, hingga akhirnya wafat pada tahun 45 H, di masa kekhalifahan Muawiyah.
Melalui para sahabat yang tinggal di Madinah ini, lahir tokoh-tokoh tabi’in seperti: Said al-Musayyab, Urwah bin az-Zubair bin al-Awwam, Ibnu Syihab az-Zuhri, Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, Salim bin Abdullah bin Umar, Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, Nafi’ maula Ibnu Umar, Abban bin Utsman bin Affan, dan masih banyak lagi para penghafal hadits yang senantiasa menjadi sumber rujukan sunnah dan fatwa-fatwa yang dibutuhkan.
Dar al-Hadits (Pusat Kajian Hadits) di Mekah
Ketika Nabi ﷺ berhasil menundukkan Kota Mekah (Fathu Mekah), beliau menugaskan Muadz bin Jabal untuk tinggal di sana guna mengajarkan hukum-hukum Islam kepada penduduknya. Menjelaskan halal dan haram. Memberikan pemahaman ilmu agama dan Alquran pada mereka. Muadz adalah salah seorang pemuda Anshar yang memiliki keutamaan, kesantunan, keilmuan, dan kelapangan. Ia selalu turut serta dalam peperangan yang dipimpin oleh Rasulullah ﷺ. Abdullah bin Abbas, Umar bin al-Khattab, dan Ibnu Umar, banyak meriwayatkan darinya.
Setelah Muadz, estafet dakwah di Mekah dilanjutkan oleh Abdullah bin Abbas yang telah kembali dari Bashrah. Sepupu Nabi ﷺ ini menjadi rujukan utama di Mekah. Ia adalah gudang ilmu dan hafizh hadits. al-Hakim menyebutkan dalam Ma’rifatu Ulumi al-Hadits, selain Ibnu Abbas, sahabat lainnya yang tinggal di Mekah adalah Abdullah bin Saib al-Makhzumi. Ia adalah ahli qiraah bagi penduduk Mekah. Kemudian ada Itab bin Usaid, Khalid bin Usaid, al-Hakam bin Abi al-Ash, Utsman bin Thalhah, dll.
Dari majelis para sahabat ini muncullah tokoh-tokoh utama tabi’in seperti: Mujahid bin Jabar, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Atha’ bin Rabah, dll.
Dar al-Hadits di Kufah
Kufah menjadi markas berkumpulnya tentara-tentara Islam. Karena itulah, para sahabat banyak yang pergi ke sana saat terjadi berbagai perluasan wilayah Islam. Banyak juga di antara mereka yang dimakamkan di sana. Di antarnya Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Saad bin Abi Waqqash, Said bin Zaid, Khabbab bin al-Art, Salman al-Farisi, Hudzaifah bin al-Yaman, Nu’man bin Basyir, Abu Thufail, Abu Juhaifah, dll (Ma’rifatu Ulumi al-Hadits, Hal: 191).
Yang menjadi tokoh utama keilmuan di Kufah adalah Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Ia seorang ulama di kalangan sahabat dan cukup lama tinggal di sana. Melalui bimbingannya muncullah orang-orang hebat semisal Masruq bin al-Ajda’ al-Hamdani, Ubaidah bin Amr as-Salmani. Menurut asy-Sya’bi, Ubaidah dan Syuraih memiliki level yang sama. Kemudian ada Aswad bin Yazid an-Nakha-i dan Syuraih bin al-Harits al-Kindi –yang ditunjuk Umar sebagai hakim di Kufah-. Ada pula Ibrahim bin Yazid an-Nakha-i yang dikenal sebagai Faqih al-Iraq. Selanjutnya Said bin Jubair, Amir bin Syarahil asy-Sya’bi. Asy-Sya’bi merupakan seorang yang sangat mendalam ilmunya di kalangan para tabi’in, para imam, dan huffazh (Ma’rifatu Ulumi al-Hadits, Hal: 1-20).
Dar al-Hadits di Bashrah
Yang menjadi tokoh utama di sini adalah Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Abdullah bin Abbas juga pernah tinggal di kota ini, karena menjabat gubernur di Bashrah. Selain dua orang sahabat senior ini, ada juga sahabat-sahabat yang lain. Seperti: Utbah bin Ghazwan, Imran bin Hushain, Abu Barzah al-Aslami, Ma’qil bin Yasar, Abu Bakrah, Abdurrahman bin Samurah, Abdullah bin asy-Syakhir, Jariyah bin Qudamah, dll. (Ma’rifatu Ulumi al-Hadits, Hal: 191).
Di antara para tabi’in yang tinggal di Bashrah adalah Abu al-Aliyah Rafi’ bin Mahran ar-Rayahi. Hasan al-Bashri, yang berhasil berjumpa dengan 500 orang sahabat. Kemudian Muhammad bin Sirin, Abu asy-Sya’tsa’. Jabir bin Zaid, sahabat dari Abdullah bin Abbas. Qatadah bin Di’amah ad-Dawsi, Muthraf bin Abdullah bin asy-Syakhir, Abu Burdah bin Abu Musa, dan masih banyak nama-nama lainnya.
Dar al-Hadits di Syam
Ketika kaum muslimin berhasil memenangkan Syam, banyak sekali penduduknya yang memeluk Islam. Karena itulah, khalifah memberikan perhatian besar terhadap wilayah ini dengan mengirimkan sahabat-sahabat Rasulullah untuk membimbing mereka. Di antaranya adalah Muadz bin Jabal. Rasulullah ﷺ pernah mempercayakannya membina masyarakat Yaman dan Mekah. Dan kemudian Umar bin al-Khattab mengamanahinya membina penduduk Syam.
Ibnu Saad meriwayatkan dalam ath-Thabaqat, dari Abu Muslim al-Khulani, ia berkata, “Aku memasuki Masjid Himsha, ternyata di dalamnya terdapat sekitar 30 orang sahabat Rasul. Di antara mereka ada seorang pemuda yang matanya bercelak, gigi serinya putih. Dia diam tak banyak bicara. Jika orang-orang menemui kesulita, mereka datang bertanya padanya. Aku berkata, kepada salah seorang yang sedang duduk, ‘siapa orang itu’? Dia menjawab, ‘Dia adalah Muadz bin Jabal’.”
Sahabat lainnya yang juga dikenal memberikan pengajaran di wilayah ini adalah Ubadah bin Shamit. Ia sosok yang unggul dalam bidang Alquran dan sangat fakih. Kuat dalam membela agama Allah. Dan tidak peduli apa kata orang tetangnya dalam membela kebenaran itu.
Selain itu ada juga Abu Darda’ al-Anshari. Seorang sahabat yang fakih dan hafal banyak hadits. Ia diutus ke Syam bersama Muadz bin Jabal setelah Amirul Mukminin Umar menerima surat permintaan dari Yazid bin Muawiyah. “Penduduk Syam membutuhkan orang-orang yang dapat mengajarkan Alquran dan memberikan pemahaman yang baik tentang agama”, kata Yazid. Umar pun mengutus Muadz, Ubadah, dan Abu Darda sebagai respon dari permintaan Yazid.
Dan masih banyak sahabat lainnya seperti: Syarahbil bin Hasanah, al-Fadhl bin al-Abbas bin Abdul Muthalib, Abu Malik al-Asy’ari, dll.
Di tangan mereka muncul para tabi’in masyhur seperti: Abu Idris al-Khulani, Qubaishah bin Dzubaib, Makhul bin Abu Muslim, Raja’ bin Haywah al-Kindi, dll.
Dar al-Hadits di Mesir
Pada tahun 20 H, Mesir menjadi wilayah kaum muslimin. Banyak penduduknya yang tertarik dengan agama fitrah ini. Di masa Muawiyah bin Abu Sufyan, ia menugaskan salah seorang sahabat yang utama Amr bin al-Ash untuk Mesir. Amr membawa serta putranya, seorang ahli ilmu di kalangan sahabat Rasulullah ﷺ, Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiallahu ‘anhuma.
Abdullah bin Amr adalah seorang pemuda yang giat beribadah. Ia juga termasuk sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Bahkan, ia memiliki keunggulan di bidang tulis-menulis. Dengan itu ia mencatat hadits-hadits yang disabdakan Rasulullah ﷺ. Setelah ayahnya wafat, Abdullah tetap menetap di Mesir.
Sahabat lainnya yang menyebarkan ilmu di Mesir adalah Uqbah bin Amir al-Juhani, Kharijah bin Hudzafah, Abdullah bin Saad bin Abi Sarah, Mahmiyah bin Juzu’, Abdullah bin al-Harits bin Juzu’, Abu Bashrah al-Ghifari, Abu Saad al-Khair, Muadz bin Anas-al-Juhani, dll. Muhammad bin Rabi’ al-Jaizi menyatakan lebih dari 140 orang sahabat yang tinggal di Mesir.
Dari pengajaran mereka, muncullah para tabi’in. Di antaranya Abu al-Khair Murtsad bin Abdullah al-Yazini, seorang mufti Mesir. Ia meriwayatkan banyak hadits dari Abu Ayyub al-Anshari. Kemudian Abu Bashrah al-Ghifari, dan Uqbah bin Amir al-Juhani, Yazid bin Abi Hubaib, dll.
Inilah gambaran sekilas mengenai perguruan-perguruan yang berperan besar dalam pengajaran ilmu-lmu keislaman dan penyebar hadits di berbagai wilayah perluasan Islam. Masa ini juga memberikan gambaran nyata pada kita, bagaimana para sahabat dan tabi’in dalam menyebarkan dan meriwayatkan hadits-hadits dari Nabi ﷺ.
Rujukan:
Zahw, Muhammad Abu. 2015. al-Hadits wa al-Muhaditsun, Terj: The History Of Hadith. Depok: Keira Publishing.
Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Sumber: kisahmuslim.com